Senin, 23 November 2015

Mencari Solusi untuk Mengakhiri "Kebiasaan" Impor Beras

Pemerintah pada awal bulan November 2015 memberikan kejutan karena mendatangkan beras impor dari Vietnam dengan alasan untuk menjaga stok pangan akibat gejolak cuaca El Nino yang memicu kekeringan di sejumlah tempat.

Padahal sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan bahwa Indonesia pada tahun 2015 tidak akan impor beras karena stok beras di gudang Bulog telah mencapai 1,7 juta ton meskipun beberapa pihak meminta dilakukan impor beras.

Pernyataan tersebut disampaikan Presiden saat menyaksikan panen raya padi varietas IPB3S di Desa Cikarang, Kecamatan Cilamaya Wetan, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Minggu (27/9).

Akan tetapi pada tanggal 21 Oktober 2015, Presiden memutuskan untuk mendatangkan beras impor pada bulan November 2015 guna memperkuat cadangan beras nasional.

Datangnya beras impor melalui sejumlah pelabuhan pada awal bulan November itupun menuai kritik dan penolakan dari berbagai pihak, salah satunya disampaikan oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.

Dalam hal ini, Ganjar menolak beras impor dari negara lain masuk ke Provinsi Jawa Tengah dengan alasan apapun karena dikhawatirkan akan merugikan petani lokal.

"Impor beras jangan sampai masuk ke Jateng, terus terang saya tidak setuju tapi kalau pemerintah pusat punya alasan lain, saya menghormati," kata Ganjar di sela kunjungan kerja di Kabupaten Klaten, Rabu (18/11).

Ganjar mengungkapkan bahwa masuknya beras impor ke Jateng akan merusak harga beras yang ada di pasaran sehingga merugikan para petani.

Menurut Ganjar, berdasarkan hasil penghitungan yang dilakukan pihaknya, stok beras di Jateng aman hingga April 2016.

"Surplus beras di Jateng itu sekitar 3 juta ton lebih, masih cukup hingga April tahun depan," ujar politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.

Ganjar mengaku sudah menginstruksikan Badan Ketahanan Pangan untuk berkoordinasi dengan berbagai pihak guna mencegah masuknya beras impor ke Jateng.

Kepala Badan Ketahanan Pangan Jawa Tengah Withono mengatakan bahwa stok beras di provinsi itu mencukupi hingga akhir 2015 karena produksi beras mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya.

"Produksi beras di Jateng pada 2015 diperkirakan mencapai 10,6 juta ton atau mengalami peningkatan mencapai 10,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya sehingga mencukupi dan tidak butuh beras impor. Sedangkan cadangan beras di Jateng saat ini masih mencapai sekitar 1 juta ton," katanya.

Menurut dia, cadangan beras sebanyak itu terdapat di rumah tangga petani, konsumen, penggilingan, maupun pedagang.

"Kebutuhan besar di Jateng sekitar 250 ribu ton per bulan, artinya selama empat bulan ke depan masih aman," katanya.

Penolakan terhadap beras impor yang dilakukan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo itupun mendapat dukungan dari Bupati Banyumas Achmad Husein.

"Saya kan bawahan, kalau Gubernur Jateng bilang seperti itu (menolak beras impor, red.), saya juga ikut. Kalau atasannya bilang A, bawahannya 'ngomong' Z, ya tidak seirama," katanya di Desa Pegalongan, Kecamatan Patikraja, Banyumas, Kamis.

Ia mengatakan bahwa warga Banyumas tidak perlu khawatir terhadap kemungkinan harga beras semakin melonjak maupun terjadinya kelangkaan bahan pangan itu.

Menurut dia, hal itu disebabkan Banyumas surplus beras rata-rata 30.000 ton per tahun sehingga banyak yang dijual ke luar daerah.

Bahkan berdasarkan data Bulog Subdivisi Regional Banyumas, kata dia, stok beras masih mencukupi kebutuhan hingga bulan Februari 2016.

"Tetap aman, karena bulan Februari sudah ada petani yang mulai panen, jadi aman. Kabupaten Kebumen kemarin malah dipasok dari Banyumas, berarti petaninya makmur," katanya.

Sementara itu, anggota DPRD Kabupaten Banyumas Yoga Sugama mengapresiasi sikap Gubernur Jateng Ganjar Pranowo yang menolak masuknya beras impor ke provinsi itu karena dikhawatirkan akan merugikan petani lokal.

"Saya memberi apresiasi penuh atas imbauan atau 'statement' Gubernur Jateng di Klaten yang menolak beras impor masuk Jateng," katanya.

Ia mengharapkan pernyataan tersebut tidak sekadar imbauan tetapi ditindaklanjuti dengan Instruksi Gubernur dan mekanismenya diserahkan kepada pihak terkait untuk mengantisipasi masuknya beras impor ke wilayah Jateng.

Bahkan bila perlu, kata dia, Gubernur Jateng bekerja sama dengan pihak keamanan, yakni Polri dan TNI dalam mengantisipasi masuknya beras impor ke wilayah Jateng.

"Apabila beras impor masuk Jateng, jelas hal ini akan sangat merugikan para petani karena menurut informasi harga beras impor jauh lebih murah dibanding beras petani nasional," kata politisi Partai Gerindra itu.

Lebih lanjut, Yoga mengatakan bahwa berdasarkan data Bulog Subdivre Banyumas, cadangan beras per bulan November 2015 adalah 8.200 ton yang berarti hanya cukup sampai bulan Januari 2016.

Menurut dia, minimnya cadangan beras tersebut bukti dari kegagalan Bulog dalam melakukan penyerapan produksi beras dari petani.

"Apabila mekanisme kinerja Bulog yang dilakukan selama ini terus berlanjut, ke depan hanya akan menguntungkan petani asing atas kebijakan pemerintah untuk mengimpor beras," katanya.

Menurut dia, rendahnya penyerapan produksi beras nasional oleh Bulog sering kali mengambinghitamkan faktor eksternal seperti fenomena El Nino.

"Kekeringan seakan menjadi rasionalisasi efektif terkait kebijakan impor beras," kata politikus Partai Gerindra itu.

Menurut dia, untuk mencukupi cadangan beras yang ideal, Bulog semestinya melakukan evaluasi internal, yakni kegagalan Bulog dalam menyerap produksi petani yang mengakibatkan persolan menipisnya cadangan beras.

"Minimnya cadangan beras Bulog Subdivre Banyumas jangan menjadi alasan legalisasi beras impor masuk Jateng," katanya.

Ia mengatakan bahwa Bulog Divisi Regional Jateng punya peta sentra produksi beras di masing-masing subdivre.

"Dari situ dipetakan bagaimana kondisi kebutuhan di masing-masing daerah. Sekiranya berlebih segera lakukan redistribusi kepada daerah yang cadangannya minim," katanya.

Sekretaris Asosiasi Perberasan Banyumas (APB) Faturahman menilai beras impor sebagai sesuatu yang dilematik karena menyangkut kebutuhan masyarakat luas dan kepentingan petani.

"Kalau kita berpikir untuk kepentingan masyarakat luas, seandainya beras impor tidak masuk, otomatis nanti karena persediaan terbatas, harga beras di tingkat konsumen akan terus melonjak. Kondisi tersebut akan menyulitkan konsumen karena daya beli mereka terbatas sehingga beras impor memang diperlukan asal dikendalikan," katanya.

Ia mengatakan jika beras impor tidak dikendalikan akan mengakibatkan harga gabah di tingkat petani anjlok.

Akan tetapi jika beras impor dikendalikan, harga beras lokal bisa bertahan sehingga petani dapat menikmati keuntungan dan konsumen tidak keberatan untuk beli beras.

"Makanya, sedikit-banyak memang beras impor membantu meredam harga di tingkat konsumen biar tidak terlalu tinggi. Jujur saja, secara nasional, kita lihat memang kekurangan, buktinya kalau memang betul laporan dari Kementerian Pertanian kita surplus, nyatanya kami sebagai pelaku di lapangan susah mencari pasokan beras, ada tapi barangnya tinggi, jadi antara 'supply' dan 'demand' tidak seimbang," tegasnya.

Terkait impor beras yang seolah menjadi "kebiasaan" ketika cadangan beras menipis, pakar pertanian dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof. Totok Agung Dwi Haryanto mengatakan bahwa impor beras bukan kebijakan yang baik karena bersifat paling sederhana untuk menyelesaikan masalah.

"Jadi lebih bagus memperkuat basis kapasitas produksi di dalam negeri," katanya di Purwokerto, Minggu (22/11).

Oleh karena itu, dia mengaku mendukung jika ada penolakan terhadap beras impor.

Kendati demikian, dia mengatakan jika ada beras impor sebaiknya langsung ditempatkan di daerah-daerah yang mungkin punya potensi rawan pangan.

"Kemudian beras impor itu disimpan di gudang. Dalam kondisi memang dibutuhkan, baru dikeluarkan sebagai cadangan," kata Gurubesar Fakultas Pertanian Unsoed itu.

Menurut dia, Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur bukan termasuk daerah yang memiliki potensi rawan pangan.

Bahkan, kata dia, produksi beras dua provinsi itu cukup memadai untuk mendukung produksi dalam negeri.

"Kalau beras impor masuk itu akan mengganggu harga (beras lokal). Apalagi Presiden Joko Widodo pernah menyatakan tidak akan impor beras," katanya.

Ia mengatakan bahwa cita-cita tidak akan impor beras itu seharusnya dipertahankan sehingga bisa terwujud.

Menurut dia, cara yang dapat dilakukan untuk mewujudkan cita-cita tersebut, yakni dengan mengerahkan segala potensi yang ada, baik di Kementerian Pertanian maupun daerah-derah yang memiliki potensi besar di bidang pertanian khususnya produksi beras.

Terkait minimnya stok beras di gudang Bulog, Totok mengatakan bahwa hal itu disebabkan oleh kebijakan yang kurang elastis.

"Ketika Bulog menetapkan harga, ternyata ada di bawah harga pasar akhirnya Bulog tidak pernah bisa membeli. Kalau membeli kan jadi tombok, kalau dipaksa membeli, menyalahi aturan," katanya.

Dengan demikian ketika penetapan harga bisa bersifat elastis, kata dia, dapat ditinjau kembali saat kondisi pasar harganya lebih tinggi.

Ia mengatakan bahwa pada saat ini, ketika harga Bulog di bawah harga pasar sehingga badan usaha milik negara (BUMN) itu tidak bisa menyerap terus menjadi alasan stok di gudang Bulog kurang dari yang ditargetkan.

Menurut dia, kondisi kekurangan stok itu secara nasional maupun regional membahayakan stabilitas harga dan sebagainya.

"Dengan demikian sebenarnya ketidakmampuan Bulog mencapai pembelian karena harga penetapan, harga pokok yang ditetapkan untuk membeli beras petani itu lebih rendah dari harga pasar," katanya.

Oleh karena itu, kata dia, Bulog perlu dibeli kewenangan dan keleluasaan untuk bisa mulai menyerap beras ketika memang sudah tersedia di masyarakat terutama di beberapa daerah yang masa panennya lebih awal dibanding daerah lain.

Ia mengatakan bahwa kewenangan dan keleluasaan yang dimiliki Bulog untuk bisa mulai menyerap beras dari petani itu sangat penting.

"Kalau memang dasarnya adalah HPP (Harga Pembelian Pemerintah), mungkin penetapan HPP itu yang harus diperawal. Kalau memang penetapan HPP belum bisa diperawal, ya harusnya digunakan HPP yang sudah pernah ada. Jadi HPP yang sudah pernah dikeluarkan itu berlaku sampai dengan ditetapkannya HPP yang baru sehingga Bulog punya keleluasaan," katanya.

Demikian pula dengan kebijakan untuk bisa menyesuaikan dengan harga pasar sehingga dapat menyerap beras-beras premium atau beras yang ada di masyarakat dengan harga sesuai pasar.

"Maksudnya keleluasaan itu, apabila memang harga pasar itu di atas harga pokok pembelian, Bulog diberi keleluasaan untuk bisa mengambil kebijakan menaikkan harga. Demikian juga ketika harga pasar di bawah harga pokok, tentu Bulog tidak mau membeli sesuai harga pokok karena harga pasarnya lebih rendah sehingga dia (Bulog, red.) akan menyesuaikan dengan harga pasar," jelasnya.

Ia mengatakan jika Bulog mempunyai kewenangan tersebut, keberadaan stok beras lebih terjamin keberlanjutannya termasuk keterjaminan harga dari panen petani.

"Kalau memang sudah ada kebijakan dari Bulog untuk mampu menyerap beras premium, maka tidak masalah, silakan diserap saja produksi beras yang ada di petani untuk memenuhi cadangan. Kalau itu bisa dilakukan, semuanya diuntungkan, petani diuntungkan karena bisa menjual sesuai dengan harga pasar dan Bulog juga diuntungkan karena mampu memenuhi stok kebutuhan beras yang memang ditargetkan," tambahnya.

http://www.antarajateng.com/detail/mencari-solusi-untuk-mengakhiri-kebiasaan-impor-beras.html





Tidak ada komentar:

Posting Komentar