“Mari kita hormati keputusan Presiden...” dan bla bla bla kalimat bijak lainnya. Kalimat-kalimat berayun yang mencoba menenangkan semua sisi untuk menghentikan diskusi.
Kamis
(13/8) kemarin, saya memang memantik diskusi ihwal pencopotan Rachmat
Gobel dari jabatan menteri Perdagangan. Saya menyebarkan tulisan Uni
Lubis, wartawan senior, tentang kinerja Gobel ke lima grup
Whatsapp--lucunya, viral itu justru balik lagi ke saya. Link tulisan itu awalnya saya dapat dari posting Timbo Siahaan, pemred JakTV
di sebuah grup virtual. Pada umumnya, nada diskusi menyayangkan
pencopotan itu, hanya satu grup yang menimbulkan pro-kontra dengan
diskusi yang panas.
Saya bukan termasuk wartawan yang punya
kedekatan khusus dengan Gobel--ini perlu dikemukakan karena ada yang
menilai bahwa sikap itu untuk membela dia karena saya berteman
dengannya. Sebagai menteri, Gobel sudah bekerja dengan relatif baik.
Problem
tata niaga Indonesia adalah karena rantai distribusi yang terlalu
panjang dan bersifat mafia. Ada kartel yang mengatur harga barang sesuai
selera mereka. Karena itu, kita mengenal akrab sebutan mafia beras,
mafia daging, mafia minyak goreng, mafia gula, mafia garam, mafia cabai,
mafia bawang, dan seterusnya. Ada pula sebutan samurai dan naga.
Intinya, distorsi tata niaga ini merugikan konsumen, petani, dan
peternak. Pedagang kecil yang berada di ujung mata rantai pun bagian
dari korban.
Tentu sangat aneh, negeri yang subur ini menjadi
importir beras, jagung, daging, kedelai, gula. Bahkan, negeri dengan
pantai yang termasuk terpanjang di dunia ini juga mengimpor garam dalam
jumlah yang besar. Ini bukan karena peneliti tak menemukan varietas yang
baik. Juga, bukan karena insinyur tak menemukan teknik bertani dan
beternak yang bagus.
Ini semata-mata karena ada kartel yang
membuat peternak dan petani terhuyung-huyung, bahkan pingsan. Petani dan
peternak menjadi malas karena merugi atau untung tipis. Ada upaya
menciptakan ketergantungan pada impor. Karena itu, situasi ini pada
akhirnya merugikan bangsa dan negara ini.
Gobel menyatakan perang
pada semua mafia itu. Bahkan, dia memanggil para samurai dan naga yang
cuma berjumlah kurang dari hitungan jari tangan. Tak hanya itu, ia juga
lebih menguatkan peran Bulog dan koperasi. Ini juga untuk memberi ruang
bagi pedagang pasar untuk bisa untung dan jaminan pasokan.
Apalagi,
ia memiliki program 5.000 pasar tradisional. Ini lebih adil karena
menyangkut hajat hidup orang banyak. Hasilnya cukup baik. Selama
Lebaran, harga kebutuhan pokok stabil, tak ada lonjakan. Hanya harga
daging yang naik. Daging memang yang paling rumit. Selain ini menyangkut
makhluk hidup--ada masa pertumbuhan tertentu dan perkembangbiakan yang
tak bisa masif dalam seketika--juga karena penguasanya adalah negeri
kuat: Australia.
Dan, sepekan sebelum reshuffle, pukulan itu diberikan. Harga daging melambung tak terkendali, bahkan pedagang mogok. Begitu reshuffle dipastikan terjadi, hari itu juga daging ada lagi di pasar. Begitu terang benderang peperangannya.
Negara kalah, Merah Putih di bulan kemerdekaan ini tak bisa berkibar. Gobel dicopot.
Indonesia
juga merupakan surga bagi penyelundupan dan banjir impor barang
berkualitas rendah. Inilah yang juga ditata Gobel. Pintu-pintu
penyelundupan diawasi ketat. Pintu-pintu masuk impor diatur ulang agar
barang kualitas rendah tak bisa masuk, termasuk pakaian bekas yang
memukul industri garmen rakyat. Cina adalah negeri yang terpukul
kebijakan ini.
Memang, di tengah ekonomi global yang lesu, angka
ekspor merosot. Namun, dengan mengerem laju impor, neraca perdagangan
Indonesia tetap surplus. Salah satu legacy Gobel adalah pelarangan penjualan miras di minimarket.
Tentu,
Gobel memiliki sejumlah kekurangan. Dia tidak atraktif saat berbicara,
bukan hanya diksi dan intonasi, tapi juga ekspresi dan irama. Dia juga
terlalu rendah hati untuk memanfaatkan media massa dalam mengekspos
kinerjanya.
Kasus dwelling time yang tak kunjung
terselesaikan juga titik lemah lainnya. Kasus ini menuai korban. Polisi
menahan Partogi Pangaribuan, dirjen perdagangan luar negeri Kemendag,
sebagai tersangka penerimaan suap. Sejumlah staf di ditjen ini juga
menjadi tersangka.
Presiden Jokowi sudah berkali-kali meminta agar proses bongkar-muat di pelabuhan ini dipercepat. Dwelling time
memang rumit, kronis, dan melibatkan banyak kementerian dan lembaga.
Kasus ini juga sudah coba diselesaikan sejak masa pemerintahan
sebelumnya.
Sejumlah kalangan juga mengkritik bahwa bahasa
Inggris Gobel tak cukup mahir untuk ukuran menteri perdagangan. Ia
memang lebih mahir berbahasa Jepang. Gobel juga tak pandai memanfaatkan
modal sosial dan modal politik yang dimilikinya. Kementerian adalah
lembaga politik, tidak bisa hanya mengandalkan profesionalitas belaka.
Karena itu, ketaktisan memilih dan memilah tim dan kawan sangatlah
penting. Memilah dan memilih kawan kongkow berbeda dengan memilah dan memilih kawan perjuangan.
Negeri
ini membutuhkan banyak pejuang. Terlalu besar tantangannya, terlalu
rumit masalahnya. Jabatan memang bukan segalanya, tapi jabatan juga
amanah. Ada pesan dan tanggung jawab di dalamnya. Karena itu, jabatan
layak diperjuangkan dalam konteks ini.
Pencopotan Gobel menjadi
bukan melulu urusan pribadi Gobel. Dia menjadi menyatu dengan apa yang
diperjuangkannya dan pada amanah serta tanggung jawab yang melekat pada
lembaga kementerian. Kita layak mengkritisi pencopotan Gobel bukan dalam
konteks pribadinya. Karena, di sana ada Merah Putih, ada amanat
proklamasi. Apalagi, jika betul bahwa pencopotan dirinya karena kredonya
untuk memerangi mafia.
Amanah sebagai aparat negara adalah untuk
kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial. Bukan semata-mata melihat
neraca perdagangan, bukan pula soal besaran ekonomi.
Terlalu banyak menteri yang lebih layak dicopot, tapi Gobel tak punya daya politik. Itulah makna reshuffle kali ini.
Oleh: Nasihin Masha
http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/15/08/14/nt0xif319-ketika-gobel-dicopot
Tidak ada komentar:
Posting Komentar