Batas antara penjahat dan pahlawan seringkali amat tipis. Polemik soal
penamaan "KRI Usman-Harun" dengan baik menjelaskan hal ini: di Indonesia
dianggap pahlawan, di Singapura -- dan sudah dibuktikan di depan
pengadilan di sana-- keduanya adalah penjahat.
Ini bukan polemik
yang langka. Debat mengenai batas antara pahlawan dan penjahat,
khususnya untuk sosok-sosok yang terlibat dalam konteks sejarah
tertentu, seperti peperangan, sudah sering mengemuka.
Sampai
kapan pun, Cina dan Korea akan bereaksi keras tiap kali ada pejabat
tinggi Jepang (khususnya Perdana Menteri) berkunjung ke Kuil Yasukuni di
Tokyo.
Kuil Yasukuni adalah kawasan yang menjadi tempat
peristirahatan terakhir jutaan tentara Jepang yang pernah bertugas di
sepanjang Perang Dunia I dan II. Banyak dari mereka bertugas di
negara-negara Asia lainnya yang diduduki Jepang. Bahkan beberapa di
antaranya adalah para perwira yang sudah divonis sebagai penjahat
perang.
Bagi Cina atau Korea (juga seharusnya bagi Indonesia),
Kuil Yasukuni adalah lambang agresi militer Jepang yang pernah membantai
ratusan ribu orang, baik di Nanking maupun di Semenanjung Korea, pada
paruh pertama abad-20. Maka mengunjungi Kuil Yasukuni akan selalu terasa
sebagai pemujaan terhadap agresivitas yang mematikan.
Latar
psikologis itulah kira-kira yang ingin disampaikan oleh protes Singapura
terhadap penamaan KRI Usman-Harun. Bagi mereka, Usman Haji Mohamed Ali
dan Harun Said adalah teroris yang terbukti sudah melakukan pemboman di
Orchard Road.
Memahami latar psikologis ini memungkinkan kita
bisa mengerti kenapa pejabat-pejabat Indonesia marah-marah kepada
pemerintah Belanda begitu mendengar Westerling dijemput militer Belanda
setelah tertangkap di Singapura pada Februari 1950.
Indonesia
sangat wajar merasa marah: penjahat perang yang belum lama melakukan
pembantaian di Indonesia malah disembunyikan dan diselamatkan oleh
pemerintah Belanda.
Ketika Indonesia menuntut ekstradisi
Westerling, Belanda justru membebaskan Westerling dari tahanan dan
menyatakan Westerling dilindungi dan tak bisa diektradisi karena warga
negara Belanda. Sampai wafatnya, Westerling bisa hidup tenang tanpa
gangguan.
Pemerintah Belanda akhirnya meminta maaf atas perbuatan
Westerling pada 2013 lalu, selang 26 tahun setelah kematian Westerling
dan selang lebih dari setengah abad dari peristiwa pembantaian itu.
Jumlah
korban pemboman yang dilakukan Usman-Harun jelas tak sebanding dengan
korban Westerling, apalagi korban pendudukan Jepang di seantero Asia
pada paruh pertama abad 20. Tapi pokok soalnya memang bukan kuantitas
korban melainkan penyikapan terhadap mana yang dianggap pahlawan dan
mana yang dianggap penjahat.
Penyikapan yang bersifat binarian,
hitam-putih, saklek, dan tidak peduli dengan sudut pandang yang lain
macam ini sesungguhnya bukan barang baru juga di Indonesia.
Begitu
Indonesia mencapai kemerdekaannya, dan mencapai momentumnya lewat
Kongres Sejarah Nasional I pada 1957, proyek historiografi
Indonesia-sentris pun dimulai. Ini semacam dekolonisasi wacana sejarah:
semua perspektif kolonial Belanda diputar-balikkan sepenuhnya menjadi
perspektif nasionalisme Indonesia.
Jika Pangeran Diponegoro,
Pattimura, atau Cut Nyak Dien dianggap sebagai pengacau, perusuh,
pemberontak dan teroris dalam buku-buku pelajaran sejarah di
sekolah-sekolah zaman Belanda, dalam semangat historiografi
Indonesia-sentris nama-nama itu diangkat setinggi-tingginya dan
seharum-harumnya sebagai pejuang, pahlawan, dan kesuma bangsa.
Implikasinya
jelas melahirkan cara berpikir yang reduksionistis, menyederhanakan
kompleksitas peristiwa, dan penuh penghakiman pada siapa pun dan apa
pun.
Melalui historiografi yang berwatak ideologis, hitam-putih,
dan pukul rata itulah murid-murid sekolah akhirnya harus menelan
mitos-mitos baru yang tidak kalah menyesatkannya. Misalnya: Indonesia
dijajah Belanda selama 350 tahun, Majapahit mempersatukan Nusantara,
dll., dkk., etc.
Jangan heran juga jika beberapa hari lalu bedah
buku tentang Tan Malaka ditolak oleh banyak kalangan karena menganggap
Tan Malaka adalah tokoh PKI. Cara berpikir hitam-putih, menyederhanakan,
dan pukul rata menghalangi kemungkinan bagi banyak orang untuk memahami
bahwa Tan Malaka sebenarnya dimusuhi dan dianggap pengkhianat oleh PKI
(simak esai saya sebelumnya: Tan Malaka sebagai Tabu di Atas Tabu).
Tak
perlu diherankan jika semua yang mengaku marxis didakwa tidak
pancasilais, dan yang mendaku komunis langsung saja dicap anti-Tuhan.
Sulit untuk menjelaskan bahwa, misalnya, Haji Misbach adalah seorang
komunis yang juga muslim yang taat, Hatta yang tak pernah lalai salat
adalah pembaca tekun Karl Marx, dan UUD 1945 banyak mengadopsi semangat
sosialisme.
http://id.berita.yahoo.com/blogs/newsroom-blog/kri-usman-harun-dan-sejarah-yang-pukul-rata-041131848.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar