Selasa, 01 Desember 2015

Menakar Sejuta Hektare Sawah Bulog

Tiga langkah itu niscaya menjadikan on-farm Bulog sebagai penyangga kedaulatan pangan, yang memerdekakan bangsa ini dari beras impor.  


Boleh jadi, pada 2015 merupakan tahun kegagalan sekaligus kebangkitan untuk Badan Urusan Logistik (Bulog). Dikatakan gagal, terutama karena realisasi jumlah pengadaan cadangan beras dari produksi domestik pada 2015 sangat rendah.

Sampai 18 November 2015, realisasi pengadaan cadangan beras subsidi hanya 1,93 juta ton dari target 3,2 juta ton. Akibatnya pemerintah terpaksa mengambil langkah antikedaulatan pangan, yaitu impor beras 1,5  juta ton dari Vietnam dan Thailand untuk mengantisipasi defisit pada 2016.

Timbul kontroversi. Sejumlah pengamat menilai kegagalan Bulog itu direkayasa untuk legitimasi impor beras, demi perburuan fee yang sangat besar. Membela diri, Bulog menunjuk penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) sesuai Inpres No. 5/2015 yang lebih rendah dari harga pasaran sebagai biang kegagalan pencapaian target pengadaan beras domestik.

Presiden Joko Widodo menengahi kontroversi itu dengan menegaskan impor beras pada tahun ini hanya untuk menutup defisit cadangan beras awal 2016. Selanjutnya, untuk menjamin pengadaan cadangan beras sepenuhnya domestik, mulai musim tanam 2015/2016, Bulog akan menjalankan  program on-farm berupa pengelolaan klaster padi sawah 1 juta ha.

Program tersebut merupakan revolusi proses bisnis, sehingga tepat disebut sebagai langkah kebangkitan Bulog. Pertanyaannya seperti apa on-farm Bulog itu, apa kendala implementasinya dan bagaimana solusinya?

Kegagalan Bulog mencapai target cadangan beras 2015 berpangkal pada implementasi proses bisnis pengadaan gabah atau beras yang tergantung pada produksi petani (98,4%) melalui jaringan mitra kerja pengadaan (MKP).

Dalam proses itu Bulog tak berkontribusi pada pembentukan harga gabah atau beras. Bulog hanya menjadi penerima harga yang umumnya di atas HPP.

Program on-farm Bulog dirancang sebagai solusi untuk keluar dari masalah tersebut. Melalui program itu, Bulog turut membentuk harga dan mutu gabah atau beras, sehingga pengadaan cadangan beras pemerintah akan lebih terjamin.

Untuk musim tanam 2015/2016 dan tahun depan, target luas tanam program on-farm Bulog itu ditetapkan 1 juta ha sawah. Seluas 250.000 ha di antaranya akan dikelola Bulog sendiri, lalu seluas 250,000 ha bersinergi dengan BUMN lain, dan 500.000 ha bermitra dengan petani atau mitra kerja pengadaan (MKP).
Target produktivitasnya  8 ton gabah kering panen (GKP)/ha sehingga dari 1 juta ha akan dihasilkan 8 juta ton GKP atau 4 juta ton beras.

Produktivitas tinggi dijamin melalui aplikasi paket teknologi budidaya modern dan perlindungan gagal panen. Untuk itu on-farm Bulog dijalankan pada areal yang difasilitasi Kementerian Pertanian dengan bantuan atau subsidi teknologi budidaya unggul(benih/pupuk/alsintan) dan asuransi usaha tani.

Di bawah kendali manajemen Bulog,  aplikasi teknologi unggul dan asuransi pada areal 1 juta ha akan meningkatkan efisiensi usaha tani, selain produktivitas dan mutu hasilnya. Itulah cara Bulog ikut memben-tuk har ga, yaitu menekan harga pokok produksi GKP/beras menjadi lebih rendah, sehingga sesuai daya beli pemerintah tapi tetap menguntungkan petani.

PELAJARAN GP3K

Di atas kertas rencana on-farm Bulog itu sangat baik, tetapi realitasnya bisa lain di hamparan sawah. Untuk itu, kegagalan program Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi (GP3K) dari Kementerian BUMN (2011-2013), layak menjadi pelajaran.

Seperti on-farm Bulog, program GP3K bertujuan meningkatkan produktivitas usaha tani padi minimal 1 ton/ha, untuk mendukung realisasi surplus beras 10 juta ton pada 2014.

Dilaksanakan lima BUMN (Sang HyangSeri, Pertani, Pupuk Indonesia, Perhutani, Bulog), program itu memfasilitasi petani padi dengan pinjam-an paket teknologi bu di daya unggul (benih, pupuk, pes tisida) secara bayar panen plus dampingan teknis. Program GP3K gagal mencapai target peningkatan produktivitas dan produksi akibat dua masalah dasar.

Pertama, tidak ada unit operasional yang berdaya-tata (steering capacity) dan berdayalaksana (delivery capacity) mumpuni untuk mengelola kebun padi skala ratusan ribu atau bahkan jutaan hektare di lima BUMN pelaksana. Akibatnya target luas areal, presisi paket teknologi, peningkatan produktivitas dan pendapatan petani gagal dicapai.

Kedua, tidak ada organisasi pelaksanaan yang mengikat BUMN pelaksana dan petani sebagai sebuah kesatuan. Akibatnya, antara kedua pihak bukan saja tak terbangun sinergi agribisnis yang kuat dan efisien, tetapi komitmen petani mensukseskan GP3K juga sangat lemah.

Program on-farm Bulog juga mengandung dua masalah dasar tersebut. Karena itu, agar terhindar dari kegagalan, pemerintah/Bulog perlu diambil langkah-langkah solutif.

Pertama, membentuk kelembagaan Sistem Kedaulatan Pangan Nasional (SKPN) yang mensinergikan fungsi-fungsi keseluruhan stakeholder pangan nasional (pemerintah, petani, korporasi), secara horizontal maupun vertikal dari tingkat pusat sampai desa.

Program on-farm  Bulog lalu ditetapkan sebagai salah satu implementasinya di lapangan.

Kedua, membentuk organisasi on-farm Bulog yang mengintegrasikan para stakeholder perberasan dengan struktur yang terentang dari tingkat pusat sampai tingkat desa. Organisasi ini setidaknya melibatkan Bulog (koordinator), BUMN pertanian (manajemen), BUMN perbank-an (pembiayaan), dan organisasi tani (operator lapangan).

Organisasi ini idealnya berupa sirkuit tertutup untuk mencegah kebocoran transaksi (dana dan hasil) ke luar sistem. Ketiga, mereorganisasi organisasi ta ni atau gabungan kelompok tani (Gapoktan) pelaksana on-farm Bulog menjadi “Badan Usaha Milik Petani” (BUMP), sebagai prasyarat integrasi organisasi agribisnis.
Dengan demikian interaksi antar pemangku kepentingan da lam organisasi on-farm Bulog dapat sepenuhnya bersifat business to business.

Tiga langkah itu niscaya menjadikan on-farm Bulog sebagai penyangga kedaulatan pangan, yang memerdekakan bangsa ini dari beras impor.

*) M.T. Felix Sitorus, Doktor Sosiologi Pedesaan dari IPB & Direktur Center for Smart Agribusiness, Politeknik Agroindustri Subang

http://koran.bisnis.com/read/20151201/251/497284/menakar-sejuta-hektare-sawah-bulog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar