Selasa, 14 Oktober 2014

Mengungkap CSIS, Wanandi, Jokowi dan Tragedi 1998

Notulen berisi pertemuan “kelompok pro demokrasi” dengan penyandang dana mereka yang berlangsung di Leuwiliang, Bogor, 14 Januari 1998 yang dihadiri oleh 19 aktivis mewakili 9 organisasi terdiri dari kelompok senior dan kelompok junior yang merencanakan revolusi. Anggota kelompok senior adalah sebagai berikut:

Pertama, CSIS bertugas membuat analisis dan menyusun konsep perencanaan aktivitas ke depan.

Kedua, kekuatan militer yang diwakili oleh Benny Moerdani.

Ketiga, kekuatan massa yang pro Megawati Soekarnoputri.

Keempat, kekuatan ekonomi yang dalam hal ini diwakili oleh Sofjan Wanandi, Rudi Wanandi dan Yusuf Wanandi.

Atas penemuan dokumen di atas, Jusuf Wanandi, dan Sofyan Wanandi didampingi pengacaranya Todung Mulya Lubis telah diperiksa Bakortanasda Jaya.

Kemudian peristiwa tersebut ditambah fakta Sofyan Wanandi menolak membantu negara yang terkena krisis moneter karena memikirkan diri sendiri membuat kantor CSIS diterjang demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa yang antara lain menuntut pembubaran lembaga ini.

Semua kejadian ini membuat klik CSIS menjadi panik dan terlihat dalam tegangnya rapat konsolidasi pada hari Senin, 16 Februari 1998 di Wisma Samedi, Klender, Jakarta Timur (dekat lokasi Kasebul) dan dihadiri oleh Harry Tjan, Cosmas Batubara, Jusuf Wanandi, Sofyan Wanandi, J. Kristiadi, Hadi Susastro, Clara Juwono, Danial Dakidae dan Fikri Jufri.

Ketegangan terjadi antara J. Kristiadi dengan Sofyan Wanandi sebab Kristiadi menerima dana Rp. 5miliar untuk untuk menggalang massa anti Soeharto tapi sekarang CSIS malah menjadi sasaran tembak karena ketahuan mendanai gerakan makar. Akibatnya Sofyan dkk menuduh Kristiadi tidak becus dan menggelapkan dana.

Tuduhan ini dijawab dengan membeberkan penggunaan dana terutama kepada aktivis "kiri" di sekitar Jabotabek, misalnya Daniel Indrakusuma menerima Rp. 1,5miliar dll. Kristiadi juga menunjukan berkali-kali sukses menggalang massa anti Soeharto ke DPR, dan setelah CSIS didemo, Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta (FKMIJ) yang setahun terakhir digarap segera mengecam demo tersebut. Di akhir rapat disepakati bahwa Kristiadi menerima dana tambahan Rp. 5miliar (http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1998/02/21/0088.html).


Demi menyelamatkan CSIS yang sudah di ujung tanduk membuat klik CSIS segera merencanakan untuk menjatuhkan Presiden Soeharto dan Prabowo Soebianto. Hasil dari rencana tersebut adalah Kerusuhan 13-14 Mei 1998 sebagaimana direncanakan oleh Benny Moerdani di rumah Fahmi Idris yang juga dihadiri oleh Sofyan Wanandi.

Menurut kesaksian George Junus Aditjondro, Jusuf dan Sofyan Wanandi adalah ekstrim kanan yang tidak peduli ras atau agama, dan karena itu Tionghoa, Kristen, dan Katolik bisa dihantam bila hal tersebut menguntungkan mereka. Bukankah mereka yang menghancurkan Gereja Katolik Timor Timur? Bukankah guru mereka, Ali Moertopo yang anak kiai itu justru mendiskriditkan Islam melalui DI/TII dan GUPPI? Bukankah David Jenkins, wartawan Australia dalam orbituari Benny Moerdani, "Charismatic, Sinister Soeharto Man" menulis:

"Hardened in battle and no stranger to violence, Moerdani believed that the ends justify the means...He once shocked members of an Indonesian parliamentary committee by saying, in effect, that if he had to sacrifice the lives of 2 million Indonesians to save the lives of 200 million Indonesians he would do so."

http://www.smh.com.au/articles/2004/09/09/1094530768057.html

Tidak heran beberapa pastur Katolik seperti Romo Mangunwijaya, Sandyawan dan Mudji Sutrisno justru tidak menyukai Wanandi bersaudara padahal saudara kandung mereka, Markus Wanandi adalah pastur.


Mengorbitkan Boneka Jokowi

16 tahun kemudian, Prabowo Soebianto, orang yang pernah mereka jatuhkan karena memimpin penyelidikan atas bom Tanah Tinggi malah tidak memiliki saingan untuk menjadi presiden Indonesia berikutnya. Tentu saja mereka kembali panik sebab bila Prabowo memimpin negeri ini maka kemungkinan besar semua kejahatan mereka di masa lalu khususnya periode 1998 terbongkar. Untuk itulah klik CSIS perlu menciptakan sosok lawan tanding Prabowo dan sosok tersebut adalah Jokowi.

Proses penciptaan Jokowi oleh CSIS dimulai pada tahun 2008 setelah mendapat masukan dari kader tercinta LB Moerdani, Hendropriyono mengenai sosok Walikota Solo bernama Jokowi.

Hendropriyono pada tahun 2005-2006, lebih banyak memanfaatkan Jokowi untuk membantu misi operasi rekayasa terorisme Islam di Solo. Namun, Hendropriyono tidak begitu saja menggunakan jasa Jokowi, Hendropriyono juga 'memasarkan' Jokowi kepada diplomat asing, terutama Australia dan Amerika Serikat, yang disebutnya sebagai 'tokoh pemimpin yang layak untuk diorbitkan' di masa depan.

Latar belakang Jokowi yang terkait erat dengan komunisme (PKI), di mana ayah dan ibu kandung Jokowi yang bernama asli Widjiatno dan Sudjiatmi adalah dua tokoh terkemuka PKI Boyolali, menjadi andalan utama Hendropriyono untuk mendapatkan loyalitas mutlak Jokowi. Berkat bantuan Hendropriyono, latar belakang komunis Jokowi dihapus jejaknya dan diganti dengan latar belakang baru (palsu) yang memungkin Jokowi untul dapat diorbitkan.


Rencana untuk mengorbitkan Jokowi ditindaklanjuti dengan mengirim Letjen Purn Agus Widjojo untuk mematangkannya. Dan setelah itu penggarapan Jokowi dilakukan oleh Luhut Panjaitan anak emas Benny Moerdani dengan kedok PT Rakabu Sejahtera sedangkan kegiatan memoles citra Jokowi diserahkan kepada Goenawan Mohamad dan grup Tempo.

Setelah periode ini, keterlibatan James Riady menopang popularitas Jokowi mulai signifikan, di mana James Riady merupakan pihak yang menpunyai pengaruh besar di Amerika Serikat, terutama kaitannya dengan Arkansas Connection (kelompok elit AS yang merujuk pada teman-teman terdekat Bill dan Hilary Clinton).

Stanley Bernard Greenberg, tokoh konsultan politik nomor 1 di dunia, yang juga merupakan anggota elit Arkansas Connection, dilibatkan penuh dalam perencanaan dan pelaksanaan mendorong popularitas dan elektabilitas Jokowi hingga ke puncak tertinggi.


Selanjutnya dukungan negara-negara imperialis diatur oleh Jacob Soetoyo dan Sofyan Wanandi bersama Marie Elka Pangestu sejak tahun 2013 sudah melempar wacana duet Jokowi-JK dengan gelontoran dana minimal Rp. 2trilyun (http://m.rmol.co/news.php?id=129021).


Keterlibatan Surya Paloh dan Megawati dalam ledakan bom Tanah Tinggi menjawab keanehan PDIP, dan NasDem begitu saja mendukung kursi presiden kepada Jokowi dan wakil presiden kepada Jusuf Kalla.

(http://m.rimanews.com/read/20140413/147888/duet-jokowi-jusuf-kalla-didukung-sofyan-wanandi-apindocsiskompas-mau-diumumkan).


Sumber : http://www.gebraknews.com/2014/10/mengungkap-csis-wanandi-jokowi-dan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar