Perum Bulog menggelar Operasi Pasar Khusus
(OPK) beras sebanyak 230.000 ton yang ditujukan bagi 15,5 juta rumah
tangga sasaran (RTS). OPK akan dimulai bulan ini selama sebulan, dengan
harga tebus Rp1.600/kg.
OPK ini untuk menjaga stabilitas harga
dan daya beli masyarakat berpendapatan rendah, terutama untuk
mengantisipasi hari raya Natal dan tahun baru. “OPK ini diharapkan bisa
mengisi kekosongan beras untuk rakyat miskin (raskin) yang programnya
sudah berakhir pada Oktober silam,” ujar Pelaksana tugas sementara (Plt)
Dirut Perum Bulog Budi Purwanto di sela mendampingi Menteri Perdagangan
(Mendag) Rachmat Gobel ketika meninjau gudang Bulog Divisi Regional DKI
Jakarta dan Banten di Jakarta, kemarin.
Budi menambahkan, OPK
beras dilakukan atas permintaan dari beberapa pemerintah daerah (pemda).
Kendati demikian, OPK akan digelar merata di semua daerah dengan
menggunakan cadangan beras pemerintah (CBP). Sebagai catatan, realisasi
penyaluran operasi pasar CBP sudah mencapai 51.944 ton, sebanyak 3.360
ton dioperasikan selama bulan Desember ini.
Budi menambahkan,
saat ini cadangan beras di gudang Bulog mencapai 1,7 juta ton yang cukup
untuk kebutuhan tujuh bulan ke depan. Mendag Rachmat Gobel tidak
menampik adanya kemungkinan kenaikan harga beras menjelang Natal dan
tahun baru. “Kalau naik (harga beras) ada lah, biasa pedagang yang ingin
untung. Cuma, kita jaga kenaikan itu jangan sampai di luar batas yang
ditentukan,” ujar Rachmat Gobel.
Berdasar catatan Kemendag,
kenaikan harga beras saat ini masih berkisar 0,75% di tingkat ritel dan
kurang dari 3% di tingkat grosir. Pantauan Kemendag di pasar-pasar
seluruh Indonesia menunjukkan tidak terjadi kenaikan harga beras yang
signifikan. Rata-rata harga beras medium secara nasional saat ini,
dibandingkan minggu lalu, hanya naik 0,75% dari Rp9.274/kg menjadi
Rp9.344/kg.
Mendag menambahkan, kenaikan harga jelang Natal dan
Tahun Baru biasanya tidak signifikan dibanding kondisi harga jelang
Puasa dan Idul Fitri. Kalaupun terjadi kenaikan harga pada periode
Desember- Januari, biasanya dipicu minimnya pasokan ke pasar sebagai
dampak dari panen yang mulai berkurang di sentrasentra produksi seperti
komoditas hortikultura.
Di tempat terpisah, pakar pangan dari
Institut Pertanian Bogor (IPB) Koekoeh Santoso mengungkapkan bahwa para
peneliti IPB telah meneliti pengaruh raskin terhadap indeks yang
diterima dan dibayarkan petani serta pengaruh beras terhadap inflasi di
Jawa Barat. Berdasarkan hasil estimasi menggunakan regresi berganda,
keberadaan raskin berpengaruh signifikan terhadap penurunan harga beras
yaitu peningkatan jumlah raskin sebesar 1% akan menurunkan harga beras
sebesar 0,02%.
“Kalau dibalik, ketiadaan raskin sebesar 1%,
berpengaruh pada kenaikan harga beras sebesar 0,02%. Jika raskin
dihapuskan sepenuhnya, akan menimbulkan gejolak harga
berasyangberimbasinflasi,” ujar Koekoeh dalam dialog publik bertajuk
“Stop Liberalisasi Beras“ yang digelar Perhimpunan Ekonomi Pertanian
Indonesia (PERHEPI) di Jakarta kemarin.
Selain itu, program
raskin bukan hanya menjadi jaring pengaman pangan bagi rakyat miskin dan
mengendalikan inflasi namun juga memberikan dampak positif bagi petani.
Karena, raskin menjadikan petani mempunyai jaminan kepastian harga dan
serapan hasil produksi. Atas dasar itu, pemerintah harus berpikir seribu
kali sebelum mencabut raskin yang bukan hanya memenuhi kebutuhan pokok
rakyat miskin dan dampak sosial di negeri ini.
Koekoeuh juga
menyebut, program raskin juga merupakan implementasi komitmen pemerintah
untuk menaati kesepakatan internasional terkait pangan. “Kerangka
operasional raskin ini tidak hanya efektif memberi jaminan pemenuhan
kebutuhan pangan bagi rakyat miskin, tetapi juga berfungsi sebagai
instrumen ketahanan pangan, juga penjaga stabilitas harga beras dan
mengendalikan populasi warga miskin,” paparnya.
Keberadaan
raskin juga memberikan akses kepada warga miskin di mana pun mereka
berada untuk memperoleh beras. Penghapusan raskin, dalam penelitian IPB,
akan menutup 80% akses untuk mendapatkan beras bagi rumah tangga
miskin, yang memiliki anak usia di bawah 18 tahun, di mana sebanyak 4,3
juta jiwa merupakan balita.
“Jadi, penghapusan raskin tidak hanya meningkatkan kerentanan yang tinggi terhadap kerawanan pangan,” paparnya.
http://www.koran-sindo.com/read/937872/150/bulog-gelar-opk-beras-230-000-ton
Tidak ada komentar:
Posting Komentar