Praktik impor beras secara ilegal yang terungkap baru-baru ini mengindikasikan pemerintah telah gagal merevitalisasi pertanian.
Implikasinya, kedaulatan pangan
sebagai buah revitalisasi pertanian seperti yang diamanatkan UU No 18
Tahun 2012 tentang Pangan belum terwujud. Kedaulatan pangan disebutkan
sebagai kemandirian untuk menentukan kebijakan pangan sesuai dengan
potensi sumber daya lokal.
Kedaulatan pangan kini tercederai
dan semakin jauh dari jangkauan bangsa dengan masuknya beras impor asal
Vietnam. Pemerintah selalu "bernyanyi" tentang keberhasilan program
pembangunan pertanian pangan dengan produksi beras meningkat setiap
tahun. Bahkan produksi gabah kering giling (GKG) dipacu ke angka 76,57
juta ton pada tahun 2014 untuk pencapaian surplus 10 juta ton beras.
Peningkatan ini terkesan hanya
sebatas wacana politik kampanye menjelang Pemilu 2014. Niat yang
seakan-akan berpihak pada peningkatan kesejahteraan petani ini cenderung
ambisius di tengah alih fungsi lahan yang kian cepat dan masuknya beras
impor secara ilegal.
Pembangunan ketahanan pangan yang
mandiri dan berdaulat masih dilakukan setengah hati. Program dan gerakan
revitalisasi pertanian hanya kuat di atas kertas namun lemah di
implementasi. Sudah 10 tahun pemerintahan SBY menggulirkan program
revitalisasi pertanian, perikanan, dan perkebunan supaya negara agraris
ini dapat memutus mata rantai pangan impor.
Kenyataannya lain. Revitalisasi yang dilakukan dengan tujuan akhir menyejahterakan petani justru makin meminggirkan petani.
Kian Lemah
Sektor pertanian harus menyediakan
beras dengan harga murah guna mengamankan variabel-variabel makro
(inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan kemiskinan).
Pertanian juga dituntut mendukung
sektor industri dengan menyediakan bahan baku murah bagi para pekerja di
kota. Sementara keseriusan pemerintah membangun pertanian yang berdaya
saing tinggi untuk mengawal kedaulatan pangan semakin lama semakin
lemah.
Revitalisasi pertanian yang
digulirkan Presiden SBY pada tahun 2005 untuk menciptakan kemandirian
pangan yang kuat dan meningkatkan kesejahteraan petani kini roh dan
semangatnya terasa kian jauh. Indonesia yang berada di ambang krisis
pangan membuat bangsa prihatin dan miris.
Padahal pemerintah negara maju amat
melindungi petaninya. Mereka menyadari persoalan kebutuhan dasar ini
tidak boleh bergantung pada negara lain sehingga sektor pertaniannya
disubsidi dalam jumlah luar biasa besar untuk meningkatkan produksi
pangan dan terjadi surplus produksi.
Kelebihan pangan memungkinkan mereka menjual di bawah harga dasar ke negara-negara berkembang. Itulah yang mengganggu pasar.
Namun, yang membuat para pengamat
ketahanan pangan di negeri ini takjub adalah produksi beras menurut
versi pemerintah selalu di atas kebutuhan konsumsi dan surplus.
Seperti halnya produksi gabah 2013
yang mencapai 70,87 juta ton GKG, meningkat 2,62 persen dibanding tahun
2012. Peningkatan produksi yang siginifikan ini seakan-akan mengabaikan
sejumlah kendala yang menghambat peningkatan produksi beras.
Harga pupuk yang kian mahal,
meningkatnya laju konversi lahan pertanian, dan buruknya penyediaan
benih unggul sudah pasti bermuara pada produktivitas padi yang kian
melandai.
Lahan pertanian pangan kian
menyempit dengan laju tahunan konversi yang mencapai rata-rata sekitar
100.000 hektare. Tanpa diikuti pencetakan sawah baru di luar Jawa, sulit
meningkatkan produksi padi signifikan.
Upaya pemerintah kabupaten
meningkatkan pendapatan asli daerah di tengah hiruk-pikuk pelaksanaan
otonomi menetaskan pencapaian kedaulatan pangan yang semakin kehilangan
arah.
Lahan sawah irigasi yang subur kini
beralih fungsi menjadi kawasan non pertanian pangan. Ini menjadi ancaman
serius pencapaian ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat.
Pencapaian surplus 10 juta ton beras di tahun 2014 semakin jauh dari
harapan.
Kalah
Pola konsumsi masyarakat yang masih
berpusat pada beras memaksa pemerintah menutup defisit beras dengan
membuka keran impor yang justru memukul harga beras produk domestik.
Petani yang sudah lama menjadi objek
pembangunan kembali mengalami hidup di bawah bayang-bayang kemelaratan.
Mereka bahkan semakin terpuruk dalam kesengsaraan karena terus merugi.
Harga produk pangan domestik kalah bersaing dengan impor. Belum lagi
aksi penyelundupan beras impor yang merajalela.
Patut disadasri, karakteristik pasar
beras global sangat tipis. Volume beras yang diperdagangkan hanya
sekitar 4 persen dari total produksi global.
Dengan jumlah penduduk besar dan
sekitar 60 persen dari mereka membelanjakan pendapatannya sejumlah 25
persen untuk beras, sangatlah berbahaya jika Indonesia mengandalkan
pasokan beras dari pasar internasional.
Jila angka produksi GKG tahun 2013
bisa dipercaya sebanyak 70,87 juta ton, kebutuhan konsumsi sebesar 34
juta ton beras sudah mencukupi. Bahkan Indonesia surplus beras yang bisa
digunakan sebagai stok nasional di gudang Bulog.
Lantas, mengapa pemerintah masih
mengimpor beras? Impor terjadi akibat gurihnya rente yang dinikmati para
importir yang pada gilirannya memukul petani.
Pemerintah sepatutnya melarang
sementara impor beras untuk mencegah anjloknya harga bahan makanan pokok
ini. Apabila kebijakan itu bisa diimplementasikan pada tahun 2014,
patut diacungi jempol sebagai propetani!
Sudah bukan rahasia, urusan logistik
beras yang sebagian dipenuhi dengan cara mengimpor menjadi lahan empuk
untuk meraup uang (fund rising) di tahun politik.
Indonesia sudah lama masuk perangkap
pangan impor karena perilaku semacam ini. Ditambah dengan kesepakatan
yang menguntungkan antara importir dan oknum pejabat yang bermain di
belakangnya menjadikan "tradisi impor" seakan-akan legal sebagai pilihan
tepat daripada memproduksi beras dari dalam negeri.
Terciptalah lingkaran setan
penyediaan beras nasional. Impor dihentikan, defisit beras otomatis
terjadi. Impor beras dilakukan dapat membunuh hidup dan kehidupan petani
kecil, yang pada gilirannya mendorong stagnan proses produksi
perberasan dalam negeri.
Namun, jika pemerintah masih
mempertahankan kebijakan lama mengimpor beras dalam jumlah besar, jangka
panjangnya menyimpan bom waktu.
Pemerintah harus mengakhiri politik
beras guna mengatasi kemiskinan dengan mengatur tata niaganya. Dengan
begitu, harganya tetap rendah. Pemerintah sesungguhnya menekan petani
secara tidak adil. Meski para pemimpin silih berganti yang menjanjikan
pembangunan pertanian dengan berbagai istilah dan program, masalah beras
tidak ada akhirnya.
Presiden SBY yang melontarkan
gagasan revitalisasi pertanian, misalnya, sampai sekarang belum terlihat
jelas bidang yang sedang dan telah direvitalisasi.
Pemerintah patut belajar dari
Thailand dan Korsel yang menyubsidi petaninya secara besar-besaran guna
mendorong pembangunan pertanian berkelanjutan. Sudah saatnya memperluas
diversifikasi produk pangan olahan untuk mengawal penguatan kedaulatan
guna memutus mata rantai impor beras sekaligus mengakhiri politik beras
murah.
Oleh Posman Sibuea
Penulis adalah Guru Besar Tetap Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Medan
http://www.koran-jakarta.com/?6623-kedaulatan%20pangan%20makin%20jauh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar