ASATUNEWS - Banyak kalangan terperangah ketika Jacob Soetoyo menjadi
tuan rumah mempertemukan sejumlah duta besar negara asing dengan Gubernur DKI
Jakarta Jokowi dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri pada 13 April
lalu. Ada apa di balik pertemuan itu dan siapa sebenarnya Jacob Soetoyo?
Jacob Soetoyo lebih dikenal sebagai
pengusaha. Tapi, dalam konteks menjadi fasilitator pertemuan Jokowi-Mega dengan
para duta besar tersebut, tentu kapasitasnya sebagai bagian dari Centre for
Strategic and International Studies (CSIS) atau koneksinya dengan jaringan
elite dan intelijen Amerika Serikat.
Sudah banyak yang tahu, CSIS
merupakan lembaga pemikir Orde Baru yang memberikan masukan strategi ekonomi
dan politik pada pemerintahan Soeharto dan menjadi lembaga pemikir (think
tank) yang mempersiapkan platform politik dan kebijakan yang
diterapkan Indonesia.
Namun, pertemuan para duta besar
negara asing dengan Jokowi-Megawati, konteksnya lebih pada upaya umat Katolik
Indonesia melawan pengaruh elite Kristen Indonesia yang dimotori James Riady
terhadap Jokowi dan Megawati. Peran umat Katolik Indonesia itulah yang
dimainkan CSIS, kali ini melalui Jaco Soetoyo, Jusuf Wanandi, dan Sofjan
Wanandi.
Siapa sosok yang berperan dalam
pendirian CSIS? Sosok tersebut adalah Ali Moertopo, yang dikenal sebagai
kepercayaan Soeharto. Tapi, kedekatannya dengan Pater Beek belum banyak
terungkap. Ali pertama kali bekerjasama dengan Pater Beek dalam operasi
pembebasan Irian Barat. Berdasarkan catatan Ken Comboy (2007), saat itu tugas
Ali sebagai perwira intelijen. Pada saat yang bersamaan, Pater Beek juga berada
di Irian Barat. Ia menyamar sebagai guru. Tugas sebenarnya dari Pater Beek
adalah menjaga agar proses pembebasan Irian Barat tetap menguntungkan
kepentingan Amerika Serikat. Tugas ini berhasil. Sebagaimana kita ketahui,
sampai saat ini, Freeport masih menguasai tambang emas di Papua.
Setelah CSIS berhasil dibentuk Ali
Moertopo, tugas pelaksana harian diserahkan kepada 3 kader Kasebul: Jusuf dan
Sofjan Wanandi serta Harry Tjan Silalahi. Menurut Mujiburrahman (2006), Jusuf
dan Sofjan Wanandi merupakan kader utama Kasebul yang dididik Pater Beek.
Sewaktu mahasiswa dan pergolakan politik tahun 1965, keduanya menjadi bagian
penting dari Pergerakan Mahasiswa Katolik Indonesia (PMKRI). Akan halnya Harry
Tjan Silalahi adalah kader Kasebul yang ditempatkan di Partai Katolik sebagai
sekretaris jenderal. Tiga orang inilah yang hingga sekarang menjadi nakhoda
CSIS. Lewat lembaga inilah kebijakan anti-Islam dijalankan.
Pater Beek memang piawai dalam usaha
menghancurkan Islam. Ia tidak hanya memakai orang Katolik seperti Jusuf Wanandi
dan Harry Tjan untuk melakukannya, tapi juga memakai orang Islam sendiri. Ali
Moertopo, misalnya, ia tumbuh dari keluarga santri, tetapi lewat CSIS dan
Operasi Khusus-nya justru mengobok-obok Islam. Sebut nama lain: Daoed Joesoef.
Ia seorang muslim asal Sumatera Timur, tapi berhasil digunakan Pater Beek untuk
membuat kebijakan yang merugikan umat Islam. Sewaktu menjabat sebagai Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, ia melarang sekolah libur pada bulan Ramadan dan
siswi yang beragama Islam dilarang menggunakan jilbab.
Bahkan tidak hanya itu. Kader Pater
Beek dalam Kasebul juga dilatih menyusup dengan pindah agama menjadi Islam.
Sebut saja Ajianto Dwi Nugroho. Sewaktu masih mahasiswa di Fiakultas Ilmu
Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada, ia berpacaran dengan mahasiswa
Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yogyakarta (sekarang Universitas Negeri
Yogyakarta) yang berjilbab. Sekarang, ia menikah dengan janda beranak satu yang
beragama Islam. Dan, Ajianto saat ini punya KTP yang mencantumkan agamanya
adalah Islam. Ajianto merupakan kader Kasebul generasi baru yang masuk dalam
lingkaran Jasmev pada era Pilkada DKI untuk memenangkan Jokowi. Sekarang, ia
bergabung dalam lingkaran PartaiSocmed dengan target menjadikan Jokowi sebagai
presiden. Itulah kehebatan kader-kader Kasebul dalam menjalankan misinya.
Nah, kenapa tiba-tiba Jacob Soetoyo
muncul? Tentu saja ini berkaitan dengan persaingan para cukong di lingkaran
Jokowi sendiri. Sudah banyak diketahui, James Riyadi telah mendukung Jokowi
sejak awal. Selain dikenal sebagai pengusaha papan atas, yang belum banyak
diketahui, ia adalah pemeluk fundamentalis Kristen. Ia juga diduga adalah agen
intelijen pemerintah Cina sebagaimana banyak disebut dalam dokumen-dokumen hasil
investigasi lembaga resmi Amerika Serikat ketika James Riyadi dan kelompoknya
dinyatakan terlibat dalam donasi haram untuk tim sukses pemenangan Partai
Demokrat dan calon presiden Bill Clinton, yang terkenal dengan julukan Skandal
Lippo (Lippogate).
James dikenal sebagai pemeluk
Kristen Evangelis sejak tahun 1990, langsung dibimbing oleh Pat Robertson,
tokoh terkemuka Televangelis Amerika Serikat, yang dikenal sebagai elite partai
Republik Amerika Serikat yang sangat anti dan benci kepada Islam dan penganjur
utama serangan militer Amerika Serikat ke Irak pada tahun 2003 lalu.
Di Amerika Serikat, aliran ini
dikenal radikal dan fundamentalis. Salah satu pengikutnya adalah adalah
keluarga Bush. Sikap anti-Islamnya sudah mendarah daging. Ketika menjadi presiden,
George W Bush memerintahkan pasukannya untuk membantai ratusan ribu umat Islam
di Afghanistan dan Irak. Inilah yang dianggap sebagai ancaman oleh
fundementalis Katolik dalam lingkaran CSIS. Apalagi, James Riyadi secara
atraktif lewat familinya, Taher, mendatangkan Bill Gates ke Indonesia dengan
tujuan agar seolah-olah Jokowi mendapatkan dukungan dari pengusaha papan atas
Amerika Serikat.
Sudah menjadi rahasia umum, walaupun
sama-sama memusuhi Islam, antara fundamentalis Katolik dan fundamentalis Kristen
terjadi permusuhan yang sengit--pandangan mereka yang Islamphobia tentu
saja tak mewakili pandangan mayoritas umat nasrani di Indonesia yang sebagian
besar menghargai toleransi]. Melihat manuver James Riyadi yang sudah dianggap
kelewatan, turun tangalah Jacob mewakili lingkaran CSIS. Rupanya, James
melupakan bahwa ada dua jaringan di Indonesia yang punya hubungan kuat dengan
Amerika Serikat: CSIS dan Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Jaringan CSIS pun unjuk taring.
Tidak tangung-tangung, mereka mengumpulkan duta besar dari negara berpengaruh,
antara lain Amerika Serikat, Cina, dan Vatikan. Begitu kuatnya pengaruh CSIS
sampai-sampai duta-duta besar tersebut mau berkumpul di rumah Jacob yang tidak
dikenal sebelumnya. Saking berpengaruhnya pula, Megawati, seorang mantan
Presiden RI, bersedia mengikuti skenario CSIS.
Di sinilah perang di antara
cukong-cukong pendukung Jokowi antara faksi James Riyadi (Kristen) dengan faksi
Jacob/CSIS/Kasebul (Katolik) mulai ditabuh. Mereka semua melihat bahwa Jokowi
akan menang pemilihan presiden sehingga masing-masing perlu menanamkan pengaruh
sejak awal.
Di mana Posisi Jusuf Kalla?
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla
diketahui memiliki hubungan sangat dekat dengan kelompok Sofjan Wanandi dkk.
Bahkan, Keluarga Wanandi sejak dulu dikenal sebagai pendukung utama Jusuf
Kalla, termasuk pada pemilihan presiden 2014.
Jacob adalah almuni McGill
University, Montreal Kanada, sama seperti Justiani, mantan aktivis mahasiswa
Institut Teknologi Bandung yang bernama asli Lim Siok Lian, pernah dituding
sebagai anggota Central Intelligent Agency (CIA). Kaitan antara Justiani, CIA,
dan Jacob belum diketahui pasti, termasuk kemungkinan Jacob adalah anggota CIA.
Manuver CSIS lewat Jakob membuat
resah kubu James Riyadi. Investasi James Riady dan kelompoknya sudah triliunan
rupiah untuk mengangkat popularitas Jokowi selama dua tahun terakhir. Khawatir
dominasinya hilang dari Jokowi, pasca pertemuan duta-duta asing dengan
Jokowi-Megawati, media dalam kendali James Riyadi pun mulai mengungkit-ungkit
peran CSIS sebagai lembaga yang pada masa Orde Baru telah ikut menzalimi
Megawati dan PDIP.
Megawati diingatkan tentang fakta
itu. Tujuan akhirnya tentu saja agar Mega dan Jokowi menjauh dari CSIS sehingga
James Riyadi bisa dominan lagi. Tapi, jangan sampai dilupakan, kubu CSIS/Jusuf
Wanandi punya koran The Jakarta Post, sebuah koran berbahasa Inggris
yang cukup berwibawa, yang bisa melakukan serangan balik.
Kita tahu sendiri, sekali
memberitakan bahwa Puan mengusir Jokowi dari rumah Megawati, peta politik di
internal PDIP berubah dratis. Puan tiba-tiba hilang, Megawati seperti tak
memikirkan lagi koalisi, dan Jokowi seperti anak kehilangan induk, ke
sana-kemari mencari teman koalisi.
Megawati terkesan menikmati perseteruan
kubu Wanandi melawan Riyadi, sekaligus memberi kesempatan bagi Megawati untuk
melonggarkan tekanan kedua pihak tersebut, yang memaksakan kehendak mereka
untuk mencalonpresidenkan Jokowi.
Tapi, jangan dilupakan faksi Partai
Sosialis Indonesia (PSI). Partai yang didirikan Sutan Sjahrir pada era Seokarno
ini memang sudah tak ada, tapi kadernya sampai saat ini masih bergentanyangan.
Tokoh-tokoh PSI seperti Goenawan
Mohamad terang-terangan sudah mendukung Jokowi. Ia menggunakan
jaringan-jaringan yang ia miliki, seperti Jaringan Islam Liberal (JIL), grup
majalah Tempo, sampai orang-orang Kiri yang berhasil ia kader, seperti
Coen Husein Pontoh dan Margiyono—dulu anggota Partai Rakyat Demokratik yang
kemudian murtad dengan mendirikan Perhimpunan Demokratik Sosialis (PDS).
PDS
ini pendiriannya tidak bisa dilepaskan dari sosok Goenawan Mohamad;
pendeklarasian organisasi ini dilakukan di Teater Utan Kayu (TUK)—yang sekarang
melakukan manipulasi-manipulasi terhadap ajaran marxisme agar bisa dijadikan
dalih untuk mendukung Jokowi. Semua itu satu komando untuk mendukung Jokowi.
Agenda utama tokoh-tokoh PSI
mendukung Jokowi adalah mewujudkan Indonesia sebagai negara liberal sekuler.
Agenda sama yang juga dipelopori Goenawan Mohamad, Marsilam Simanjutak, Rahman
Tolleng, dkk.
Selain Goenawan, ada faksi PSI yang
dikomandoi Jakob Oetama dengan kelompok koran Kompas-nya. Mereka punya
media nasional yang sudah sejak lama telah menggoreng Jokowi lewat
pemberitaan-pemberitaannya. Sebagai sesama Katolik, grup koran Kompas tentu
bisa bekerja sama dengan kubu CSIS. Mereka sama-sama pernah dididik Pater Beek.
Bahu-membahu keduanya tentu saja akan menghasilkan kekuatan yang besar, dengan
jaringan media yang sudah mengakar kuat.
Dari lingkaran PSI lainnya ada
Yamin. Ia salah satu yang membidani kelahiran Sekretariat Nasional Jokowi.
Sewaktu mahasiswa pada tahun 1980-an, ia aktif di kelompok kiri Rode, yang
berada di Yogyakarta. Ia dekat dekat dengan tokoh PSI Yogyakarta, Imam
Yudhotomo. Yamin disokong aktivis kiri era 1980-an, Hilmar Farid. Ia dulu
pernah terlibat dalam masa-masa pembentukan PRD. Mantan istrinya, Gusti Agung
Putri Astrid, merupakan kader Kasebul yang banyak terlibat dengan aksi-aksi
sosial pada era 1990-an; ia sekarang menjadi calon anggota legislatif PDIP dari
daerah pemilihan Bali. Peran Hilmar adalah sebagai perumus strategi yang perlu
diambil Sekretariat Nasional Jokowi dalam menghadapi pemilihan presiden.
Faksi PSI lainnya ada Fajroel
Rachman. Ia dulu dikenal sebagai aktivis mahasiswa Institut Teknologi Bandung.
Ia dekat dengan tokoh PSI zaman Orde Lama, Soebadio Sastrosastomo. Kelompok
Fajroel ini sebetulnya yang paling lemah karena tidak punya koneksi apa-apa.
Makanya, ia hanya bergerak di media sosial saja dengan mengandalkan jumlah follower
di akun Twitter-nya dan selalu membonceng isu-isu nasional yang sedang
hangat dengan cara mengikuti arus utama (mainstream), sehingga dia bisa
mendapat panggung dan mencuri perhatian publik.
Di antara faksi-faksi PSI tersebut,
yang punya hubungan kuat dengan Amerika Serikat adalah faksi Goenawan Mohamad.
Sebagaimana ditulis oleh Wijaya Herlambang, Goenawan adalah agen CIA yang sudah
dipekerjakan sejak akhir era Soekarno. Begitu kuatnya hubungan Goenawan dengan
Amerika Serikat bisa dilihat ketika ia kalah dalam sengketa dengan pengusaha
Tomy Winata, Duta Besar Amerika Serikat turun langsung untuk “mendamaikan”
kasus tersebut agar tidak berlarut-larut. Goenawan pula yang dulu ikut
memuluskan langkah Boediono menjadi wakil presiden. Sebetulnya, ia ingin
mendorong Sri Mulyani maju, tapi partai SRI tidak lolos. Goenawan dan Sri
Mulyani memang dekat. Ketika Sri Mulyani diserang Ical dalam kasus Bank Century
sampai akhirnya ia mundur sebagai Menteri Keuangan, Goenawan amat marah
sampai-sampai mengembalikan Bakrie Award yang pernah ia terima.
Silahkan mengobrak-abrik semua
analisis politik, tetap saja penyokong utama Jokowi ada tiga itu: fundamentalis
Katolik (CSIS/Kasebul), fundamentalis Kristen (James Riyadi dkk), dan faksi PSI
(Goenawan Mohamad dkk). Nah, mengapa mereka turun bersama-sama mendukung
Jokowi?
Bangkitnya Islam politik tentu saja
dianggap sebagai ancaman. Sepanjang pemilihan umum di era Orde Baru, perolehan
suara partai Islam dalam Pemilihan Umum 2014 adalah yang terbesar. Suara PKB,
PAN, PKS, PPP, dan PBB bila digabungkan mengungguli partai-partai yang lain.
Tentu saja yang dianggap yang paling berbahaya adalah PKS. Sebelum pemilu, PKS
sudah dikesankan oleh berbagai lembaga survei (termasuk CSIS) tidak akan lolos
ke Senayan. Senyatanya, mereka masih memperoleh suara 7%--yang bisa jadi jumlah
kursinya bisa menduduki peringkat ke empat di Senayan.
PKS dikenal dengan kader-kadernya
dari kalangan kelas menengah. Kader-kader mereka, selain militan, juga tidak
anti terhadap pendidikan Barat. Bayak kadernya yang kuliah di Amerika Serikat,
Inggris, dan Eropa. Walaupun berpikiran modern, mereka dikenal taat menjalankan
ajaran Islam, baik yang wajib maupun sunnah. Mereka juga dikenal melek
teknologi, berbeda dengan dengan Taliban, misalnya. Inilah yang menakutkan bagi
tiga pendukung Jokowi di atas kalau sampai PKS menjadi partai yang berkuasa.
Oleh sebab itu, oleh kalangan PSI, baik faksi Goenawan Mohamad maupun faksi
Fajroel, PKS yang menjadi sasaran serangan. Silakan amati sendiri
serangan-serangan mereka terhadap PKS di media sosial. Kadang, serangan
terhadap PKS juga dilancarkan lingkaran Kasebul di lingkaran PartaiSocmed.
Gampang saja, kalau ada serangan kepada PKS, lihat saja latar belakangnya,
pasti akan berkaitan dengan tiga komponen di atas: fundamentalis Katolik dan
Kristen serta PSI (dan orang-orang Kiri yang diperalat tiga penyekong Jokowi
tersebut).
Agar tak menyatu, partai yang
berideologi Islam dibuat bimbang. Para pengamat sudah mulai bekerja dengan
berbagai argumentasi bahwa poros partai-partai Islam sulit untuk diwujudkan,
terutama PKS yang akan dijadikan target kebimbangan ini. Mereka tak begitu
khawatir dengan PKB, misalnya. Sosok Muhaimin Iskandar sudah dikenal sebagai
orang pragmatis. Gus Dur saja ia khianati, apalagi umat Islam. PAN dan PPP juga
hampir serupa. Sementara itu, PBB suaranya tak signifikan. Tinggal PKS yang
sulit dikendalikan. Apalagi, sampai saat ini, PKS tak mau membicarakan koalisi.
Kalau PKS nantinya akan mendukung
Prabowo, akan diserang habis-habisan sebagai partai yang menyokong pelanggar
hak asasi berat. Ini merupakan sasaran tembak yang empuk bagi kalangan PSI
untuk menyerang PKS. Semisal PKS mendukung Ical, akan dihantam sebagai partai
yang mendukung partai warisan Orde Baru: Golkar. Sementara itu, bila PKS akan
membentuk poros partai Islam, akan diadu domba dengan sesama partai Islam.
Maka, diarahkanlah PKS untuk mendukung Jokowi. Dukungan ini penting untuk
memperlihatkan bahwa Jokowi yang didukung Amerika Serikat lewat tiga tangannya
tadi mendapatkan legitimasi dari partai Islam yang ideologis, yaitu PKS. Maka
opini pun diarahkan dengan berbagai argumentasi agar PKS merapat ke Jokowi.
Bila jebakan ini berhasil menjerat PKS sehingga kemudian mendukung Jokowi dan
tak berhasil membangun poros sendiri, hanya satu kata: wassalam. Satu benteng
itu telah runtuh.
Sebagai penutup, dari semua uraian
di atas, Jokowi sebetulnya tidak lebih hanyalah boneka bunraku. Boneka tersebut
dimainkan dalam pertunjukan sandiwara Jepang untuk menghibur kalangan
bangsawan. Dan, bangsawan-bangsanwan yang terhibur dengan boneka bunraku
bernama Jokowi bila kelak menjadi presiden adalah fundamentalis Katolik
(CSIS/Kasebul), fundamentalis Kristen (James Riyadi dkk), dan PSI (Goenawan
Mohamad dkk)—yang ketiganya merupakan kaki tangan ndoro-ndoro di Amerika
Serikat sana.
Pertanyaannya: apakah kita akan
memilih boneka bunraku untuk memimpin 250 juta lebih penduduk Indonesia?
*Sebagian bahan tulisan ini
diambil dari buku Pater Beek, Freemason, dan CIA karya M. Sembodo
(AntiliberalNews)
**Penulis tinggal di Malang, Jawa
Timur.
Sumber: Tikus Merah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar