Kisruh beras impor membanjiri pasar bukan permasalahan baru. Jauh
sebelum permasalahan beras Vietnam mengemuka, para pedagang dan petani
kerap mengeluhkan kebijakan tersebut. Sebab, dinilai merugikan
mereka.
BANJIR yang melanda sebagian wilayah DKI Jakarta
beberapa pekan, membuat pemerintah khawatir. Rapat koordinasi tentang
stabilisasi harga pangan yang biasa digelar di Kantor Kemenko
Perekonomian, Lapangan Banteng pun berpindah tempat. Beberapa menteri
ekonomi yang dipimpin Menko Perekonomian Hatta Rajasa meluncur ke Pasar
Induk Cipinang di Jakarta Timur, Rabu (22/1)
Tujuannya, untuk
memantau harga beras di tengah kondisi banjir pada awal tahun ini.
Agenda lalu dilanjutkan dengan rapat koordinasi di Gudang Bulog,
Kelapa Gading, Jakarta.
Sesampainya di Pasar Induk Cipinang,
mereka meninjau kios Bulog yang sudah disiapkan. Beberapa
wartawan televisi dan fotografer pun sibuk mengambil gambar Hatta
Rajasa, Menteri Pertanian Suswono, dan Kepala Badan Pusat Statistik
Suryamin saat meninjau beras di kios tersebut.
Wartawan cetak
yang berada di belakang kerumunan lalu melihat Wakil Menteri
Perdagangan Bayu Krisnamurthi dihampiri seorang pria.
Usut punya usut, pria itu bernama Bili Harianto, seorang pedagang beras di pasar itu. Bili menyampaikan protes ke pemerintah.
”Begini
Pak, ada beras Vietnam mulai marak masuk di pasar. Harganya murah,
tapi bukan beras khusus. Harganya itu lebih murah Rp 500. Ini kan bikin
harga jatuh,” kata Bili.
Dia mengaku rugi dengan masuknya beras impor tersebut.
”Kata pedagangnya itu legal. Karena ada surat dari Dirjen Perdagangan Luar Negeri (Kemendag). Itu ada kop suratnya,” katanya.
Setelah
melihat beras tersebut, Bayu menyatakan, beras tersebut tidak boleh
diimpor. Sebab, beras umum dan hanya Bulog yang boleh mengimpor.
Sementara pengusaha swasta hanya diperbolehkan impor beras khusus.
Mereka akhirnya berdebat. Beberapa pedagang lain juga ikut protes ke Bayu.
Bayu
menjanjikan akan mengecek izin impor beras itu. Menurutnya, beras
tersebut ilegal. Namun, pedagang menilai beras tersebut resmi diimpor
karena ada izinnya. Hatta yang ditemui usai rakor juga berujar beras
tersebut ilegal.
Beberapa hari kemudian, inspeksi ke pasar ini
akhirnya menjadi kontroversi beras Vietnam. Beritanya menghiasi beberapa
media. Bayu kemudian meralat pernyataannya. Ia menyebut beras tersebut
berjenis premium yang sah diimpor. Pihaknya kemudian menyelidiki dugaan
permainan impor beras.
Dia menegaskan pihaknya tidak menemukan kesalahan prosedur pada beras Vietnam tersebut.
Menurutnya,
wewenang Kementerian Perdagangan dalam kasus ini adalah menerbitkan
Surat Persetujuan Impor (SPI) atas rekomendasi Kementerian Pertanian.
Dan, itu sudah dijalankan dengan benar.
Menurut Bayu, ketentuan
mengimpor beras khusus diatur berdasarkan Peraturan Menteri perdagangan
Nomor 12/M-DAG/PER/4/2008 tanggal 11 April 2008 tentang Ketentuan Impor
dan Ekspor Beras.
Berdasarkan peraturan tersebut, diatur tata
niaga impornya, antara lain beras untuk keperluan stabilisasi harga,
penanggulangan keadaan darurat, raskin dan kerawanan pangan. Beras
tersebut diimpor Perum Bulog dengan tingkat kepecahan 5%-25%.
Selain
itu, beras yang diatur tata niaga impornya adalah beras untuk keperluan
tertentu (beras konsumsi khusus) yang terkait dengan kesehatan/dietary
dan konsumsi khusus/segmen tertentu, antara lain beras ketan, beras
ketan pecah 100%, beras pecah 100%, beras kukus, beras Thai Hom Mali,
beras Japonica, dan beras Basmati (tingkat keterpecahan paling tinggi 5%
untuk beras Japonica dan Basmati).
Menurut Bayu, pihaknya telah
meneliti sampel beras asal Vietnam tersebut. Dari penelitian di
laboratorium, tambah dia, beras tersebut ternyata premium, yang memang
diizinkan untuk diimpor. ”Anehnya, harganya lebih murah ketimbang beras
medium lokal,” katanya.
Sebanyak 165 importir beras sudah
diperiksa. Bahkan sudah mengerucut pada tiga importir. Namun, menurut
Bayu, tidak ada pelanggaran prosedur impor beras.
Persaingan Bisnis
Bayu
menduga persoalan beras Vietnam di Pasar Induk Cipinang itu soal
persaingan bisnis antarpedagang. Hal senada juga disampaikan oleh
Pengamat Pertanian dari Institut Pertanian Bogor, Dwi Andreas
Santosa.
”Itu hanya masalah pengkodean, mengenai beras kan mereka
tidak pilah mana beras medium mana beras premium, berdasarkan
kualitasnya. Dari sisi pedagang tidak bisa disalahkan, kesalahan
terbesar di pemerintah. Jadi untuk apa gontok-gontokan sendiri saling
menyalahkan dan sebagainya, wong kelakuan mereka sendiri,” kata Guru
Besar IPB ini.
Andreas menekankan masalah kode HS impor beras
hanya sebagian kecil masalah yang timbul akibat persoalan serius, yakni
impor pangan yang masif.
Bea Cukai sebagai garda terdepan masuknya
barang impor mengakui beras adalah barang impor yang tergolong berisiko
rendah, sehingga tidak melalui pemeriksaan fisik. Ditambah lagi, impor
beras masih menggunakan satu kode HS untuk jenis premium maupun medium,
yakni 1006.30.99.00 untuk beras Japonica, Basmati, dan beras yang
diimpor Bulog. Selain itu, bea masuk untuk semua jenis beras sama, yakni
Rp 450 per kilogram sehingga tidak bisa dibedakan mana beras premium
dan medium.
Bea Cukai Kementerian Keuangan mencatat pemasukan
impor beras selama 2013 totalnya 445.259 ton. Angka itu terdiri dari
bibit sebanyak 1.219 ton, beras ketan 190.996 ton, beras Thai Hom Mali
dari Thailand 22.843 ton, dan beras setengah masak 418 ton. Beras lain
yakni Japonica, Basmati, Bulog 34.823 ton, beras pecah 194.960 ton.
Namun,
data tersebut berbeda dengan Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat
realisasi impor beras. Dalam laporan BPS, tercatat selama 2013 ada
472.000 ton beras yang diimpor atau senilai dengan 246 juta dolar AS.
Jumlah itu lebih banyak dibanding data impor Bea Cukai, yaitu 445.259
ton.
Data BPS untuk impor beras khusus dan kode HS pada 2013,
terdiri atas beras pecah 100% sebanyak 201.099,8 ton, beras ketan utuh
dan pecah 198.943,65 ton, beras Thai Hom Mali sebanyak 23.117,8 ton,
beras kukus/setengah matang sebanyak 418 ton, beras Basmati, Japonica,
dan beras hibah sebanyak 47.867,1 ton.
Belakangan, Bea Cukai
menemukan dugaan pelanggaran lainnya, yakni 32 kontainer beras impor
yang saat ini masih berada di Pelabuhan Tanjung Priok.
”Harusnya
yang masuk beras Thai Hom Mali dari Thailand tapi yang masuk (beras)
Vietnam. Yang paling penting perizinan dan impornya cocok atau tidak,”
kata Dirjen Bea Cukai Agung Kuswandono di Pelabuhan Tanjung Priok
beberapa waktu lalu.
Beras dengan ketentuan impor kuota ini ternyata ketika sampai di pelabuhan menjadi beras lain yakni beras wangi dari Vietnam.
Adapun
beras Vietnam yang ditemukan di Pasar Induk Cipinang adalah beras
jenis Japonica, Basmathi yang satu kode HS dengan beras Bulog.
”Hasil
sementara diduga terjadi pelanggaran dengan menyalahgunakan SPI (Surat
Persetujuan Impor) sehingga importasi barang menjadi tidak sesuai antara
laporan surveyor dengan ijin SPI-nya,” jelasnya.
Importasi 32
kontainer tersebut dilakukan oleh CV PS sejumlah 200 ton (8 kontainer),
CV KFI sejumlah 400 ton (16 kontainer) dan PT TML sejumlah 200 ton (8
kontainer).
Saat ini, baik Bea Cukai maupun Kemendag masih
menyelidiki dugaan pelanggaran tersebut. Jika terbukti melanggar,
importir akan kena sanksi.
Selain itu, Bea Cukai memutuskan menaikan tingkat pemeriksaan beras impor menjadi high risk.
Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) juga mengusulkan agar kode HS beras premium
dan medium dipisah.
Namun, Menteri Keuangan Chatib Basri menyatakan,
perbedaan tarif bea masuk bisa dilakukan jika kode HS impor beras tidak
disamakan. Menurutnya, jika Kemendag menginginkan kode HS berbeda maka
harus diajukan ke tim tarif.
Dia menilai pemisahan kode HS tidak mudah dilakukan karena hal itu merupakan kesepakatan dagang dengan negara-negara lain.
http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2014/02/17/252771
Tidak ada komentar:
Posting Komentar