PERSOALAN teknis seputar impor beras dinilai hanya sebagian kecil
dari masalah yang dihadapi dunia perdagangan Tanah Air. Ujung
permasalahan yang sebenarnya adalah Indonesia telah terjebak dalam
perangkap impor pangan.
Lalu apakah benar Indonesia membutuhkan impor beras?
”Nggak,
produksi (beras) lokal cukup. Kalau pemerintah berani nggak usah impor.
Untuk stok juga cukup,” tegas Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB)
Dwi Andreas Santosa.
Pengamat pertanian itu menyatakan sebagai
gambaran saja, luas panen rata-rata 13 juta- 14 juta hektare. Kalau luas
panen terpenuhi saja maka produksinya sudah mencapai 70 juta ton gabah
kering giling. Hal itu sudah jauh mencukupi dari kebutuhan.
”Kalau
kita memanfaatkan tingkat produktifitasnya. Pertanyaannya apakah petani
terdorong untuk menanam itu sehingga luas panen kita meningkat.
Dorongan yang paling besar adalah dari sisi harga. Itulah karut marut
kita. Pemerintah seringkali tidak mau tahu, seringkali impor,”
tandasnya.
Namun, ketika ditanya apakah mimpi Indonesia mengekspor beras bisa terwujud, Andreas langsung menjawab, itu omong kosong.
”Kecuali kalau pemerintah benar-benar luar biasa serius mewujudkan kedaulatan pangan,” tambahnya.
Sayangnya,
dia menilai kedaulatan pangan hanya lip service. Sebab, selama ini
kebijakan pemerintah justru lebih banyak membuka keran impor pangan.
Dia
menyatakan impor pangan Indonesia selalu meningkat dari tahun ke tahun.
”Makin lama impor pangan kita semakin tinggi. Sebagai contoh dalam 3
tahun terakhir meningkat 60%. Bayangkan saja, ini negara agraris kok,”
katanya Ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia itu.
Soal
apakah ada beras premium atau medium yang menyalahi prosedur impor,
Andreas tak ambil pusing. Dia justru mencermati kesalahan pemerintah
yang telah membuka keran impor untuk pangan.
”Impor beras tanpa
izin pemerintah, nggak hanya beras. Impor pangan secara umum luar biasa,
persoalannya seperti kedelai. Pemerintah mengizinkan 20 importir baru
masuk, ini apa-apaan? Mendag mengeluarkan banyak aturan yang
meliberalisasi sektor pangan kita. Kita sekarang masuk perangkap impor
pangan, sekali masuk ke sana agak susah keluar lagi. Karena banyak
kepentingan masuk, dan kepentingan uang yang sangat menentukan saat
ini,” paparnya.
Dia menilai impor pangan itu belum tentu dilakukan
saat kondisi stok defisit. Untuk cabai misalnya, ada impor, padahal
produksi nasional mencukupi.
Menurutnya, tidak tertutup kemungkinan ada permainan kuota impor akibat data yang masih tidak sinkron antarinstansi.
Dia menegaskan, harga pangan impor seperti beras atau kedelai yang lebih murah dari produksi lokal karena harga itu artisifial.
”Beras
dari Vietnam atau Thailand atau kedelai dari Ameria bisa murah karena
pemerintahnya memberikan subsisi yang sangat besar. Jadi komoditas itu
dikeluarkan dari negara mereka saja sudah untung, karena jika tidak
diekspor maka akan mengganggu harga di sana,” ungkapnya.
Produksi
mereka yang murah kemudian berhadapan langsung dengan produksi petani
Indonesia yang dinilai Andreas masih minim insentif. Akibatnya, harga
pangan lokal pun kalah saing dengan produk impor.
Petani pun
menjadi malas dan memilih beralih ke produk tanam yang menguntungkan.
Akibatnya, stok dalam negeri pun tidak memadai dan akhirnya pemerintah
mengambil langkah impor. ”Itulah namanya perangkap impor pangan,”
tandasnya.
Memang, pemerintah tidak mengimpor beras pada tahun
lalu dan tahun ini. ”Pada 2013 dan sampai sekarang Bulog tidak impor
beras,” kata Dirut Bulog Sutarto Ali Moeso.
Menurutnya, hal itu
merupakan kesepakatan yang diambil pemerintah berdasarkan tiga indikator
penting. ”Pertama, produksi, kalau produksi bagus tentunya suplai cukup
dan pengaruhnya terhadap harga. Kedua, harga stabil yang akan
mempengaruhi, ketiga, stok pemerintah yang dikuasai Bulog cukup. Karena
tiga indikator tersebut tercapai pemerintah tidak menugaskan Bulog untuk
impor,” jelasnya. Kementerian Pertanian mengungkapkan selama 2013
produksi beras secara nasional mengalami surplus sebanyak 5,4 juta ton.
Di mana kebutuhan beras dalam negeri sebanyak 34,4 juta ton, sedangkan
ketersediaan mencapai 39,8 juta ton.
http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2014/02/17/252770
Tidak ada komentar:
Posting Komentar