Namun, di baliknya,
kita hanya bisa mengangkat tangan atas kedigdayaan alam dan kuasa-Nya.
Mungkin alam dan pemiliknya sedag berdialog dengan kita tentang
kebesaran dan kekuasaan pemiliknya. Erupsi Sinabung
yang memekik duka itu, telah mengorek naluri kemanusiaan kita untuk
membantu saudara-saudara disana yang tertimpa nestapa ini.
Tak
saja erupsi Sinabung, hiruk-pikuk demokrasi di negeri ini pun terus
memanggil. Konon, saat ini, kita menyaksikan betapa kekuasaan mudah
dimain dan dipindahtangankan dengan proses yang tak sehat.
Pengunduran diri Gita Wirjawan dari jabatannya sebagai menteri
perdagangan, menyembulkan letupan-letupan kecil kegelisahan disaat
neraca perdagangan kita merosot, terjun bebas dan rentan bersumbangsih
pada defisit neraca berjalan dari tahun ke tahun.
Beberapa
kali nilai rupiah kita terhadap US$ terdepresiasi dari Rp.11.000 per
US$ hingga melampaui Rp. 12.000 di kuartal III 2013. Ini adalah erupsi
politik ekonomi kita yang menyengsarakan. Cadangan devisa yang mestinya
bisa digunakan untuk sektor UKM, malah dipake menambal defisit, agar moneter kita tak kolaps.
Tekanan magma politik yang terus mendidih, kian hari menjebak profesionalisme bernegara terasa semakin puruk dan gersang. Presiden dan menterinya, secara berjamaah urus partai. Akibatnya,
sektor ekonomi kita terbengkalai, semuanya dipasrahkan pada barang
impor dengan dalih konsumsi domistik kita terus bergerak positif.
Setelah
mengurung paradigma perdagangan kita menjadi sangat neolib, serba
impor, dan serba investasi modal asing, kini Gita “buang handuk”. Ia
bahkan ditengarai publik lari dari tanggungjawab, karena panggilan
gairah politik yang juga mendidih dan kian eruptif saja.
Dus
ulah Gita ini, memberikan makna dan model penjiwaan bernegara yang tak
elok. Kira-kira bisa disimpul, Gita melepas jabatan menteri demi
mengejar jabatan presiden. Kalau bukan begitu lalu apa?
Kemunduran Gita pun memantik sekian soal, disaat impor beras ribuan ton yang kadung sudah menumpuk di Pasar Induk Beras Cipinang.
Ini apa-apaan? Bayangkan, kita mengimpor beras disaat produksi beras
dalam negeri pada tahun 2013 mencapai 5 juta ton. Bahkan masih surplus untuk satau tahun ke depan (2014). Bulog sendiri masih punya stok beras hingga dua juta ton.
Konon di beberapa wawancaranya Gita mengatakan, impor beras itu atas rekomendasi mentan. Sebaliknya
mentan malah ingin minta klarifikasi Gita, karena merasa tak pernah
mengeluarkan rekomendasi impor beras jenis premium dari Vietnam. Lalu
siapa sebenarnya yang paling berhak mengeluarkan Surat Perizinan Impor (SPI) untuk impor beras. Gita atau Suswono?
Atau boleh saja kita menghela asumsi, bahwa ini episode berikut PKS mengerjai Partai Demokrat dalam rumah tangga Setgab? Wallahualam.
Tapi ini cara-cara sadis membunuh petani dalam negeri. Siapapun itu
otaknya. Ini bentuk lain pengkhianatan terhadap rakyat. Inilah cara-cara
bandit kapitalis yang badung dan banal.
Pantas harga jual petani dalam negeri kian hari kian merangkak saja.
Ternyata ada praktek-praktek sadisme dalam struktur perdagangan dalam
negeri.
http://politik.kompasiana.com/2014/02/02/erupsi-gita-wirjawan-dan-sinabung-630572.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar