Minggu, 02 Februari 2014

Erupsi Gita Wirjawan dan Sinabung

Erupsi Sinabung menorehkan duka yang dalam bagi keluarga korban. Asap tebal beracun dan panas itu, telah menohok gelisah dan ibah sekian kita yang menyaksikan dari jauh dengan air mata duka

Namun, di baliknya, kita hanya bisa mengangkat tangan atas kedigdayaan alam dan kuasa-Nya. Mungkin alam dan pemiliknya sedag berdialog dengan kita tentang kebesaran dan kekuasaan pemiliknya. Erupsi Sinabung yang memekik duka itu, telah mengorek naluri kemanusiaan kita untuk membantu saudara-saudara disana yang tertimpa nestapa ini. 

Tak saja erupsi Sinabung, hiruk-pikuk demokrasi di negeri ini pun terus memanggil. Konon, saat ini, kita menyaksikan betapa kekuasaan mudah dimain dan dipindahtangankan dengan proses yang tak sehat. Pengunduran diri Gita Wirjawan dari jabatannya sebagai menteri perdagangan, menyembulkan letupan-letupan kecil kegelisahan disaat neraca perdagangan kita merosot, terjun bebas dan rentan bersumbangsih pada defisit neraca berjalan dari tahun ke tahun. 

Beberapa kali nilai rupiah kita terhadap US$ terdepresiasi dari Rp.11.000 per US$ hingga melampaui Rp. 12.000 di kuartal III 2013. Ini adalah erupsi politik ekonomi kita yang menyengsarakan. Cadangan devisa yang mestinya bisa digunakan untuk sektor UKM, malah dipake menambal defisit, agar moneter kita tak kolaps.

Tekanan magma politik yang terus mendidih, kian hari menjebak profesionalisme bernegara terasa semakin puruk dan gersang. Presiden dan menterinya, secara berjamaah urus partai. Akibatnya, sektor ekonomi kita terbengkalai, semuanya dipasrahkan pada barang impor dengan dalih konsumsi domistik kita terus bergerak positif.
 
Setelah mengurung paradigma perdagangan kita menjadi sangat neolib, serba impor, dan serba investasi modal asing, kini Gita “buang handuk”. Ia bahkan ditengarai publik lari dari tanggungjawab, karena panggilan gairah politik yang juga mendidih dan kian eruptif saja

Dus ulah Gita ini, memberikan makna dan model penjiwaan bernegara yang tak elok. Kira-kira bisa disimpul, Gita melepas jabatan menteri demi mengejar jabatan presiden. Kalau bukan begitu lalu apa?
Kemunduran Gita pun memantik sekian soal, disaat impor beras ribuan ton yang kadung sudah menumpuk di Pasar Induk Beras Cipinang. Ini apa-apaan? Bayangkan, kita mengimpor beras disaat produksi beras dalam negeri pada tahun 2013 mencapai 5 juta ton. Bahkan masih surplus untuk satau tahun ke depan (2014). Bulog sendiri masih punya stok beras hingga dua juta ton. 

Konon di beberapa wawancaranya Gita mengatakan, impor beras itu atas rekomendasi mentan. Sebaliknya mentan malah ingin minta klarifikasi Gita, karena merasa tak pernah mengeluarkan rekomendasi impor beras jenis premium dari Vietnam. Lalu siapa sebenarnya yang paling berhak mengeluarkan Surat Perizinan Impor (SPI) untuk impor beras. Gita atau Suswono? 

Atau boleh saja kita menghela asumsi, bahwa ini episode berikut PKS mengerjai Partai Demokrat dalam rumah tangga Setgab? Wallahualam. Tapi ini cara-cara sadis membunuh petani dalam negeri. Siapapun itu otaknya. Ini bentuk lain pengkhianatan terhadap rakyat. Inilah cara-cara bandit kapitalis yang badung dan banal. Pantas harga jual petani dalam negeri kian hari kian merangkak saja. Ternyata ada praktek-praktek sadisme dalam struktur perdagangan dalam negeri.

Erupsi Sinabung, menelan harga kemanusiaan yang teramat. Tapi tak kalah menyesakkan, langkah Gita dan sekian soal yang ditanggali, tak saja mencederai profesionalisme bernegara, tapi menimbulkan desas-desus yang semakin tak karuan. Kita khawatir, erupsi setelah pengunduran diri Gita,  termasuk misteri beras impor, menyembulkan erupsi politik yang jauh lebih sadis. Wallahualam. 

http://politik.kompasiana.com/2014/02/02/erupsi-gita-wirjawan-dan-sinabung-630572.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar