Jumat, 25 April 2014

Peran Jacob Soetoyo Mengusung Jokowi-JK*


ASATUNEWS - Banyak kalangan terperangah ketika Jacob Soetoyo menjadi tuan rumah mempertemukan sejumlah duta besar negara asing dengan Gubernur DKI Jakarta Jokowi dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri pada 13 April lalu. Ada apa di balik pertemuan itu dan siapa sebenarnya Jacob Soetoyo?

Jacob Soetoyo lebih dikenal sebagai pengusaha. Tapi, dalam konteks menjadi fasilitator pertemuan Jokowi-Mega dengan para duta besar tersebut, tentu kapasitasnya sebagai bagian dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) atau koneksinya dengan jaringan elite dan intelijen Amerika Serikat.

Sudah banyak yang tahu, CSIS merupakan lembaga pemikir Orde Baru yang memberikan masukan strategi ekonomi dan politik pada pemerintahan Soeharto dan menjadi lembaga pemikir (think tank) yang mempersiapkan platform politik dan kebijakan yang diterapkan Indonesia. 

Namun, pertemuan para duta besar negara asing dengan Jokowi-Megawati, konteksnya lebih pada upaya umat Katolik Indonesia melawan pengaruh elite Kristen Indonesia yang dimotori James Riady terhadap Jokowi dan Megawati. Peran umat Katolik Indonesia itulah yang dimainkan CSIS, kali ini melalui Jaco Soetoyo, Jusuf Wanandi, dan Sofjan Wanandi.

Siapa sosok yang berperan dalam pendirian CSIS? Sosok tersebut adalah Ali Moertopo, yang dikenal sebagai kepercayaan Soeharto. Tapi, kedekatannya dengan Pater Beek belum banyak terungkap. Ali pertama kali bekerjasama dengan Pater Beek dalam operasi pembebasan Irian Barat. Berdasarkan catatan Ken Comboy (2007), saat itu tugas Ali sebagai perwira intelijen. Pada saat yang bersamaan, Pater Beek juga berada di Irian Barat. Ia menyamar sebagai guru. Tugas sebenarnya dari Pater Beek adalah menjaga agar proses pembebasan Irian Barat tetap menguntungkan kepentingan Amerika Serikat. Tugas ini berhasil. Sebagaimana kita ketahui, sampai saat ini, Freeport masih menguasai tambang emas di Papua.

Setelah CSIS berhasil dibentuk Ali Moertopo, tugas pelaksana harian diserahkan kepada 3 kader Kasebul: Jusuf dan Sofjan Wanandi serta Harry Tjan Silalahi. Menurut Mujiburrahman (2006), Jusuf dan Sofjan Wanandi merupakan kader utama Kasebul yang dididik Pater Beek. Sewaktu mahasiswa dan pergolakan politik tahun 1965, keduanya menjadi bagian penting dari Pergerakan Mahasiswa Katolik Indonesia (PMKRI). Akan halnya Harry Tjan Silalahi adalah kader Kasebul yang ditempatkan di Partai Katolik sebagai sekretaris jenderal. Tiga orang inilah yang hingga sekarang menjadi nakhoda CSIS. Lewat lembaga inilah kebijakan anti-Islam dijalankan.

Pater Beek memang piawai dalam usaha menghancurkan Islam. Ia tidak hanya memakai orang Katolik seperti Jusuf Wanandi dan Harry Tjan untuk melakukannya, tapi juga memakai orang Islam sendiri. Ali Moertopo, misalnya, ia tumbuh dari keluarga santri, tetapi lewat CSIS dan Operasi Khusus-nya justru mengobok-obok Islam. Sebut nama lain: Daoed Joesoef. Ia seorang muslim asal Sumatera Timur, tapi berhasil digunakan Pater Beek untuk membuat kebijakan yang merugikan umat Islam. Sewaktu menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, ia melarang sekolah libur pada bulan Ramadan dan siswi yang beragama Islam dilarang menggunakan jilbab.

Bahkan tidak hanya itu. Kader Pater Beek dalam Kasebul juga dilatih menyusup dengan pindah agama menjadi Islam. Sebut saja Ajianto Dwi Nugroho. Sewaktu masih mahasiswa di Fiakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada, ia berpacaran dengan mahasiswa Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yogyakarta (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta) yang berjilbab. Sekarang, ia menikah dengan janda beranak satu yang beragama Islam. Dan, Ajianto saat ini punya KTP yang mencantumkan agamanya adalah Islam. Ajianto merupakan kader Kasebul generasi baru yang masuk dalam lingkaran Jasmev pada era Pilkada DKI untuk memenangkan Jokowi. Sekarang, ia bergabung dalam lingkaran PartaiSocmed dengan target menjadikan Jokowi sebagai presiden. Itulah kehebatan kader-kader Kasebul dalam menjalankan misinya.

Nah, kenapa tiba-tiba Jacob Soetoyo muncul? Tentu saja ini berkaitan dengan persaingan para cukong di lingkaran Jokowi sendiri. Sudah banyak diketahui, James Riyadi telah mendukung Jokowi sejak awal. Selain dikenal sebagai pengusaha papan atas, yang belum banyak diketahui, ia adalah pemeluk fundamentalis Kristen. Ia juga diduga adalah agen intelijen pemerintah Cina sebagaimana banyak disebut dalam dokumen-dokumen hasil investigasi lembaga resmi Amerika Serikat ketika James Riyadi dan kelompoknya dinyatakan terlibat dalam donasi haram untuk tim sukses pemenangan Partai Demokrat dan calon presiden Bill Clinton, yang terkenal dengan julukan Skandal Lippo (Lippogate).
James dikenal sebagai pemeluk Kristen Evangelis sejak tahun 1990, langsung dibimbing oleh Pat Robertson, tokoh terkemuka Televangelis Amerika Serikat, yang dikenal sebagai elite partai Republik Amerika Serikat yang sangat anti dan benci kepada Islam dan penganjur utama serangan militer Amerika Serikat ke Irak pada tahun 2003 lalu.
Di Amerika Serikat, aliran ini dikenal radikal dan fundamentalis. Salah satu pengikutnya adalah adalah keluarga Bush. Sikap anti-Islamnya sudah mendarah daging. Ketika menjadi presiden, George W Bush memerintahkan pasukannya untuk membantai ratusan ribu umat Islam di Afghanistan dan Irak. Inilah yang dianggap sebagai ancaman oleh fundementalis Katolik dalam lingkaran CSIS. Apalagi, James Riyadi secara atraktif lewat familinya, Taher, mendatangkan Bill Gates ke Indonesia dengan tujuan agar seolah-olah Jokowi mendapatkan dukungan dari pengusaha papan atas Amerika Serikat.

Sudah menjadi rahasia umum, walaupun sama-sama memusuhi Islam, antara fundamentalis Katolik dan fundamentalis Kristen terjadi permusuhan yang sengit--pandangan mereka yang Islamphobia tentu saja tak mewakili pandangan mayoritas umat nasrani di Indonesia yang sebagian besar menghargai toleransi]. Melihat manuver James Riyadi yang sudah dianggap kelewatan, turun tangalah Jacob mewakili lingkaran CSIS. Rupanya, James melupakan bahwa ada dua jaringan di Indonesia yang punya hubungan kuat dengan Amerika Serikat: CSIS dan Partai Sosialis Indonesia (PSI).

Jaringan CSIS pun unjuk taring. Tidak tangung-tangung, mereka mengumpulkan duta besar dari negara berpengaruh, antara lain Amerika Serikat, Cina, dan Vatikan. Begitu kuatnya pengaruh CSIS sampai-sampai duta-duta besar tersebut mau berkumpul di rumah Jacob yang tidak dikenal sebelumnya. Saking berpengaruhnya pula, Megawati, seorang mantan Presiden RI, bersedia mengikuti skenario CSIS. 
Di sinilah perang di antara cukong-cukong pendukung Jokowi antara faksi James Riyadi (Kristen) dengan faksi Jacob/CSIS/Kasebul (Katolik) mulai ditabuh. Mereka semua melihat bahwa Jokowi akan menang pemilihan presiden sehingga masing-masing perlu menanamkan pengaruh sejak awal. 

Di mana Posisi Jusuf Kalla?

Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla diketahui memiliki hubungan sangat dekat dengan kelompok Sofjan Wanandi dkk. Bahkan, Keluarga Wanandi sejak dulu dikenal sebagai pendukung utama Jusuf Kalla, termasuk pada pemilihan presiden 2014. 

Jacob adalah almuni McGill University, Montreal Kanada, sama seperti Justiani, mantan aktivis mahasiswa Institut Teknologi Bandung yang bernama asli Lim Siok Lian, pernah dituding sebagai anggota Central Intelligent Agency (CIA). Kaitan antara Justiani, CIA, dan Jacob belum diketahui pasti, termasuk kemungkinan Jacob adalah anggota CIA.

Manuver CSIS lewat Jakob membuat resah kubu James Riyadi. Investasi James Riady dan kelompoknya sudah triliunan rupiah untuk mengangkat popularitas Jokowi selama dua tahun terakhir. Khawatir dominasinya hilang dari Jokowi, pasca pertemuan duta-duta asing dengan Jokowi-Megawati,  media dalam kendali James Riyadi pun mulai mengungkit-ungkit peran CSIS sebagai lembaga yang pada masa Orde Baru telah ikut menzalimi Megawati dan PDIP.

Megawati diingatkan tentang fakta itu. Tujuan akhirnya tentu saja agar Mega dan Jokowi menjauh dari CSIS sehingga James Riyadi bisa dominan lagi. Tapi, jangan sampai dilupakan, kubu CSIS/Jusuf Wanandi punya koran The Jakarta Post, sebuah koran berbahasa Inggris yang cukup berwibawa, yang bisa melakukan serangan balik.
Kita tahu sendiri, sekali memberitakan bahwa Puan mengusir Jokowi dari rumah Megawati, peta politik di internal PDIP berubah dratis. Puan tiba-tiba hilang, Megawati seperti tak memikirkan lagi koalisi, dan Jokowi seperti anak kehilangan induk, ke sana-kemari mencari teman koalisi.

Megawati terkesan menikmati perseteruan kubu Wanandi melawan Riyadi, sekaligus memberi kesempatan bagi Megawati untuk melonggarkan tekanan kedua pihak tersebut, yang memaksakan kehendak mereka untuk mencalonpresidenkan Jokowi.

Tapi, jangan dilupakan faksi Partai Sosialis Indonesia (PSI). Partai yang didirikan Sutan Sjahrir pada era Seokarno ini memang sudah tak ada, tapi kadernya sampai saat ini masih bergentanyangan.

Tokoh-tokoh PSI seperti Goenawan Mohamad terang-terangan sudah mendukung Jokowi. Ia menggunakan jaringan-jaringan yang ia miliki, seperti Jaringan Islam Liberal (JIL), grup majalah Tempo, sampai orang-orang Kiri yang berhasil ia kader, seperti Coen Husein Pontoh dan Margiyono—dulu anggota Partai Rakyat Demokratik yang kemudian murtad dengan mendirikan Perhimpunan Demokratik Sosialis (PDS). 

PDS ini pendiriannya tidak bisa dilepaskan dari sosok Goenawan Mohamad; pendeklarasian organisasi ini dilakukan di Teater Utan Kayu (TUK)—yang sekarang melakukan manipulasi-manipulasi terhadap ajaran marxisme agar bisa dijadikan dalih untuk mendukung Jokowi. Semua itu satu komando untuk mendukung Jokowi.

Agenda utama tokoh-tokoh PSI mendukung Jokowi adalah mewujudkan Indonesia sebagai negara liberal sekuler. Agenda sama yang juga dipelopori Goenawan Mohamad, Marsilam Simanjutak, Rahman Tolleng, dkk.

Selain Goenawan, ada faksi PSI yang dikomandoi Jakob Oetama dengan kelompok koran Kompas-nya. Mereka punya media nasional yang sudah sejak lama telah menggoreng Jokowi lewat pemberitaan-pemberitaannya. Sebagai sesama Katolik, grup koran Kompas tentu bisa bekerja sama dengan kubu CSIS. Mereka sama-sama pernah dididik Pater Beek. Bahu-membahu keduanya tentu saja akan menghasilkan kekuatan yang besar, dengan jaringan media yang sudah mengakar kuat.

Dari lingkaran PSI lainnya ada Yamin. Ia salah satu yang membidani kelahiran Sekretariat Nasional Jokowi. Sewaktu mahasiswa pada tahun 1980-an, ia aktif di kelompok kiri Rode, yang berada di Yogyakarta. Ia dekat dekat dengan tokoh PSI Yogyakarta, Imam Yudhotomo. Yamin disokong aktivis kiri era 1980-an, Hilmar Farid. Ia dulu pernah terlibat dalam masa-masa pembentukan PRD. Mantan istrinya, Gusti Agung Putri Astrid, merupakan kader Kasebul yang banyak terlibat dengan aksi-aksi sosial pada era 1990-an; ia sekarang menjadi calon anggota legislatif PDIP dari daerah pemilihan Bali. Peran Hilmar adalah sebagai perumus strategi yang perlu diambil Sekretariat Nasional Jokowi dalam menghadapi pemilihan presiden.
Faksi PSI lainnya ada Fajroel Rachman. Ia dulu dikenal sebagai aktivis mahasiswa Institut Teknologi Bandung. Ia dekat dengan tokoh PSI zaman Orde Lama, Soebadio Sastrosastomo. Kelompok Fajroel ini sebetulnya yang paling lemah karena tidak punya koneksi apa-apa. Makanya, ia hanya bergerak di media sosial saja dengan mengandalkan jumlah follower di akun Twitter-nya dan selalu membonceng isu-isu nasional yang sedang hangat dengan cara mengikuti arus utama (mainstream), sehingga dia bisa mendapat panggung dan mencuri perhatian publik.

Di antara faksi-faksi PSI tersebut, yang punya hubungan kuat dengan Amerika Serikat adalah faksi Goenawan Mohamad. Sebagaimana ditulis oleh Wijaya Herlambang, Goenawan adalah agen CIA yang sudah dipekerjakan sejak akhir era Soekarno. Begitu kuatnya hubungan Goenawan dengan Amerika Serikat bisa dilihat ketika ia kalah dalam sengketa dengan pengusaha Tomy Winata, Duta Besar Amerika Serikat turun langsung untuk “mendamaikan” kasus tersebut agar tidak berlarut-larut. Goenawan pula yang dulu ikut memuluskan langkah Boediono menjadi wakil presiden. Sebetulnya, ia ingin mendorong Sri Mulyani maju, tapi partai SRI tidak lolos. Goenawan dan Sri Mulyani memang dekat. Ketika Sri Mulyani diserang Ical dalam kasus Bank Century sampai akhirnya ia mundur sebagai Menteri Keuangan, Goenawan amat marah sampai-sampai mengembalikan Bakrie Award yang pernah ia terima.

Silahkan mengobrak-abrik semua analisis politik, tetap saja penyokong utama Jokowi ada tiga itu: fundamentalis Katolik (CSIS/Kasebul), fundamentalis Kristen (James Riyadi dkk), dan faksi PSI (Goenawan Mohamad dkk). Nah, mengapa mereka turun bersama-sama mendukung Jokowi?

Bangkitnya Islam politik tentu saja dianggap sebagai ancaman. Sepanjang pemilihan umum di era Orde Baru, perolehan suara partai Islam dalam Pemilihan Umum 2014 adalah yang terbesar. Suara PKB, PAN, PKS, PPP, dan PBB bila digabungkan mengungguli partai-partai yang lain. Tentu saja yang dianggap yang paling berbahaya adalah PKS. Sebelum pemilu, PKS sudah dikesankan oleh berbagai lembaga survei (termasuk CSIS) tidak akan lolos ke Senayan. Senyatanya, mereka masih memperoleh suara 7%--yang bisa jadi jumlah kursinya bisa menduduki peringkat ke empat di Senayan.

PKS dikenal dengan kader-kadernya dari kalangan kelas menengah. Kader-kader mereka, selain militan, juga tidak anti terhadap pendidikan Barat. Bayak kadernya yang kuliah di Amerika Serikat, Inggris, dan Eropa. Walaupun berpikiran modern, mereka dikenal taat menjalankan ajaran Islam, baik yang wajib maupun sunnah. Mereka juga dikenal melek teknologi, berbeda dengan dengan Taliban, misalnya. Inilah yang menakutkan bagi tiga pendukung Jokowi di atas kalau sampai PKS menjadi partai yang berkuasa. Oleh sebab itu, oleh kalangan PSI, baik faksi Goenawan Mohamad maupun faksi Fajroel, PKS yang menjadi sasaran serangan. Silakan amati sendiri serangan-serangan mereka terhadap PKS di media sosial. Kadang, serangan terhadap PKS juga dilancarkan lingkaran Kasebul di lingkaran PartaiSocmed. Gampang saja, kalau ada serangan kepada PKS, lihat saja latar belakangnya, pasti akan berkaitan dengan tiga komponen di atas: fundamentalis Katolik dan Kristen serta PSI (dan orang-orang Kiri yang diperalat tiga penyekong Jokowi tersebut).

Agar tak menyatu, partai yang berideologi Islam dibuat bimbang. Para pengamat sudah mulai bekerja dengan berbagai argumentasi bahwa poros partai-partai Islam sulit untuk diwujudkan, terutama PKS yang akan dijadikan target kebimbangan ini. Mereka tak begitu khawatir dengan PKB, misalnya. Sosok Muhaimin Iskandar sudah dikenal sebagai orang pragmatis. Gus Dur saja ia khianati, apalagi umat Islam. PAN dan PPP juga hampir serupa. Sementara itu, PBB suaranya tak signifikan. Tinggal PKS yang sulit dikendalikan. Apalagi, sampai saat ini, PKS tak mau membicarakan koalisi.

Kalau PKS nantinya akan mendukung Prabowo, akan diserang habis-habisan sebagai partai yang menyokong pelanggar hak asasi berat. Ini merupakan sasaran tembak yang empuk bagi kalangan PSI untuk menyerang PKS. Semisal PKS mendukung Ical, akan dihantam sebagai partai yang mendukung partai warisan Orde Baru: Golkar. Sementara itu, bila PKS akan membentuk poros partai Islam, akan diadu domba dengan sesama partai Islam. Maka, diarahkanlah PKS untuk mendukung Jokowi. Dukungan ini penting untuk memperlihatkan bahwa Jokowi yang didukung Amerika Serikat lewat tiga tangannya tadi mendapatkan legitimasi dari partai Islam yang ideologis, yaitu PKS. Maka opini pun diarahkan dengan berbagai argumentasi agar PKS merapat ke Jokowi. Bila jebakan ini berhasil menjerat PKS sehingga kemudian mendukung Jokowi dan tak berhasil membangun poros sendiri, hanya satu kata: wassalam. Satu benteng itu telah runtuh.

Sebagai penutup, dari semua uraian di atas, Jokowi sebetulnya tidak lebih hanyalah boneka bunraku. Boneka tersebut dimainkan dalam pertunjukan sandiwara Jepang untuk menghibur kalangan bangsawan. Dan, bangsawan-bangsanwan yang terhibur dengan boneka bunraku bernama Jokowi bila kelak menjadi presiden adalah fundamentalis Katolik (CSIS/Kasebul), fundamentalis Kristen (James Riyadi dkk), dan PSI (Goenawan Mohamad dkk)—yang ketiganya merupakan kaki tangan ndoro-ndoro di Amerika Serikat sana.

Pertanyaannya: apakah kita akan memilih boneka bunraku untuk memimpin 250 juta lebih penduduk Indonesia?

*Sebagian bahan tulisan ini diambil dari buku Pater Beek, Freemason, dan CIA karya M. Sembodo (AntiliberalNews)

**Penulis tinggal di Malang, Jawa Timur.

Sumber: Tikus Merah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar