Petani di sebagian wilayah eks-Keresidenan Banyumas, Jawa Tengah, yang
meliputi Kabupaten Banyumas, Cilacap, Purbalingga, dan Banjarnegara
telah memasuki musim panen.
Kendati demikian, panen padi tersebut belum serta merta
menurunkan harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani yang saat
ini masih bertahan di kisaran Rp3.800-Rp3.900 per kilogram.
Kondisi tersebut menyebabkan Perum Bulog Subdivisi Regional
Banyumas belum bisa menyerap gabah hasil panen petani secara maksimal
karena harganya masih di atas harga pembelian pemerintah (HPP) yang
Rp3.700 per kilogram.
Di sisi lain, Bulog Banyumas harus bersaing dengan tengkulak
dari wilayah Jawa Barat yang mendatangi area persawahan siap panen di
Kabupaten Cilacap dan Banyumas dengan membawa truk untuk mengangkut
hasil panen petani yang dijual kepada mereka.
Oleh karena itu, Bulog Banyumas pun gencar menyosialisasikan
program pengadaan pangan melalui spanduk yang dipasang di area
persawahan yang akan segera dipanen oleh petani.
"Pemasangan spanduk itu dilakukan supaya petani tahu kalau
Bulog juga membeli gabah sesuai dengan HPP (Harga Pembelian
Pemerintah)," kata Pejabat Humas Bulog Subdivre Banyumas M. Priyono di
Purwokerto.
Menurut dia, sosialisasi tersebut dilakukan untuk
mengantisipasi kemungkinan adanya tengkulak pedagang dari luar daerah
yang membeli gabah petani dengan harga rendah atau di bawah HPP yang
Rp3.700 per kilogram GKP itu.
Bahkan, Bulog Banyumas juga menerjunkan seluruh Satuan Kerja
(Satker) yang berjumlah 19 orang ke lapangan untuk menyerap gabah hasil
panen petani agar gabahnya tidak dijual ke tengkulak.
Berdasarkan data Bulog Banyumas hingga akhir pekan kedua Maret
2016, Satker telah membeli gabah dari petani sekitar 30 ton dan sebagian
di antaranya termasuk gabah yang dibeli saat kunjungan Menteri
Pertanian Andi Amran Sulaiman di Kabupaten Cilacap pada 29 Februari 2016
telah disetorkan ke gudang Bulog Banyumas dalam bentuk beras 15 ton.
Priyono mengakui bahwa harga GKP di beberapa kabupaten yang
masuk wilayah kerja Bulog Banyumas masih tinggi atau di atas HPP.
"Harganya masih ada yang mencapai Rp3.800 per kilogram. Kami
tidak berani beli jika harganya terlalu tinggi atau melampaui HPP untuk
GKP yang sebesar Rp3.700 per kilogram," katanya.
Ia memperkirakan harga GKP bisa menyentuh HPP saat panen raya yang akan berlangsung pada akhir Maret hingga April 2016.
Saat melakukan panen raya di Desa Mernek, Kecamatan Maos,
Kabupaten Cilacap, pada 29 Februari 2016, Menteri Pertanian Andi Amran
Sulaiman mengatakan bahwa pada Januari-Februari sering terjadi
kelangkaan beras karena sedang masa paceklik.
Akan tetapi, katanya, saat sekarang beras berlimpah di berbagai daerah karena sedang masa panen.
"Biasanya Januari-Februri, beras tidak pernah melimpah seperti sekarang ini," katanya.
Oleh karena itu, dia mengajak petani untuk menanam padi secara serentak sehingga panennya pun bisa serentak.
Dengan demikian, kata dia, stok beras nasional akan tetap terjaga.
Dalam acara yang sama, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo
mengajak petani di Jateng, khususnya Kabupaten Cilacap, untuk menolak
impor beras karena produksi padi saat ini melimpah.
"Hasil seperti ini tidak hanya di Cilacap, hampir seantero Indonesia. Masak masih impor beras," katanya.
Dalam perjalanan dari Semarang menuju Cilacap dengan
menggunakan helikopter, dia mengaku melihat hamparan sawah yang
menguning karena memasuki masa panen sehingga disayangkan jika masih
dilakukan impor beras.
Lebih lanjut, Ganjar mengatakan bahwa ke depan akan menghadapi
perang untuk berebut pangan karena saat sekarang sudah perang
memperebutkan energi.
"Kedaulatan pangan dan kedaulatan energi merupakan suatu
keharusan. Kita harus yakin mampu bangkit dan mampu berproduksi untuk
mencukupi kebutuhan pangan sendiri," katanya.
Ia mengatakan bahwa produksi gabah kering panen di Jawa Tengah
pada 2015 mencapai 11,05 juta ton atau melebihi target yang 10,22 juta
ton.
Menurut dia, petani tidak perlu menargetkan produktivitas yang
tinggi atau di atas delapan ton per hektare karena dengan tujuh ton per
hektare saja sudah mencukupi kebutuhan pangan.
"Dengan tujuh ton per hektare saja sudah bisa menyelamatkan negara ini," katanya.
Bibit Unggul
Keberhasilan produksi padi tidak lepas dari ketersediaan bibit
unggul yang tahan terhadap serangan hama dan penyakit tanaman.
Salah seorang petani di Desa Mernek, Kecamatan Maos, Cilacap,
Jamhari, mengatakan bahwa hasil panen pada musim tanam Oktober-Maret
kali ini merosot akibat serangan hama dan penyakit tanaman serta roboh
terkena angin kencang.
"Dalam kondisi normal, biasanya hasil panen saya bisa mencapai
enam ton per hektare namun sekarang hanya 4,5 ton per hektare karena
terserang penyakit blas," katanya.
Menurut dia, penyakit blas ditandai dengan munculnya jamur pada
batang yang mengakibatkan bulir padi tidak terisi maksimal.
Selain itu, kata dia, hama wereng cokelat juga menyerang tanaman padi di Kecamatan Maos.
Oleh karena itu, dia mengharapkan adanya bibit padi unggul yang
tahan terhadap serangan hama maupun penyakit seperti blas dan wereng
cokelat sehingga produksi padi tidak terkendala.
Guna mendukung peningkatan produksi padi, PT Petrokimia Gresik
yang selama ini dikenal sebagai produsen pupuk, memperkenalkan benih
Hibrida Padi 18 (Hipa 18) kepada petani, khususnya di Desa Mernek,
Kecamatan Maos, Cilacap.
Benih padi unggulan Hipa 18 yang dikembangkan PT Petrokimia
Gresik bersama Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi, Jawa
Barat itu, ditanam pada lahan demonstrasi plot (demlot) di Desa Mernek
pada musim tanam Oktober-Maret.
Saat dipanen pada 12 Maret 2016, produksi padi Hipa 18 yang
ditanam di lahan demplot tersebut mencapai 10,7 ton per hektare.
Hasil panen tersebut pun menarik minat petani untuk menanam
padi Hipa 18 karena selain produksinya yang tinggi, benih padi unggulan
yang dikembangkan perusahan "pelat merah" itu juga tahan terhadap hama
wereng dan penyakit blas.
"Pada musim tanam kali ini memang cuacanya cukup ekstrem namun
kami bisa buktikan hasilnya bagus. Pada musim tanam mendatang
(April-September), saya yakin hasilnya bisa lebih bagus lagi," kata
salah seorang petani yang mengolah lahan demplot Hipa 18, Kuswanto.
Pada musim tanam sebelumnya, dia mengaku menanam padi
nonhibrida dan hasil panennya hanya enam ton per hektare, sedangkan
hasil demplot padi Hipa 18 yang ditanam pada musim tanam Oktober-Maret
mencapai 10,7 hektare.
Oleh karena hasil produksinya lebih tinggi jika dibandingkan
dengan padi nonhibrida, dia menganjurkan petani lainnya untuk menanam
padi hibrida seperti Hipa 18.
Bahkan, kata dia, padi Hipa 18 juga tahan terhadap serangan hama wereng maupun bakteri kresek atau hawar daun.
"Saya mengharapkan padi hibrida ini (Hipa 18, red.) bisa
diterima oleh petani secara umum agar produksinya lebih bagus, di atas
10 ton per hektare, sehingga swasembada pangan bisa tercapai," kata
Kuswanto yang juga Ketua Pos Penyuluh Desa Mernek itu.
http://jateng.antaranews.com/detail/menggapai-harapan-dari-panen-raya-padi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar