25 Apr 2014 | 15:13
Beberapa hari setelah
pelantikan Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta, saya kebetulan mengikuti
sebuah pertemuan. Pertemuan itu, digelar di sebuah Penthouse apartemen
mewah senilai Rp 60 miliar di Jakarta. Pemiliknya adalah seorang pejabat
pemerintahan yang juga pengusaha kaya raya. Ia tidak menggunakan
apartemen ini untuk tempat tinggal, melainkan untuk keperluan meeting
tertutup saja.
Selain
pejabat pemerintahan pemilik apartemen itu, hadir juga beberapa orang
dari kelompoknya. Salah satunya orang yang dekat dengan Megawati atau
yang biasa dipanggilnya, Yu’tun (nama panggilan Megawati). Kelompok ini,
bukan satu partai, tapi gabungan dari berbagai kepentingan.
Pembahasan pertemuan itu salah satunya mengenai sang fenomenal Jokowi, mantan Walikota Solo yang sukses menaklukkan DKI Jakarta.
Mr.
G menanyakan kepada forum, ada fenomena apa Jokowi sampai bisa sekejab
menaklukkan DKI Jakarta. Apa peran Amerika Serikat dalam kemenangan
Jokowi. Belum sempat forum menjawab, Mr. G melanjutkan dengan sebuah
cerita.
Penuturan
Mr. G, ia pernah bertemu dengan Dubes AS untuk Indonesia Cameron R Hume
pada tahun 2007 di sebuah pesta perkenalan. Cameron R Hume diangkat
menjadi Dubes AS untuk Indonesia pada 30 Mei 2007. Seperti biasa,
digelar pesta perkenalan dengan Dubes AS yang baru menjabat itu dengan
para petinggi negara.
Dubes AS Cameron mengatakan pada Mr.G, “Kalian punya orang seperti Jokowi, kenapa tidak kalian running jadi Presiden?”
Mr.
G hanya tersenyum tak menjawab, karena memang ia kurang tahu persis
siapa Jokowi. Wajar saja, ketika itu masih tahun 2007, Jokowi tak banyak
yang tahu. Mr. G pun meminta anak buahnya mencari tahu siapa Jokowi.
Ternyata Jokowi adalah Walikota Solo, dilantik pada 28 Juli 2005.
Penuturan Mr. G ketika melihat profil Jokowi hasil pencarian anak buahnya, ia berpikir “Kenapa Dubes AS menyoroti Jokowi?”
Dan
pertanyaan yang sama ia lontarkan pada pertemuan 2012 di apartemennya
itu. Mr. G kembali mengatakan, “Apa benar ada permainan AS di belakang
Jokowi sehingga ia bisa dengan mudah menang di DKI?”
Lalu
ia melontarkan pernyataan lanjutan, “Ini hanya bisa dibuktikan, jika
ternyata nanti Jokowi benar menjadi Capres di 2014,” ujar Mr. G.
Mr.
A, orang dekat Megawati yang juga hadir di pertemuan itu menanggapinya
dengan menceritakan sebuah kisah. Kisah itu terjadi pada saat Megawati
menjabat sebagai Presiden RI mulai 23 Juli 2001, menggantikan Gus Dur.
Penuturan
Mr. A, sepanjang tahun 2002, ia beberapa kali mempertemukan seorang
agen CIA bernama Karen Brooke dengan Megawati. Pertemuan Karen Brooke
dengan Megawati merupakan permintaan dari Dubes AS untuk Indonesia saat
itu, Ralph Leo Boyce. Dubes AS Ralph Leo Boyce yang dilantik pada 1
Oktober 2001 itu meminta pertemuan dengan Megawati atas perintah Menlu
AS Colin Powell.
Dalam
beberapa kali pertemuan itu, Karen Brooke yang berdomilisi di Solo dan
Yogyakarta ini menjelaskan data intelijen AS kepada Megawati. Menurut
Karen Brooke, Megawati harus mengambil tindakan kepada Abu Bakar
Ba’asyir diduga mengepalai jaringan terorisme Asia Tenggara dari Solo.
Dubes
AS Ralph Leo Boyce yang ikut dalam beberapa kali pertemuan itu,
membenarkan Karen Brooke. Data CIA mengatakan, selama pelarian 1985
hingga 1999 di Malaysia dan Singapura, Abu Bakar Ba’asyir membangun
Jamaah Islamiyah. Organisasi JI disebut AS bagian dari jaringan
terorisme global, Al-Qaeda.
Dubes
AS Ralph Leo Boyce menjelaskan bahwa sejak serangan 11 September 2001,
AS memiliki kebijakan luar negeri yang berbeda. AS mengumandangkan War
on Terror kepada seluruh pelaku terorisme dunia. Negara mana pun yang
berpartisipasi melindungi terorisme akan diluluhlantakkan.
Perlu
dicatat, segera setelah tragedi 11 September 2001, selang 3 minggu
Menlu AS mengangkat Dubes AS baru untuk Indonesia, Ralph Leo Boyce pada 1
Oktober 2001. AS melakukan invasi ke Afghanistan pada 7 Oktober 2001.
Tentu
saja, pengangkatan Dubes AS baru untuk Indonesia berkaitan dengan
perubahan kebijakan luar negeri AS pasca 11 September 2001. Indonesia
sebagai negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, tentu perlu
dijaga oleh AS yang tengah melakukan invasi ke Timur Tengah. AS tidak
ingin invasinya ke Timur Tengah dihadang solidaritas muslim dari
Indonesia ke Timur Tengah. Apalagi AS punya kepentingan menguasai sumber
daya alam di Indonesia.
Kembali
ke cerita Mr. A. Dubes AS Ralph Leo Boyce dan Karen Brooke mendesak
Megawati menangkap Abu Bakar Ba’asyir sesegera mungkin. Alasannya,
pertama, agar kabar akan adanya pemboman oleh Jamaah Islamiyah bisa
dicegah. Kedua, agar Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim
terbanyak di dunia, bisa menunjukkan sikap yang tidak mendukung
terorisme.
Megawati
menolak permintaan itu, karena menurutnya keterlibatan Abu Ba’asyir
dalam terorisme Asia Tenggara tidak ada bukti. Megawati menuduh isu
terorisme Asia Tenggara oleh Jamaah Islamiyah hanyalah rekayasa AS dalam
kebijakan luar negerinya yang baru.
Gagal
melakukan diplomasi dengan Megawati, AS melobi Singapura agar mendesak
Indonesia. Pada 28 Februari 2002, Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew
mengeluarkan pernyataan bahwa Indonesia terlibat terorisme dengan
sarangnya di kota Solo. Kota Solo adalah markas pergerakan Abu Bakar
Ba’asyir sejak tahun 1972.
Menurut
Mr. A, usai pernyataan Lee Kuan Yew yang menjadi perhatian se Asia
Tenggara, Dubes AS Ralph Leo Boyce dan Karen Brooker kembali menemui
Megawati. Kali ini, Megawati didesak menangkap Abu Bakar Ba’asyir karena
alasan tambahan, potensi gejolak Asia Tenggara karena Indonesia tidak
bekerja sama memberantas terorisme.
Mr.
A mengatakan, Megawati kembali menolak permintaan itu, juga dengan
alasan tidak ada bukti kuat untuk menangkap Abu Bakar Ba’asyir. Lalu
terlontar pertanyaan yang mencengangkan, baik bagi Megawati maupun Mr.
A.
“Jika
tersedia bukti-buktinya, anda berjanji akan menangkap Abu Bakar
Ba’asyir?” tanya Karen Brooke pada Megawati. Mau tidak mau, Megawati
menerima tantangan itu, karena Megawati tidak berpikir negatif.
Pada
23 September 2002, majalah TIME melansir artikel bertajuk Confessions
of an Al Qaeda Terrorist. Artikel TIME menuduh Abu Bakar Ba’asyir
sebagai perencana peledakan Mesjid Istiqlal dan terlibat Al-Qaeda.
Ba’asyir juga dituduh TIME berencana melakukan aksi terorisme lain di
Indonesia.
Penuturan Mr. A, segera setelah berita TIME, Megawati menerima telepon dari Karen Brooke difasilitasi Dubes AS Ralph Leo Boyce.
“Anda
yakin tidak ingin menangkap Abu Bakar Ba’asyir sekarang?” tanya Karen
Brooke. Megawati tetap pada jawabannya, tidak bisa menangkap Abu Bakar
Ba’asyir tanpa landasan bukti yang kuat.
Lalu
pada 12 Oktober 2002, terjadilah aksi peledakan di 3 titik, Paddy’s
Pub, Sari Club dan dekat kantor Konsulat AS di Bali. Aksi ini dikenal
sebagai Bom Bali I.
Tepat
tanggal 13 Oktober 2002, Dubes AS Ralph Leo Boyce dan Karen Brooke
kembali menemui Megawati dan menagih janjinya. “Anda sudah lihat
buktinya, kini tangkaplah Abu Bakar Ba’asyir,” ujar Karen Brooke.
Bom
Bali I memberikan tekanan kepada Indonesia dari Asia Tenggara,
Australia, AS dan Eropa. Menurut Mr. A, Megawati sesungguhnya tidak
melihat Bom Bali I sebagai aksi Abu Bakar Ba’asyir melainkan rekayasa
AS. Sayangnya, lanjut Mr. A, tekanan dunia internasional, media-media
asing seolah sudah menjebak Indonesia dalam kegiatan terorisme.
“Megawati pun langsung memerintahkan penangkapan Abu Bakar Ba’asyir,” ujar Mr. A.
Ditangkaplah
Abu Bakar Ba’asyir pada 18 Oktober 2002, hanya dalam penyelidikan tak
sampai 1 pekan. Dan rupanya, lanjut Mr. A, AS sudah menyiapkan paket
untuk Indonesia dalam kaitannya dengan War on Terror.
Melalui
Diplomatic Security Service (DSS) Kementerian Luar Negeri AS,
dikucurkanlah dana US$ 12 juta untuk pembentukan Densus 88. Densus 88
didirikan atas Skep Kapolri No. 30/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003. Densus 88 didirikan pada 23 Juni 2003 dan diresmikan oleh Jenderal Polisi Firman Gani pada 26 Agustus 2004.
Pemerintahan
Megawati berakhir pada 20 Oktober 2004. Selang 1 bulan, AS mengangkat
Dubes AS yang baru, B Lynn Pascoe pada 25 November 2004. Kemudian pada
pemerintahan baru AS, Condoleezza Rice diangkat jadi Menlu AS pada 26
Januari 2005.
Atas
lobi Menlu AS Condoleezza Rice melalui Dubes AS Lynn Pascoe kepada SBY,
Abu Bakar Ba’asyir divonis bersalah pada 3 Maret 2005. Setelah
penyelidikan panjang (3 tahun), tak ada bukti apapun yang mengaitkan Abu
Bakar Ba’asyir dalam aksi Bom Bali I. Tuduhan kepada Ba’asyir hanya turut
melakukan tindakan makar dengan maksud menggulingkan pemerintah yang
sah, membuat keterangan palsu, dan terbukti keluar dan masuk Indonesia
tanpa izin. Tak ada kaitan apa pun antara Abu Bakar Ba’asyir dengan Bom Bali I, karena itu vonis hukumannya hanya 2,6 tahun.
Pada
14 Juni 2006, setelah mendapat pengurangan hukuman dari Presiden SBY,
Abu Bakar Ba’asyir dibebaskan. Janggal, Ba’asyir ditangkap atas tuduhan
Bom Bali I, divonis tanpa terkait Bom Bali, lalu dibebaskan dalam waktu
singkat.
Menurut
Mr. A, pemenangan Jokowi – FX Rudyatmo sebagai Walikota Solo pada 28
Juli 2005 juga ada peran dari Menlu AS Condoleezza Rice. Solo sebagai
bekas markas Abu Bakar Ba’asyir, dalam kacamata AS harus dikawal. Tidak
boleh tokoh muslim konservatif yang memimpin kota Solo. Sosok muslim
sekular seperti Jokowi didampingi Katolik konservatif FX Rudyatmo
diharapkan AS dapat meredam sisa-sisa pergerakan Ba’asyir di Solo.
Itu
menjelaskan kenapa Dubes AS untuk Indonesia berikutnya Cameron R Hume,
yang diangkat Menlu AS Rice pada 30 Mei 2007, begitu menyoroti Jokowi.
Selama masa Menlu AS Condoleezza Rice, tidak terlihat adanya terorisme
Solo bergerak.
Namun
situasi berubah ketika Obama menunjuk Hillary Clinton sebagai Menlu AS
pada 21 Januari 2009. Mendadak, aksi terorisme Solo kembali muncul
secara berkala. Menurut Mr. A, dari sini lah hubungan Jokowi dengan
Menlu AS Hillary Clinton mulai dibangun lebih serius. Tidak hanya untuk
Solo, Menlu AS Hillary Clinton menyiapkan Jokowi untuk DKI lalu Pilpres
2014. Menlu AS Hillary Clinton meminta barter berupa pemberantasan
gerakan ekstrimis Islam Asia Tenggara yang bermarkas di Solo kepada
Jokowi.
Lalu
dimulailah serangkaian aksi serangan terorisme dan penyergapan
terorisme di Solo. Pada 17 September 2009, Densus 88 yang didanai AS,
menyergap Noordin M Top Group di Kepuhsari, Solo. Pada 13 Mei 2010,
Densus 88 menyergap markas teroris di Dusun Gondang, Solo. Pada 14 Mei
2011, Densus 88 menyergap Sigit Qurdhowi Group di Cemani, Solo. Pada 25
September 2011, terjadi serangan di Gereja Bethel Injil Sepenuh
Kepunton, Solo.
Pada
17 Agustus 2012, terjadi serangan dari Farhan Group di Pasar Kliwon,
Solo. Pada 19 Agustus 2012, Farhan Group menyerang Bunderan Gladag,
Solo. Pada 30 Agustus 2012, Farhan Group menyerang Plasa Singosaren,
Solo. Pada 31 Agustus 2012, Densus 88 menyergap Farhan Group di Solo.
Pada 22 September 2012, Densus 88 menyergap Thoriq Group di Solo.
Tentu
menjadi pertanyaan, kenapa pada masa Menlu AS Condoleezza Rice tidak
ada satu pun aksi terorisme Solo. Namun pada masa Menlu AS Hillary
Clinton, mendadak muncul serangkaian aksi teroris dan penyergapan
teroris di Solo.
Banyak
pendapat mengatakan kalau semua aksi terorisme di Indonesia merupakan
ulah AS. Dan terbukti, duet Hillary Clinton dengan Jokowi dalam
“Memberantas Teroris Solo” telah menaikkan nama Jokowi di mata
internasional. Dan kini, Jokowi maju ke pentas Capres 2014 dengan
dukungan internasional yang kuat.
Benarkah demikian?
Mr.
F, salah seorang peserta pertemuan yang sama memberikan pendapat dari
hasil penelusurannya. Beliau ini orang yang pernah saya ceritakan dalam
tulisan saya sebelumnya ketika saya pergi ke Bali akhir 2013. Beliau
bekerja untuk George Friedman, pendiri Stratfor (Strategic Forecast).
Menurut
Mr. F, peristiwa 11 September 2001 telah mengubah kebijakan luar negeri
AS secara menyeluruh. Mr. F mengatakan, peristiwa 11 September menjadi
tanda dimulainya agenda pembebasan Timur Tengah tahap II. Sebelumnya,
pada masa George Walker Bush, ia kategorikan sebagai Pembebasan Timur
Tengah tahap I.
“Pembebasan Timur Tengah tahap I dimulai dari serangkaian perang teluk oleh Bush senior,” kata Mr. F.
Menurutnya,
paket pembebasan Timur Tengah tahap I meliputi invasi pada
negara-negara penghasil minyak yang berkarakter otoriter, mempertajam
konflik Suni dan Syiah, mendiskreditkan sudut pandang Islam yang
berkarakter ekstrem dan menggantinya dengan menyebarluaskan ajaran Islam
yang demokratis dengan melahirkan para pemikir Orientalisme.
Pada
Pembebasan Timur Tengah tahap II, dimulai dengan War on Terror untuk
menginvasi Afghanistan, Irak, Libya dan sebagainya, kemudian dilanjutkan
dengan demokratisasi sejumlah negara atau yang biasa dikenal sebagai
Arab Spring.
“Paket pembebasan Timur Tengah tahap II dirancang oleh Bush junior yang kemudian dilanjutkan oleh Obama,” ujar Mr. F.
Menurut
Mr. F, sasaran utamanya adalah penguasaan sumber daya alam. Peperangan
berbau perjuangan demokrasi, humanisme atau anti terorisme tidak lain
hanya kemasan untuk ke publik. Ada sebuah ironi di dunia Barat, kata Mr.
F. Negara-negara barat sukses dengan demokrasi dan modernitas, tapi
seluruh sumber daya alam membeli dari pihak luar.
“Seperti membeli minyak dan gas dari Timur Tengah, batubara dari Asia, berlian dari Afrika dan sebagainya,” jelasnya.
Dan
secara kebetulan, lanjutnya, sumber daya alam di planet Bumi
terkonsentrasi dari Utara Afrika, Timur Tengah, India hingga Indonesia
dan Australia.
“Sementara
pada tahun 1980-an, negara-negara di Afrika Utara, Timur Tengah, hingga
Indonesia dominan dikuasai pemerintah Islam,” jelas Mr. F.
India
dan Australia sudah berada dalam pegangan Barat, kata Mr. F. Namun
belum untuk area Afrika Utara, Timur Tengah dan Indonesia. Pemerintahan
muslim atau penduduk muslim dominan mengambil peranan di area sumber
daya alam tersebut.
“Bush
senior memulai paket Pembebasan Afrika Utara, Timur Tengah hingga
Indonesia. Dengan kata lain, Bush Senior, dilanjutkan Clinton, Bush
Junior dan Obama akan menggeser dominasi Islam dari tanah sumber daya,”
ujar Mr. F.
Apabila
dilihat saat ini, lanjut Mr. F, sebagian agenda tersebut telah berhasil
direalisasikan. Hanya tersisa sedikit area sumber daya alam bagus yang
belum berhasil didemokratisasi oleh AS, mulai dari Afrika Utara, Timur
Tengah dan Indonesia.
“Perang
Teluk, Invasi Afghanistan, Irak, Libya, perang sipil Mesir, Suriah,
kemudian Arab Spring di Tunisia dan sebagainya, berhasil dengan baik,”
ujar Mr. F.
Menurutnya,
penanganan AS atas upaya memenangkan kekuasaan di negara-negara sumber
daya bermacam-macam. Jika dia bersifat otoriter, maka solusinya perang
sipil, perang membela demokrasi atau invasi. Jika dia bisa diajak
kerjasama, maka solusinya demokratisasi.
“Indonesia
adalah negara dengan sumber daya alam yang sangat banyak, sehingga AS
tidak menginginkan solusi perang. Perang akan menghancurkan
infrastruktur. AS menginginkan penguasaan politik dan ekonomi untuk
Indonesia,” jelasnya.
Setelah
kesuksesan perang Teluk, lanjut Mr. F, Komisi Trilateral bersepakat
tidak boleh ada perang di Indonesia. Apalagi sampai menjatuhkan Nuklir
di Indonesia, karena membangun kembali infrastruktur akan memakan waktu
dan investasi besar.
“Komisi
Trilateral bersepakat Indonesia akan menjadi sasaran damai dari Eropa,
Asia dan AS (Trilateral) dalam kompetisi memenangkan politik dan
ekonomi,” ujar Mr. F.
Mr.
F mengatakan, boleh jadi karena alasan yang sama pula AS menekan
pemerintahan Megawati untuk meredam gerakan Islam ekstrimis di
Indonesia. Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbanyak harus
dijauhkan dari solidaritas dengan gejolak Timur Tengah.
Pendapat
saya, mungkin itu sebabnya tren pemberitaan dari Timur Tengah di
Indonesia cenderung bernuansa negatif, agar masyarakat tidak mendukung
suara Timur Tengah. Contohnya kasus pemerkosaan TKW di Arab Saudi. Apa
hanya itu aktivitas TKW di Arab Saudi yang bisa jadi berita? Tapi
dominan hanya soal itu.
Dampaknya adalah, masyarakat Indonesia benci kepada orang-orang Arab sehingga memperkecil kemungkinan solidaritas muslim ke Timur Tengah. Kemudian juga dengan karakter pemberitaan soal terorisme, seolah mutlak benar semua itu adalah aksi terorisme. Apa tidak terbuka kemungkinan beberapa dari yang digolongkan sebagai teroris sebenarnya adalah perjuangan kelompok muslim saja? Tapi kebanyakan langsung dijustifikasi itu adalah terorisme.
Dampaknya adalah, masyarakat Indonesia benci kepada orang-orang Arab sehingga memperkecil kemungkinan solidaritas muslim ke Timur Tengah. Kemudian juga dengan karakter pemberitaan soal terorisme, seolah mutlak benar semua itu adalah aksi terorisme. Apa tidak terbuka kemungkinan beberapa dari yang digolongkan sebagai teroris sebenarnya adalah perjuangan kelompok muslim saja? Tapi kebanyakan langsung dijustifikasi itu adalah terorisme.
Seperti
contoh kasus Abubakar Ba’asyir. Tidak ada bukti langsung yang
mengaitkan ia dengan aksi terorisme. Kebanyakan hanya berdasarkan
asumsi. Tentu targetnya adalah agar masyarakat Indonesia menilai setiap
gerakan muslim adalah terorisme dan menjauhi itu.
Pertanyaan
saya adalah, apakah Jokowi menyadari ini ketika melihat fakta bahwa
terorisme Solo bangkit kembali pada era Hillary Clinton?
Beberaa
waktu lalu, saya menghubungi Mr. A (orang dekat Megawati yang saya
ceritakan tadi). Saya tanyakan bagaimana sikap Megawati terhadap asing
di belakang Jokowi.
“Yu’tun
(panggilan Megawati) sangat concern terhadap ini. Makanya ia sekarang
selalu mengawal pertemuan Jokowi dengan para perwakilan asing. Yu’tun
mulai mengkhawatirkan dominasi kekuatan asing yang mencoba menunggangi
Jokowi. Jokowi kelihatannya tidak sadar pada hal ini, karena beliau
masih hijau sekali di perpolitikan global,” ujar Mr. A.
Dari
jauh, saya berharap Jokowi mampu membaca gejala tersebut, seperti yang
menjadi kekhawatiran Megawati. Jokowi jangan mau ditunggangi kepentingan
asing untuk penguasaan sumber daya alam di Indonesia.
Sekian dulu untuk hari ini.
http://m.kompasiana.com/post/read/651646/2/percumbuan-jokowi-dan-as-bermula-dari-abu-bakar-baasyir.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar