Jakarta - Pada peletakan batu pertama Institut Pertanian
Bogor di tahun 1953, Bung Karno berkata, ”Pangan merupakan hidup matinya
bangsa kita.”
Hari ini, lebih dari 60 tahun kemudian,
kita masih menyaksikan negeri ini belum berjaya dalam soal pangan. Meski
Indonesia adalah negara maritim dengan luas laut yang membuat iri
negara lain, konsumsi ikan masyarakat Indonesia jauh lebih rendah
ketimbang negara seret lautan seperti Malaysia, bahkan Singapura.
Catatan
Kementerian Kelautan dan Perikanan, sepanjang 2011 lalu konsumsi ikan
Indonesia hanya 31,5 kilogram per kapita per tahun. Jauh di bawah
Malaysia dan Singapura yang mencapai 55,4 kilogram dan 37,5 kilogram per
kapita.
Tak terlihat betapa negeri ini punya garis pantai yang
88.000 km panjangnya. Negeri dengan panjang pantai terpanjang kedua di
dunia ini, kini menikmati garam yang harus diimpor sebelum bisa
melengkapi santapan kita.
Angka konsumsi daging Indonesia malah
lebih tragis, lebih kecil dibandingkan negara-negara Asia maupun Eropa.
Angka konsumsi daging warga Indonesia hanya 2 kilogram per orang per
tahun, jauh di bawah Malaysia yang mengonsumsi daging 8 kilogram per
orang per tahun. Padahal, pola konsumsi ideal manusia mensyaratkan tak
boleh kurang dari 2,9 kilogram.
Angka konsumsi susu Indonesia pun
menurut hasil survei yang dilakukan Euromonitor & Internal Tetra Pak
tahun 2011 tercatat hanya 12,8 liter per kapita per tahun. Jumlah itu
jauh di bawah Malaysia yang mencapai 50,8 liter per kapita per tahun dan
India sebanyak 47,1 liter. Bahkan dibanding negara yang baru lepas dari
Komunisme rigid seperti Vietnam, yang telah mencatatkan angka 14,3
liter.
Catatan kekurangan ini sengaja dibatasi hanya pada tiga
jenis pangan yang berkaitan erat dengan protein hewani, yang diakui
memengaruhi langsung kualitas pertumbuhan fisik dan kecerdasan manusia.
Melihat angka-angka di atas, harus diakui bahwa lebih dari setengah abad
kita merdeka, harapan para founding fathers untuk menyaksikan rakyat Indonesia yang maju, yang tak gampang diakali dan menjadi kuli bangsa lain, masih jauh dari terwujud.
Kita
bisa membuat daftar catatan yang lebih membuat miris lagi. Bersangkutan
dengan makanan, ternyata hingga saat ini kita hanyalah bangsa yang
‘meminta diberi makan’ negara lain. Bukan bangsa yang bisa berbangga dan
membusungkan dada dengan ‘memberi makan’ bangsa-bangsa lain. Kita yang
membanggakan kesuburan tanah ini sejatinya hanya pengimpor aneka bahan
makanan.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, pada tahun 2012
kita telah mengimpor beras sebanyak 1,224 juta ton beras; 6,43 juta ton
gandum; 775 ribu ton singkong; serta 1,7 juta ton kedelai. Semua yang
seharusnya bisa kita hasilkan sendiri di tanah subur yang sejak lama
diidamkan bangsa-bangsa lain ini.
Lihatlah, dari kacamata
konvensional agama, yang melihat tangan di atas lebih baik dibanding
tangan di bawah yang menadah, ternyata kita bukan bangsa yang layak
berbangga.
Sementara, harapan untuk bisa berdiri di atas kaki
sendiri, merasa bangga karena menanam, memproduksi dan memakan sendiri
hasil bumi yang kita tanam dengan tangan dan keringat bangsa sendiri
itu, bahkan kian menjauh. Data yang bisa kita pegang menegaskan,
kemandirian pangan itu kian menjadi maya dan fatamorgana.
Paling
tidak, karena warga negara yang berkhidmat pada pertanian pun kian
menyusut jumlahnya. Pada 2003 lalu Indonesia memiliki kepala keluarga
yang berkhidmat di pertanian sebanyak 31,17 juta. Sementara setahun
lalu, 2013, angka itu hanya tercatat 26,13 juta saja. Ada penurunan 5,04
juta KK selama satu dasawarsa.
Tentu saja bukan salah mereka. Di
sini, menjadi petani belum bisa membuat dada tegak. Negara pun seolah
lupa betapa besar jasa mereka. Nasib petani di sini seakan ditakdirkan
berjalan bersama keterpurukan.
Akibatnya tak mengherankan bila anak-anak
petani jarang melihat profesi itu pekerjaan bernilai tinggi yang patut
disyukuri. Sementara dalam kurikulum dan tata nilai pengajaran, negara
pun tak pernah mencoba menanamkan kebanggaan.
Anak-anak petani
akhirnya melihat pekerjaan bapaknya tanpa bangga, malah nelangsa. Wajar
bila mereka memilih bekerja ke sector industri. Manakala hal itu
berjalin-kelindan dengan globalisasi, mereka pun hanya menjadi buruh
dunia, menjadi kacung para pengusaha global yang datang ke tanah-tanah
yang sejak lama menjadi hak dan menghidupi bapak-kakek dan moyang
mereka.
Tak pernah ada kata terlambat untuk sadar dan bertobat.
Negara sudah sepatutnya memberi arah yang jelas dan tegas. Kita perlu
petani yang bangga karena pekerjaan itu tak hanya menjadi lahan berbagi
tapi juga menjanjikan secara materi. Kita perlu membuat bertani menjadi
identitas yang membuat bangga karena nyata memberikan harapan.
Dengan
segala cara, kita memang sepantasnya memberi nilai tukar yang lebih
layak kepada hasil-hasil pertanian. Sebab hanya dengan itu kita masih
punya harapan untuk menjadikan negara ini negeri yang memberi makan
dunia, bukan menadah tangan dan hanya meminta.
Menjadi petani
sejatinya adalah pekerjaan ilahiah. Tinggal kita bersama berusaha agar
yang ilahiah itu juga menjadi pekerjaan yang layak dalam kacamata dunia.
“Tujuan
puncak pertanian bukanlah semata-mata menanti hasil panen,”kata petani
sekaligus filsuf pertanian Masanobu Fukuoka,” melainkan mengolah dan
menyempurnakan manusia.”
Bila kita berhasil mewujudkannya, tak
perlu merebak ketakutan dengan prediksi bahwa 2045 mendatang ada 450
juta warga Indonesia yang harus diberi makan. Sementara di sisi lain
kita tahu, ekonom Lester R Brown pada jurnal terkemuka Foreign Policy
tahun lalu menulis, dunia ke depan pun akan rawan pergolakan akibat
krisis pangan.
Jelas, tanpa cetak biru strategi yang jelas,
sesungguhnya kita hanya menanti tragedi terjadi pada anak cucu kita
nanti. Dan seharusnya itu tidak dilakukan hanya dengan ekstensifikasi.
Bukti telah mengajari, sekian juta hectare hutan ditebang tak menjamin
melimpahnya pangan.
http://web.inilah.com/read/detail/2086603/kita-hanya-negara-peminta-makan#.UzODUnYQ-1s
Kamis, 27 Maret 2014
Senin, 24 Maret 2014
Bulog Siapkan Rp 2 T untuk Stok Gula Nasional
Perum Bulog menyiapkan dana Rp 1-2 triliun untuk pengadaan stok cadangan
(buffer stock) gula nasional sebanyak 340 ribu ton. Perusahaan pelat
merah tersebut telah mendapatkan penugasan dari Kementerian Perdagangan
(Kemendag) untuk menjadi lembaga penyangga dan stabilisator harga gula
di Tanah Air pada Desember 2013. Namun, hingga saat ini, peran tersebut
belum bisa dijalankan oleh Perum Bulog karena belum jelasnya kebutuhan
gula dalam negeri.
Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso mengungkapkan, pihaknya hingga saat ini belum mengimpor gula, meski Kemendag sudah memberikan izin impor hingga 340 ribu ton sebagai buffer stock. Sebab, saat ini di dalam negeri masih terjadi perbedaan pendapat. Petani dan pabrik gula (PG) mengatakan stok gula masih cukup. Artinya, di dalam negeri perlu dibenahi karena adanya dugaan perembesan gula rafinasi ke pasar umum. Hal itu harus dibenahi untuk mengetahui berapa suplaipermintaan yang sesungguhnya.
“Selama itu tidak benahi akan susah. Untuk saat ini, izin belum digunakan karena masih belum jelasnya hal tersebut,” kata Sutarto saat menjadi pembicara dalam Bincang BUMN bertema Profesionalisme BUMN di Tahun Politik di Jakarta, Kamis (20/3).
Meskipun begitu, kata Sutarto, pihaknya tetap menyiapkan dana Rp 1- 2 triliun yang bersumber dari pinjaman perbankan. Hal ini sama halnya dengan Bulog melakukan pengadaan beras, untuk tahun ini misalnya Bulog menyiapkan dana Rp 22 triliun dari kredit perbankan untuk pengadaan 3,6 juta ton beras. Dana Rp 1-2 triliun itu siap digunakan begitu Bulog melakukan pengadaan gula untuk buffer stock. “Dana untuk keperluan itu, kami peroleh dari perbankan,” kata Sutarto.
http://www.investor.co.id/agribusiness/bulog-siapkan-rp-2-t-untuk-stok-gula-nasional/80714
Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso mengungkapkan, pihaknya hingga saat ini belum mengimpor gula, meski Kemendag sudah memberikan izin impor hingga 340 ribu ton sebagai buffer stock. Sebab, saat ini di dalam negeri masih terjadi perbedaan pendapat. Petani dan pabrik gula (PG) mengatakan stok gula masih cukup. Artinya, di dalam negeri perlu dibenahi karena adanya dugaan perembesan gula rafinasi ke pasar umum. Hal itu harus dibenahi untuk mengetahui berapa suplaipermintaan yang sesungguhnya.
“Selama itu tidak benahi akan susah. Untuk saat ini, izin belum digunakan karena masih belum jelasnya hal tersebut,” kata Sutarto saat menjadi pembicara dalam Bincang BUMN bertema Profesionalisme BUMN di Tahun Politik di Jakarta, Kamis (20/3).
Meskipun begitu, kata Sutarto, pihaknya tetap menyiapkan dana Rp 1- 2 triliun yang bersumber dari pinjaman perbankan. Hal ini sama halnya dengan Bulog melakukan pengadaan beras, untuk tahun ini misalnya Bulog menyiapkan dana Rp 22 triliun dari kredit perbankan untuk pengadaan 3,6 juta ton beras. Dana Rp 1-2 triliun itu siap digunakan begitu Bulog melakukan pengadaan gula untuk buffer stock. “Dana untuk keperluan itu, kami peroleh dari perbankan,” kata Sutarto.
http://www.investor.co.id/agribusiness/bulog-siapkan-rp-2-t-untuk-stok-gula-nasional/80714
Ogah Rugi, Bulog Belum Mau Impor Kedelai
Dirut Perum Bulog Sutarto Alimoeso mengungkapkan, pihaknya masih
tetap menyerap kedelai lokal pada tahun ini meski belum ada penugasan
resmi dari pemerintah. Alasannya, penyerapan kedelai dari petani lokal
tersebut merupakan bagian dari bisnis Bulog sekaligus upaya bisnis untuk
menjalankan peran sebagai stabilisator harga pangan. "Kita diminta atau
tidak oleh pemerintah, kita sudah melakukan itu (menyerap kedelai
lokal) karena Bulog harus berbisnis tapi sekaligus menjadi stabilisator.
Itu kan bagian dari bisnis Bulog," kata Sutarto kepada wartawan di
Bangi Kopitiam, Jakarta, Kamis (20/3).
Namun, Bulog tidak menetapkan target untuk penyerapan kedelai lokal ini karena sangat minimnya produksi kedelai nasional. "Target pengadaan itu sulit ditetapkan karena produksinya saja hanya seperempat dari kebutuhan nasional. Tapi kita komit ke arah menjadi stabilisator kedelai. Kita membangun jaringan dengan petani, jaringan dengan produsen tahu tempe. Mulai dari kecil, bertahap," paparnya. Di sisi lain, Bulog belum berencana akan melakukan importasi kedelai karena harga kedelai impor yang masih sangat tinggi. Tetapi, Bulog tetap terus melakukan negosiasi dengan produsen di luar negeri.
"Posisinya masih negosiasi terus karena dollar sedang tinggi, harga kedelai juga tinggi," tuturnya. Sutarto menambahkan, selama harga kedelai masih tinggi, Bulog tidak akan mengimpor kedelai. Pasalnya, tidak ada anggaran PSO maupun dana stabilisasi dari pemerintah untuk pengadaan kedelai Bulog. Artinya, bila terjadi kerugian, Bulog sendiri yang harus menanggungnya. "Selama masih rugi, kita tidak akan impor karena bukan penugasan," tandas dia.
http://www.gatra.com/ekonomi-1/49223-ogah-rugi,-bulog-belum-mau-impor-kedelai.html
Namun, Bulog tidak menetapkan target untuk penyerapan kedelai lokal ini karena sangat minimnya produksi kedelai nasional. "Target pengadaan itu sulit ditetapkan karena produksinya saja hanya seperempat dari kebutuhan nasional. Tapi kita komit ke arah menjadi stabilisator kedelai. Kita membangun jaringan dengan petani, jaringan dengan produsen tahu tempe. Mulai dari kecil, bertahap," paparnya. Di sisi lain, Bulog belum berencana akan melakukan importasi kedelai karena harga kedelai impor yang masih sangat tinggi. Tetapi, Bulog tetap terus melakukan negosiasi dengan produsen di luar negeri.
"Posisinya masih negosiasi terus karena dollar sedang tinggi, harga kedelai juga tinggi," tuturnya. Sutarto menambahkan, selama harga kedelai masih tinggi, Bulog tidak akan mengimpor kedelai. Pasalnya, tidak ada anggaran PSO maupun dana stabilisasi dari pemerintah untuk pengadaan kedelai Bulog. Artinya, bila terjadi kerugian, Bulog sendiri yang harus menanggungnya. "Selama masih rugi, kita tidak akan impor karena bukan penugasan," tandas dia.
http://www.gatra.com/ekonomi-1/49223-ogah-rugi,-bulog-belum-mau-impor-kedelai.html
Sabtu, 22 Maret 2014
Kemewahan itu Membinasakan…
Syeikh Utsaimin -rohimahulloh- mengatakan:
Sungguh, semakin manusia bertambah dalam kemewahan,
dan semakin terbuka terhadap yang lain, maka keburukan-keburukan juga
semakin terbuka bagi mereka. Sungguh, kemewahan itulah yang membinasakan
manusia, karena bila seseorang sudah mementingkan kemewahan dan
pemanjaan jasadnya, ia tentu lalai dalam memanjakan hatinya, sehingga
jadilah keinginan terbesarnya memanjakan jasad tersebut, padahal jasad
itu akan berakhir dengan belatung dan kebusukan. Ini musibah.
Inilah
yang membinasakan manusia hari ini. Hampir tidak kamu dapati seorang
pun, kecuali ia mengatakan: bagaimana rumah kita, apa mobil kita, apa
karpet kita, apa makanan kita? Sampai-sampai orang yang menelaah dan
belajar ilmu agama pun, sebagian ada yang belajar untuk meraih pangkat
atau kedudukan yang bisa menyampaikannya kepada kenikmatan dunia.
Sepertinya manusia diciptakan bukan untuk tujuan yang agung, dunia dan
kenikmatannya hanyalah wasilah (perantara)! semoga Allah menjadikan kami dan kalian dapat menjadikan dunia sebagai wasilah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rohimahulloh-
mengatakan: “Hendaknya seseorang menggunakan hartanya, seperti ia
menggunakan himar untuk tunggangan, seperti ia menggunakan toilet untuk
buang hajat”. Lihatlah bagaimana orang-orang yang tahu (hakekat) harta,
orang-orang yang tahu kedudukan harta.
Jangan
jadikan harta sebagai tujuan utama (hidup)mu! Tunggangilah harta dunia,
karena bila kamu tidak menungganginya, harta itu yang akan
menunggangimu, sehingga jadilah tujuan (hidup)mu harta. Oleh karena itu,
kita katakan: Sungguh, semakin terbuka harta dunia untuk manusia dan
mereka jadi (terlena) melihat harta itu, maka mereka akan rugi dari
akheratnya sebanding dengan keuntungan yang diperoleh dari dunianya.
Nabi -shollallohu alaihi wasallam- telah bersabda:
“Demi Allah, bukan kefakiran yang aku takutkan terhadap kalian, tapi yang aku takutkan terhadap kalian adalah; bila dunia dibukakan untuk kalian, sehingga kalian saling berlomba mendapatkannya, sebagaimana umat sebelum kalian saling berlomba di dalamnya, lalu dunia itu membinasakan kalian sebagaimana dunia itu telah membinasakan mereka.
Dan benarlah Rosul -shollallohu alaihi wasallam-, inilah yang membinasakan manusia sekarang ini.
Yang
membinasakan manusia hari ini adalah saling berlomba mendapatkan dunia,
hingga seakan mereka diciptakan untuk dunia, bukan dunia diciptakan
untuk mereka. Sehingga mereka bekerja demi dunia yang diciptakan untuk
mereka, dan meninggalkan perkara yang mereka diciptakan untuknya. Ini
merupakan keadaan yang terbalik, semoga Allah menyelamatkan kita (dari
keadaan ini).
فإن
الناس كلما ازدادوا في الرفاهية, وكلما انفتحوا على الناس, انفتحت عليهم
الشرور. إن الرفاهية هي التي تدمر الإنسان, لأن الإنسان إذا نظر إلى
الرفاهية وتنعيم جسده, غفل عن تنعيم قلبه، وصار أكبر همه أن ينعم هذا الجسد
الذي مآله إلى الديدان والنتن, وهذا هو البلاء, هذا هو الذي ضر الناس
اليوم, لا تكاد تجد أحدا إلا ويقول: وش قصرنا , وش سيارتنا, وش فرشنا, وش
أكلنا, حتى الذين يقرؤون العلم ويدرسون العلم بعضهم إنما يدرس من أجل أن
ينال رتبة أو مرتبة يتوصل بها إلى نعيم الدنيا. ما كأن الإنسان خلق لأمر
عظيم، والدنيا ونعيمها إنَّما هو وسيلة فقط، نسأل الله أن يجعلنا وإياكم أن
نستعملة وسيلة.
قال شيخ الإسلام ابن تيمية -رحمه الله-: “ينبغي للإنسان أن يستعمل المال كما يستعمل الحمار للركوب، وكما يستعمل بيت الخلاء للغائط”.
وش اللي يعرفون المال, يعرفون قدره. لا تجعل المال أكبر همك، اركب المال، فإن لم تركب المال؛ ركبك المال، وصار همك هو الدنيا.
ولهذا
نقول: إنَّ الناس كلما انفتحت عليهم الدنيا، وصاروا ينظرون إليها؛ فإنَّهم
يخسرون من الآخرة بقدر ما ربحوا من الدنيا، قال النبي عليه الصلاة
والسلام: (والله ما الفقر أخشى عليكم، وإنَّما أخشى عليكم أن تُفْتَح عليكم
الدنيا، فتنافسوها كما تنافسها من قبلكم، فتهلككم كما أهلكتهم)، وصدق
الرسول -عليه الصلاة السلام- هذا الذي أهلك الناس اليوم. الذي أهلك الناس
اليوم التنافس في الدنيا وكونهم كأنما خُلِقوا لها، لا أنَّها خُلِقت لهم،
فاشتغلوا بما خُلِق لهم عما خُلِقوا له، وهذا من الانتكاس -نسأل الله
العافية-
===========================
Kemewahan
memang dapat membinasakan manusia, ia telah banyak menjerumuskan
umat-umat terdahulu dalam kesombongan dan penolakan terhadap kebenaran
dakwah para rosul -alaihimussalam-, maka hendaklah kita berhati-hati dan mewaspadai hal ini.
Renungkanlah firman-firman Allah berikut ini:
وَاتَّبَعَ الَّذِينَ ظَلَمُوا مَا أُتْرِفُوا فِيهِ وَكَانُوا مُجْرِمِينَ (116) وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ (117)
Orang-orang yang zalim itu mementingkan kemewahan
yang ada pada mereka, dan mereka itu orang-orang yang berdosa. Rabbmu
tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya
orang-orang yang berbuat kebaikan. (Hud: 116-117)
وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا (16)
Jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan mereka yang hidup mewah di negeri itu (agar taat kepada Allah), maka mereka pasti
durhaka di dalamnya, sehingga pantas berlaku baginya ketentuan
(hukuman) Kami, kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.
(Al-Isro’: 16)
فَلَمَّا أَحَسُّوا بَأْسَنَا إِذَا هُمْ مِنْهَا يَرْكُضُونَ (12) لَا تَرْكُضُوا وَارْجِعُوا إِلَى مَا أُتْرِفْتُمْ فِيهِ وَمَسَاكِنِكُمْ لَعَلَّكُمْ تُسْأَلُونَ (13) قَالُوا يَا وَيْلَنَا إِنَّا كُنَّا ظَالِمِينَ (14)
Maka,
ketika mereka merasakan azab Kami, tiba-tiba mereka lari kalang-kabut
dari negerinya itu. (Dikatakan kepada mereka): Janganlah kalian lari
kalang-kabut, kembalilah kepada kemewahan yg diberikan kepada kalian
dan ke rumah-rumah kalian, agar (nantinya) kalian dapat ditanya. Mereka
berkata: “Betapa celaka kami! sungguh kami orang-orang yang zalim”.
[Al-Anbiya’: 12-14]
وَقَالَ الْمَلَأُ مِنْ قَوْمِهِ الَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِلِقَاءِ الْآخِرَةِ وَأَتْرَفْنَاهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا مَا هَذَا إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يَأْكُلُ مِمَّا تَأْكُلُونَ مِنْهُ وَيَشْرَبُ مِمَّا تَشْرَبُونَ (33)
Para pemuka kaumnya (Nabi Hud) yang kafir, yang mendustakan pertemuan hari akhir, dan yang telah Kami mewahkan
dalam kehidupan dunia mengatakan: “Orang ini hanyalah manusia seperti
kalian, dia makan dari apa yang kalian makan, dan minum dari apa yang
kalian minum”. (Al-Mu’minun: 33)
بَلْ قُلُوبُهُمْ فِي غَمْرَةٍ مِنْ هَذَا وَلَهُمْ أَعْمَالٌ مِنْ دُونِ ذَلِكَ هُمْ لَهَا عَامِلُونَ (63) حَتَّى إِذَا أَخَذْنَا مُتْرَفِيهِمْ
بِالْعَذَابِ إِذَا هُمْ يَجْأَرُونَ (64) لَا تَجْأَرُوا الْيَوْمَ
إِنَّكُمْ مِنَّا لَا تُنْصَرُونَ (65) قَدْ كَانَتْ آيَاتِي تُتْلَى
عَلَيْكُمْ فَكُنْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ تَنْكِصُونَ (66)
مُسْتَكْبِرِينَ بِهِ سَامِرًا تَهْجُرُونَ (67)
Tetapi
hati orang-orang kafir itu dalam kesesatan dari (memahami kenyataan)
ini, dan mereka mempunyai kebiasaan banyak mengerjakan
perbuatan-perbuatan buruk yang terus mereka lakukan. Sehingga apabila
Kami timpakan azab kepada orang-orang yang hidup mewah di antara mereka, seketika itu mereka memekik minta tolong.
(Dikatakan
kepada mereka): Janganlah kalian memekik minta tolong pada hari ini.
Karena kalian tidak akan mendapat pertolongan dari Kami. Sungguh,
ayat-ayat-Ku selalu dibacakan kepada kalian, tapi kalian selalu
berpaling ke belakang, dengan menyombongkan diri dan mengucapkan banyak
perkataan keji terhadapnya di waktu kamu bercakap-cakap di malam hari.
(Al-Mu’minun: 63-67)
وَمَا أَرْسَلْنَا فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا
إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ (34) وَقَالُوا نَحْنُ
أَكْثَرُ أَمْوَالًا وَأَوْلَادًا وَمَا نَحْنُ بِمُعَذَّبِينَ (35)
Setiap Kami mengutus seorang pemberi peringatan ke suatu negeri, orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sungguh, kami mengingkari apa yang kalian diutus untuk menyampaikannya”. Mereka juga mengatakan: “Kami punya lebih banyak harta dan anak-anak (daripada kamu) dan kami sama sekali tidak akan di azab” (Saba’: 34-35)
وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا
إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ
مُقْتَدُونَ (23) قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكُمْ بِأَهْدَى مِمَّا وَجَدْتُمْ
عَلَيْهِ آبَاءَكُمْ قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ
(24) فَانْتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ
الْمُكَذِّبِينَ (25)
Demikianlah, setiap Kami mengutus seorang pemberi peringatan sebelum kamu ke suatu negeri, mereka yang hidup mewah
di negeri itu selalu berkata: “Sungguh, kami mendapati nenek-moyang
kami menganut suatu agama. Dan sungguh, kami sekedar pengikut
jejak-jejak mereka”.
(Rasul
itu) berkata: “Apakah (kalian akan mengikuti mereka juga), sekalipun
aku membawa untuk kalian (agama) yang lebih lurus, daripada apa yang
kalian dapati dari agama yang dianut oleh nenek-moyang kalian?!”
Mereka menjawab: “Sungguh kami mengingkari agama yang kalian diutus untuk menyampaikannya”.
Karena itu, Kami binasakan mereka. Maka, perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (kebenaran). (Az-Zukhruf: 23-25)
وَأَصْحَابُ
الشِّمَالِ مَا أَصْحَابُ الشِّمَالِ (41) فِي سَمُومٍ وَحَمِيمٍ (42)
وَظِلٍّ مِنْ يَحْمُومٍ (43) لَا بَارِدٍ وَلَا كَرِيمٍ (44) إِنَّهُمْ
كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُتْرَفِينَ (45)
Dan
golongan kiri, alangkah sengsaranya mereka itu? Mereka dalam (siksaan)
angin yang sangat panas dan air yang mendidih, dalam naungan asap yang
hitam, tidak sejuk dan tidak menyenangkan. Sungguh, mereka sebelum itu hidup bermewah-mewah. (Al-Waqi’ah: 41-45)
Memang, ketika orang sampai pada taraf ‘kemewahan’,
maka kemewahan tersebut akan menyeretnya ke dalam tindakan tinggi hati,
memandang remeh orang lain, kurang menghormati orang di sekitarnya, dan
kurang merendah kepada Penciptanya. Bahkan mungkin dia lupa sama-sekali
dengan Allah Sang Pencipta, karena keadaannya yang dapat melakukan
‘apapun’ yang dia inginkan.
Sehingga
ia akan menolak nasehat apapun dan dari mana pun, karena ia merasa
tidak memerlukan orang lain, bahkan justru orang lainlah yang memerlukan
dia. Dan inilah ‘perangkap mematikan’ hidup mewah, dengan inilah
umat-umat terdahulu dibinasakan, sebagaimana ditegaskan dalam ayat-ayat
suci di atas.
Oleh
karena itu, hendaklah kita menjauhi hidup mewah, dan berusaha untuk
selalu hidup sederhana. Bila ada harta melimpah, maka hendaklah kita
gunakan untuk amal-amal kebaikan, seperti: membantu dakwah Islam,
menjamin kehidupan para da’i, memberi sumbangan wakaf, menyantuni anak
yatim, memberi fakir miskin, membantu mereka yang membutuhkan, membangun
masjid, mendirikan pondok, sekolah, dan seterusnya.
Ingatlah,
bahwa itu semua tidak akan terbuang sia-sia, tapi Allah akan simpan dan
lipat-gandakan pahalanya di sisi-Nya, sehingga menjadi tabungan pahala
bagi pelakunya di akherat kelak, dan itu akan menjadi kenikmatan yang
abadi selamanya.
Jangan
sampai kita susah-payah mengumpulkan harta dunia, namun akhirnya harta
tersebut hanya menumpuk untuk dibagi ketika sudah menjadi warisan. Sungguh sangat merugi orang seperti ini,
dia yang susah-payah di dunia dalam mengumpulkannya, tapi ternyata ahli
warisnya yang menikmatinya. Dia yang mempertanggung-jawabkan harta
tersebut di akhirat kelak, padahal dia belum sempat menikmati hasilnya
di dunia.
Semoga
Allah menyelamatkan kita dari gaya hidup mewah ini, dan semoga Allah
memberikan taufiq kepada kita semua, sehingga kita dapat memanfaatkan
kenikmatan apa pun yang dititipkan Allah kepada kita untuk meraih ridho
dan kemuliaan di sisi-Nya. Sungguh, Allah ta’ala itu dekat, Maha
Mengetahui, Maha Mendengar, dan Maha Kuasa mengabulkan doa.
Wallohu a’lam, semoga bermanfaat.
http://addariny.wordpress.com/2014/01/09/kemewahan-itu-membinasakan/#more-2056
Rabu, 19 Maret 2014
Tentang Memberikan Suara di PEMILU…
Bismillah, walhamdulillah, was sholatu was salamu ala rosulillah, wa ala alihi wa shohbihi wa man waalaah.
Pemilu
merupakan masalah besar yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat
umum, masalah ini juga bisa dikategorikan dalam masalah “ma ta’ummu bihil balwa”
atau perkara yang menimpa masyarakat luas, bahkan di beberapa negara
yang dulunya tidak ada pemilihan umum pun, sekarang mulai memberlakukan
aturan itu, walaupun hanya di beberapa lini pemerintahannya.
Kenyataan
ini menunjukkan bahwa masalah pemilu merupakan masalah penting, dan
jawabannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat luas. Dan Alhamdulillah, masalah
ini sudah dibahas oleh banyak ulama ahlussunnah, maka hendaklah kita
merujuk kepada fatwa mereka, sebagai pengamalan kita terhadap firman
Allah ta’ala:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Bertanyalah kepada ahli ilmu bila kalian tidak mengetahui! (Annahl: 43)
وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ
“Seandainya
mereka mengembalikan perkara itu kepada Rosul dan ulama mereka,
tentulah orang yang beristimbat dari mereka tahu hakekat maknanya”.
(Annisa: 83)
Tujuan
tulisan ini adalah untuk membuka atau memperluas wawasan dalam masalah
ini. Walaupun ada perbedaan pendapat dalam masalah ini, namun pendapat
yang penulis cantumkan dalam tulisan ini merupakan pendapat yang lebih
pantas untuk kita ikuti, karena itu merupakan fatwa dari ulama-ulama
besar ahlussunnah yang sudah masyhur dalam ilmu dan takwanya, dan juga
banyak dijadikan rujukan dalam berfatwa.
Dan berikut adalah nukilan-nukilan dari fatwa-fatwa tersebut:
Pertama: Fatwa “Komite tetap untuk fatwa dan karya ilmiah” Negara Saudi Arabia, yang diketuai oleh Syeikh Binbaz -rohimahulloh-.
يجب
على المسلمين في البلاد التي لا تحكم الشريعة الإسلامية، أن يبذلوا جهدهم
وما يستطيعونه في الحكم بالشريعة الإسلامية، وأن يقوموا بالتكاتف يدًا
واحدةً في مساعدة الحزب الذي يعرف منه أنه سيحكم بالشريعة الإسلامية.
وأما
مساعدة من ينادي بعدم تطبيق الشريعة الإسلامية فهذا لا يجوز، بل يؤدي
بصاحبه إلى الكفر؛ لقوله تعالى: (وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ
اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ
عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ
أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ
كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ * أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ
يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ)
[المائدة/49-50].
ولذلك
لما بَيَّن اللهُ كفر من لم يحكم بالشريعة الإسلامية، حذر من مساعدتهم أو
اتخاذهم أولياء، وأمر المؤمنين بالتقوى إن كانوا مؤمنين حقا، فقال تعالى:
(يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا
دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ
قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ
مُؤْمِنِينَ) [المائدة/57].
Wajib
bagi Kaum Muslimin di Negara yang tidak berhukum dengan Syari’at Islam,
untuk mengerahkan usahanya dan apapun yang mereka mampui dalam berhukum
dengan Syariat Islam. Dan (wajib pula bagi mereka) untuk bersatu padu dalam membantu partai yang dikenal akan berhukum dengan Syari’at Islam.
Adapun
membantu orang yang mengajak untuk tidak menerapkan Syari’at Islam,
maka ini tidak boleh, bahkan bisa menyeret pelakunya kepada kekufuran,
sebagaimana Firman Allah ta’ala (yang artinya):
“Hendaklah
Engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut hukum yang
diturunkan Allah, janganlah Engkau mengikuti keinginan mereka, dan
waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memperdaya Engkau dalam
sebagian hukum yang telah diturunkan Allah kepadamu. Lalu jika mereka
berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah
bahwa sesungguhnya Allh berkehendak menimpakan musibah kepada mereka
disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sungguh kebanyakan manusia
adalah orang-orang fasik. Apakah hukum jahiliyah yang mereka inginkan?!
Tidak ada hukum yang lebih baik dari hukum Allah bagi orang-orang yang
meyakini” (al-Ma’idah 49-50)
Oleh
karena itu, ketika Allah menjelaskan kufurnya orang yang tidak berhukum
dengan Syari’at Islam, Dia memperingatkan agar tidak membantu mereka
atau menjadikan mereka pemimpin, dan memerintahkan Kaum Mukminin agar
bertakwa bila mereka benar-benar beriman, Allah ta’ala berfirman (yang
artinya):
“Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian jadikan sebagai pemimpin;
orang-orang yang diberi kitab sebelum kalian dan orang-orang kafir yang
menjadikan agama kalian sebagai bahan ejekan dan permainan, dan
bertakwalah kepada Allah bila kalian orang-orang yang beriman.
(Al-Ma’idah: 57). [Fatwa Lajnah Da'imah, seri kedua, 1/373]
=========================================
Kedua: Fatwa Syeikh Albani -rohimahulloh-.
لا
أرى ما يمنع الشعب المسلم إذا كان في المرشحين من يعادي الإسلام وفيهم
مرشحون إسلاميون من أحزاب مختلفة المناهج فتصح -و الحالة هذه- كل مسلم أن
ينتخب من الإسلاميين ومن هو أقرب إلى المنهج العلمي الصحيح.
Aku
tidak melihat ada sesuatu yang melarang masyarakat muslim untuk memilih
orang-orang pergerakan islam dan siapa pun yang lebih dekat kepada manhaj ilmu
yang shohih, bila memang diantara para calon ada orang yang memerangi
Islam, dan ada para calon yang islami dari partai-partai yang manhajnya
bermacam-macam. [Majalah Assalafiyah, edisi 3, tahun 1418 H, hal: 29]
السؤال: ما حكم خروج النساء للانتخابات ؟
الجواب:
يجوز لهن الخروج بالشرط المعروف في حقهن وهو أن يتجلبن الجلباب الشرعي ،
وأن لا يختلطن بالرجال… ثم أن ينتخبن من هو أقرب إلى المنهج العلمي الصحيح
من باب دفع المفسدة الكبرى بالصغرى.
Pertanyaan: Apa hukum keluarnya kaum wanita untuk mengikuti pemilu?
Jawab:
Mereka boleh keluar (untuk itu) dengan syarat yang sudah ma’ruf untuk
mereka, yaitu: berjilbab dengan jilbab syar’i dan tidak bercampur-baur
dengan kaum lelaki… Kemudian, mereka memilih orang yang lebih dekat
kepada manhaj ilmu yang shohih, karena alasan menolak keburukan yang
besar dengan keburukan yang kecil. [Majalah Assalafiyah, edisi 3, tahun
1418 H, hal: 29]
إذا
كان هناك مسلمون … يرشحون أنفسهم ليدخلوا البرلمان بزعم تقليل الشر… سواء
للانتخاب الصغير أو الكبير فنحن نختاره, لماذا؟ لأنّ هناك قاعدة إسلامية
على أساسها نحن نقول ما قلنا : إذا وقع المسلم بين شرّين، اختار أقلهما
شرّاً . لا شك أن وجود رئيس بلدية مسلم هو بلا شك أقل شراً… من وجود رئيس
بلدية كافر أو ملحد… نحن نفرق بين أن نَنتخِب وبين أن نُنتخَب ؛ لا نرشح
أنفسنا لنُنتخَب لأننا سنحترق, أما من أبى إلا أن يحرق نفسه قليلا أو
كثيراً ويرشح نفسه في هذه الانتخابات أو تلك، فنحن من باب دفع الشر الأكبر
بالشر الأصغر, نختار هذا المسلم على ذاك الكافر أو على ذاك الملحد.
السائل : يا شيخنا أفهم من هذا الكلام أنه بالنسبة للبرلمان أو بالنسبة للانتخابات البلدية إذا ترشح مسلم فالتصويت عليه جائز .
الشيخ : نعم, لكن من باب دفع الشر الأكبر بالشر الأصغر، ليس لأنه خير.
Jika
di sana ada Kaum Muslimin… yang mencalonkan dirinya untuk masuk
parlemen, dengan dalih mengurangi keburukan (yang ada)… baik untuk
pemilihan dalam lingkup kecil, maupun pemilihan dalam lingkup besar,
maka kami akan memilihnya. Kenapa? Karena di sana ada kaidah islam yang
bisa kami jadikan dasar mengatakan ini, yaitu: bila seorang muslim
berada di antara dua keburukan, maka ia (harus) memilih yang paling sedikit buruknya dari keduanya.
Tidak
diragukan lagi, adanya seorang pemimpin negeri yang muslim, tidak
diragukan itu lebih sedikit buruknya… dari pada adanya seorang pemimpin
negeri yang kafir atau atheis…
Kami
membedakan antara masalah memilih dengan masalah mencalonkan diri. Kami
tidak mencalonkan diri; agar dipilih karena kami akan terbakar. Adapun
orang yang tidak mau kecuali membakar dirinya -baik sedikit maupun
banyak-, dan mencalonkan diri di pemilihan ini ataupun itu, maka -karena
alasan menolak keburukan terbesar dengan keburukan terkecil-, kami akan
memilih orang muslim ini, bukan orang kafir atau orang atheis itu.
Penanya:
Wahai Syeikh kami, saya paham dari ucapan (Anda) ini, bahwa untuk
parlemen atau pemilihan pemimpin negeri, bila ada seorang muslim yang
mencalonkan diri, maka boleh memberikan suara untuknya?
Syeikh:
Ya (benar), tapi itu karena alasan menolak keburukan terbesar dengan
keburukan terkecil, bukan karena hal itu baik. [Silsilah Huda wan Nur,
kaset no: 660]
السائل:
وردنا عنك كلام عن الانتخابات؛ أنك قلت عن الإخوان المسلمين الذين نزلوا
لا ينبغي أن ينزلوا، لكن إذا نزلوا؛ فعلى المسلمين مؤازرتهم؟
الشيخ:
نحن أولاً ما خصصنا بالذكر الإخوان المسلمين… سنرى في الساحة ناسا يرشحون
أنفسهم من الإسلاميين… حينئذٍ, يجب علينا أن نختار من هؤلاء الذين نزلوا في
ساحة الانتخاب؛ الأصلح، ولا نفسح المجال لدخول الشيوعيين والبعثيين
والزنادقة والدهريين ونحو ذلك، هذا هو رأينا.
السائل: أنت تقول؛ يجب أن نختار الأفضل منهم؟
الشيخ: أي نعم.
Penanya:
Telah sampai kepada kami perkataan Anda tentang pemilu, bahwa Anda
mengatakan: “Ikhwanul Muslimin” yang turun (dalam kancah politik), tidak
seyogyanya mereka turun, tapi ketika mereka telah turun, maka Kaum
Muslimin harus mendukung mereka?.
Syeikh:
Pertama, kami tidak mengkhususkan penyebutan “Ikhwanul Muslimin”… Kita
akan melihat di lapangan; ada orang-orang pergerakan islam yang
mencalonkan dirinya… Ketika keadaan demikian, maka wajib bagi
kita untuk memilih yang paling baik dari mereka yang turun di kancah
pemilu, dan kita tidak boleh membuka kesempatan bagi masuknya kelompok
sosialis, atau ba’athis, atau munafikun, atau dahriyun, atau yang
semisal mereka, inilah pendapat kami.
Penanya: Anda mengatakan kita wajib memilih yang terbaik dari mereka?
Syeikh: Ya, (benar). [Silsilah Huda wan Nur, kaset no: 221, menit: 2:57]
أما
القسم الثاني: وهم الذين ينتخبون هؤلاء؛ فنقول: هؤلاء عليهم أن يطبقوا
قاعدة شرعية؛ وهي أن المسلم إذا وقع بين شرين وجب عليه أن يختار أقلهما
شرا, فأنا كشخص من الأمة يرى ذلك الرأي الذي خلاصته: أن لا يرشح المسلم
نفسه, لأنه سيخسر منها شيئا كثيرا أو قليلا. ولكن نحن لا بد أن نعالج هذا
الواقع على عجره وبجره, فإذا تقدم جماعة من الإسلاميين, ورشحوا أنفسهم, وفي
مقابلهم ناس إما مسلمين غير ملتزمين أو ليسوا بمسلمين وقد يكونون من
المسلمين المرتدين عن دينهم؛ حينئذ القاعدة المذكورة آنفا: علينا أن نختار
من إذا كان في البرلمان… ما يكون شره أقل من شر غيره؛ على هذا كان الواجب
على الناخبين جميعا أن يختاروا الإسلاميين مهما كانت اتجاهاتهم وحزبياتهم, و
و و و إلى آخره… فهذا رأيي, إذن هو يتعلق بطائفتين. طائفة رشحوا أنفسهم لا
ننصحهم, أما وقد رشحوا أنفسهم فعلينا أن نختار منهم من كان أقرب إلى العمل
الإسلامي.
Adapun golongan kedua, yakni orang-orang yang memilih mereka (yang dicalonkan), maka kami mengatakan: mereka (para pemilih) harus menerapkan kaidah syariat, yaitu: jika seorang muslim jatuh diantara dua keburukan, maka dia wajib memilih yang paling sedikit keburukannya. Maka saya sebagai salah satu dari individu umat ini memilih pendapat yang intinya:
Agar seorang muslim tidak mencalonkan dirinya, karena dia akan rugi dengannya, baik rugi banyak maupun sedikit. Tapi, kita harus mengobati kenyataan ini, betapapun buruknya keadaan ini.Maka apabila kelompok pergerakan islam maju dan mencalonkan diri mereka, sedang di depan mereka ada golongan manusia -yang bisa jadi mereka itu muslim tapi tidak taat, atau tidak muslim sama sekali, atau pernah muslim tapi murtad setelah itu-, ketika keadaannya demikian, maka sesuai kaedah yang telah disebutkan tadi: kita harus memilih orang yang bila dia masuk dalam parlemen… keburukannya lebih sedikit dari keburukan selain dia. Karena hal ini, maka wajib bagi semua pemilih untuk memilih kelompok pergerakan islam, apapun pemikiran mereka, partai mereka, …, …, …, dan seterusnya…
Inilah
pendapatku, jadi ini berkaitan dengan dua golongan: golongan yang
mencalonkan diri mereka; kami tidak menasehatkan untuk (mengambil
langkah itu). Adapun ketika mereka telah mencalonkan diri mereka, maka
kita harus memilih dari mereka; orang yang lebih dekat kepada praktek agama islam. [Silsilah Huda wan Nur, kaset no: 287, menit: 30:12]
إذا
وجد هناك ناس من الشباب المسلم رشح نفسه نائبا في البرلمان مقابل أفراد
آخرين من أحزاب غير إسلامية؛ فأنا أرى والحالة هذه أن ننتخب الجنس الأول؛
لأننا إن لم ننتخبه نجح الجنس الآخر، يعني من باب تحقيق أخف الضررين. لا
ننصح مسلما بأن يرشح نفسه فإن أبى ورأى أن هذا فيه خير ورشح نفسه يجب علينا
أن نرشحه ..”اهـ
Jika
di sana ada orang-orang dari pemuda muslim yang mencalonkan dirinya
sebagai wakil di parlemen, dia bersaing dengan orang-orang lain dari
partai-partai yang tidak islami, maka jika keadaannya demikian, saya
melihat bolehnya memilih jenis pertama, karena bila kita tidak
memilihnya; jenis pesaingnya akan berhasil, hal ini karena alasan
mewujudkan bahaya terkecil. Kami tidak menasehatkan seorang muslim untuk
mencalonkan dirinya, tapi bila ia menolak (hal itu), dan melihat adanya
kebaikan dalam langkahnya, maka kita wajib memilihnya. [Silsilah Huda wan Nur, kaset no: 441, menit: 15:20]
=========================================
Ketiga: Penjelasan Syeikh Assi’di -rohimahulloh-.
أن
الله يدفــع عن المؤمنين بأسباب كثيرة وقد يعلمون بعضها وقد لا يعلمون
شيئًا منها، وربما دفع عنهم بسبب قبيلتهم، وأهل وطنهم الكفار، كما دفع الله
عن شعيب، رجم قومه، بسبب رهطه، وأن هذه الروابط، التي يحصل بها الدفع عن
الإسلام والمسلمين، لا بأسَ بالسعي فيها، بل ربما تعين ذلك؛ لأنَّ الإصلاح
مطلوب، حسب القدرة والإمكان. فعلى هذا، لو سعى المسلمون الذين تحت ولاية
الكفار، وعملوا على جعل الولاية جمهورية، يتمكن فيها الأفراد والشعوب من
حقوقهم الدينية والدنيوية لكان أولى، من استسلامهم لدولة تقضي على حقوقهم
الدينية والدنيوية، وتحرص على إبادتها، وجعلهم عَمَلَةً وخَدَمًا لهم. نعم
إن أمكن أن تكون الدولة للمسلمين، وهم الحكام، فهو المتعين، ولكن لعدم
إمكان هذه المرتبة، فالمرتبة التي فيها دفع ووقاية للدين والدنيا مقدمة،
والله أعلم.
Sungguh
Allah ta’ala itu melindungi kaum mukminin dengan jalan yang banyak,
mereka kadang mengetahui sebagian jalan itu, dan kadang mereka tidak
mengetahuinya sama sekali. Kadang Allah membela mereka melalui kabilah
dan penduduk negeri mereka yang kafir, sebagaimana Allah melindungi Nabi
Syu’aib dari hukuman rajam kaumnya melalui keberadaan kabilahnya. Dan
sungguh hubungan-hubungan pertalian ini bila dengannya Agama Islam dan
Kaum Muslimin bisa terlindungi, maka tidak mengapa berusaha
mewujudkannya, bahkan bisa saja hal itu diharuskan, karena perbaikan itu dituntut sesuai dengan kemampuan dan kesempatan.
Oleh karena itu, jika Kaum Muslimin yang berada di bawah kekuasaan kaum kafirin berusaha dan bekerja untuk menjadikan Negaranya bersistem Demokrasi,
sehingga penduduk dan masyarakatnya bisa mendapatkankan hak agama dan
dunianya, tentunya ini lebih baik daripada mereka tunduk kepada Negara
yang merampas hak agama dan dunia mereka, berusaha menindas mereka, dan
menjadikan mereka sebagai pekerja dan budaknya.
Memang benar, bila dimungkinkan Negara itu menjadi Negara Kaum Muslimin dan mereka menjadi penguasanya, tentunya itu yang diharuskan.
Tapi karena tingkatan itu tidak dimungkinkan, maka tingkatan yang di
dalamnya agama dan dunia mereka menjadi kuat dan terlindungi; tentunya (harus) dikedepankan, wallohu a’lam. [Tafsir Assi’di, Surat Hud, ayat: 91]
=========================================
Keempat: Fatwa Syeikh Utsaimin -rohimahulloh-.
السؤال:
ما حكم الانتخابات الموجودة في الكويت , علماً بأن أغلب من دخلها من
الإسلاميين ورجال الدعوة فتنوا في دينهم؟ وأيضاً ما حكم الانتخابات الفرعية
القبلية الموجودة فيها يا شيخ؟
الجواب:
أنا أرى أن الانتخابات واجبة, يجب أن نعين من نرى أن فيه خيراً, لأنه إذا
تقاعس أهل الخير, من يحل محلهم؟ أهل الشر, أو الناس السلبيون الذين ليس
عندهم لا خير ولا شر, أتباع كل ناعق, فلابد أن نختار من نراه صالحاً.
فإذا
قال قائل: اخترنا واحداً لكن أغلب المجلس على خلاف ذلك, نقول: لا بأس, هذا
الواحد إذا جعل الله فيه بركة وألقى كلمة الحق في هذا المجلس سيكون لها
تأثير ولابد, لكن ينقصنا الصدق مع الله, نعتمد على الأمور المادية الحسية
ولا ننظر إلى كلمة الله عز وجل. ماذا تقول في موسى عليه السلام عندما طلب
منه فرعون موعداً ليأتي بالسحرة كلهم, واعده موسى ضحى يوم الزينة – يوم
الزينة هو: يوم العيد؛ لأن الناس يتزينون يوم العيد- في رابعة النهار وليس
في الليل, في مكان مستوٍ, فاجتمع العالم، فقال لهم موسى عليه الصلاة
والسلام: وَيْلَكُمْ لا تَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ كَذِباً فَيُسْحِتَكُمْ
بِعَذَابٍ وَقَدْ خَابَ مَنِ افْتَرَى [طه:61]، كلمة واحدة صارت قنبلة, قال
الله عز وجل: فَتَنَازَعُوا أَمْرَهُمْ بَيْنَهُمْ [طه:62]… من وقت ما قال
الكلمة هذه تنازعوا أمرهم بينهم, وإذا تنازع الناس فهو فشل, كما قال الله
عز وجل: وَلا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا [الأنفال:46]… والنتيجة أن هؤلاء
السحرة الذين جاءوا ليضادوا موسى صاروا معه, أُلقوا سجداً لله, وأعلنوا:
آمَنَّا بِرَبِّ هَارُونَ وَمُوسَى [طه:70] وفرعون أمامهم, أثرت كلمة الحق،
من واحد أمام أمة عظيمة، زعيمها أعتى واحد.
فأقول: حتى لو فرض أن مجلس البرلمان ليس فيه إلا عدد قليل من أهل الحق والصواب سينفعون, لكن عليهم أن يصدقوا الله عز وجل.
أما القول: إن البرلمان لا يجوز ولا مشاركة الفاسقين, ولا الجلوس معهم, هل نقول: نجلس معهم لنوافقهم؟ نجلس معهم لنبين لهم الصواب.
بعض
الإخوان من أهل العلم قالوا: لا تجوز المشاركة, لأن هذا الرجل المستقيم
يجلس إلى الرجل المنحرف, هل هذا الرجل المستقيم جلس لينحرف؟! أم ليقيم
المعوج؟! نعم ليقيم المعوج, ويعدل منه, إذا لم ينجح هذه المرة, نجح في
المرة الثانية.
السائل: … الانتخابات الفرعية القبلية يا شيخ!
الشيخ: كله واحد أبداً, رشّح من تراه خَيِّرَاً، وتوكل على الله.
Pertanyaan:
Wahai syeikh, apa hukum pemilu yang ada di Negara Kuwait, padahal
diketahui; mayoritas orang pergerakan islam dan para da’i yang masuk ke
dalamnya, agamanya menjadi rusak? Lalu apa hukum pemilihan ketua kabilah
yang ada di sana?
Jawaban: Saya melihat, (mengikuti) pemilu itu wajib, kita wajib
menunjuk orang yang kita lihat ada kebaikan padanya, karena bila
orang-orang yang baik pada mundur, siapa yang akan menempati tempat
mereka? (tentu saja) orang-orang yang buruk, atau orang-orang ‘pasif’
yang tidak memiliki kebaikan atau keburukan, pembeo setiap orang yang
berteriak (mengajaknya), maka kita wajib memilih orang yang kita nilai saleh.
Jika ada yang mengatakan: Kita memilih satu (orang saleh), padahal mayoritas anggota majlis bertentangan dengan keadaannya.
Kita
katakan: Tidak masalah, satu orang ini, jika Allah memberikan
keberkahan padanya, dan menyampaikan ‘pesan kebenaran’ dalam majlis ini,
itu akan mempunyai pengaruh, dan itu keniscayaan. Tapi (masalahnya)
kita kurang tulus terhadap Allah, kita menyandarkan diri pada hal-hal
yang bersifat materi dan kasat mata, tapi tidak melihat kepada kalimat
Allah azza wajall.
Lihatlah tindakan Nabi Musa -alaihissalam-
ketika Fir’aun meminta kepadanya ‘waktu janjian’ agar dia bisa
mendatangkan semua tukang sihir, Nabi Musa memberikan ‘waktu janjian’,
yaitu: waktu dhuha pada hari raya (mereka), di siang bolong, di tempat
yang lapang. Maka seluruh manusia pun berkumpul, lalu Nabi Musa -alaihissalam-
mengatakan kepada mereka: “Celakalah kalian, janganlah kalian berdusta
atas nama Allah, sehingga Dia membinasakan kalian dengan azab, dan pasti
merugi orang yang berdusta (atas namaNya)”. Satu kalimat yang bisa
menjadi ‘bom’. Allah mengatakan setelah itu: “Maka mereka pun saling
berselisih dalam urusan mereka, tapi mereka merahasiakan percakapan
mereka”… Dari sejak Nabi Musa mengucapkan kalimat itu, mereka saling
berselisih dalam urusan mereka, dan bila orang-orang telah berselisih,
maka itu kelemahan, sebagaimana Allah ta’ala berfirman: “Janganlah
kalian saling berselisih, sehingga kalian menjadi lemah”… Dan hasilnya,
para tukang sihir yang datang untuk melawan Musa, malah menjadi
bersamanya, mereka menyungkur sujud kepada Allah, dan mengumumkan: “Kami
telah beriman kepada Rabb Harun dan Musa”, padahal Fir’aun di hadapan
mereka. Pesan kebenaran telah mempengaruhi mereka, dari satu orang, di
hadapan umat manusia yang banyak, dan pemimpinya orang yang paling
angkuh.
Oleh
karena itu, saya katakan; walaupun bila di majlis parlemen hanya ada
sedikit pengikut kebenaran, mereka akan memberikan manfaat, tapi mereka
harus tulus kepada Allah ta’ala.
Adapun
perkataan bahwa parlemen itu tidak dibolehkan, begitu pula bergabung
dengan orang-orang fasik dan duduk bersama mereka, (maka) apakah kita
mengatakan boleh duduk dengan mereka untuk menyetujui mereka?! Kita
duduk bersama mereka untuk menjelaskan kebenaran kepada mereka.
Sebagian
saudara kita dari ulama mengatakan: “Tidak boleh bergabung (dengan
mereka di majlis), karena orang yang lurus tersebut akan duduk bersama
orang yang menyimpang”. (maka kita katakan), apakah orang yang lurus
tersebut duduk untuk menyimpang, atau untuk meluruskan yang bengkok?
Tentu untuk meluruskan yang bengkok dan mengubahnya. Jika dia tidak
berhasil pada kali pertama, tentu ia akan berhasil pada kali kedua.
Penanya: … Wahai Syeikh, bagaimana dengan pemilihan ketua kabilah?
Syeikh: Semuanya sama, calonkan siapa yang kamu anggap orang baik, dan bertawakkallah kepada Allah!
السؤال: فضيلة الشيخ , سائل يقول : هل أفتيتم بجواز الانتخابات ؟ وما حكمها؟ .
الجواب:
نعم أفتينا بذلك– ولا بد من هذا – لأنه إذا فُقِدَ صوت المسلمين ؛ معناه :
تَمَحُّض المجلس لأهل الشر , وإذا شارك المسلمون في الانتخابات ؛ انتخبوا
من يرون أنهم أهل لذلك , فيحصل بهذا خير وبركة”.
وقال
الشيخ أحمد بن عبد الرحمن القاضي: سألت شيخنا رحمه الله :عن المسلمين في
أمريكا، هل يشاركون في الانتخابات التي تجري في الولايات لصالح مرشح يؤيد
مصالح المسلمين ؟. فأجاب بالموافقة ، دون تردد” .
Pertanyaan: Syeikh yang terhormat, ada yang bertanya: Apakah Anda telah memfatwakan bolehnya pemilu? Apa hukumnya?
Jawaban: Ya, memang saya telah memfatwakan itu, dan ini sebuah keharusan,
karena bila suara Kaum Muslimin hilang, artinya; majlis akan murni
menjadi milik pelaku keburukan, (berbeda) bila Kaum Muslimin ikut serta
dalam pemilu, mereka akan memilih orang yang mereka lihat pantas dengan
hal tersebut, sehingga akan timbul kebaikan dan keberkahan. [Kitab
As'ilah Qotoriyah, hal: 34]
Syeikh Ahmad bin Abdurrohman al-Qodli mengatakan: Aku telah bertanya kepada Syeikh kami (yakni Syeikh Utsaimin) -rohimahulloh-
tentang Kaum Muslimin di Amerika, apakah mereka boleh mengikuti pemilu
yang berjalan di beberapa wilayah (Negara tersebut) untuk mendukung
calon yang mendukung kepentingan Kaum Muslimin?, maka beliau menjawabnya
dengan persetujuan, tanpa ada keraguan (sedikit pun). [Kitab Tsamarotut
Tadwin, masalah no: 593, tertanggal 29/6/1420 H]
=========================================
Kelima: Fatwa Syeikh Abdul Aziz Alusy Syeikh -hafizhohulloh- (Mufti Saudi sekarang).
السائل: قلتَ قبل قليل إن الانتخابات العراقية يجب على أهل السنة المشاركة فيها؟
الشيخ:
… أن أهل السنة والجماعة، أهل الخير والأفكار السليمة والنوايا الصادقة،
إذا تقوقعوا في بيوتهم وتركوا الأمور يلعب بها من شاء ما استفادوا شيئا.
الإنسان لا يدخل على أنه سيحقق كل شيء، أو أنه سيغلب, وإنما يدخل على أنه
سيساهم في الخير جهده، ورحم الله من نصر الإسلام ولو بشق كلمة. مسلم واحد
صادق قد يقف أمام آلاف من غير الصادقين؛ القضية ترجع إلى النية الصالحة،
وإذا كان هدفه الإصلاح ويعلم الله منه, أنه ما دخل إلا ليصلح ويحسن الوضع
ويسدد؛ فمعه توفيق الله.
أما
ما سوى ذلك فلا ينبغي أن يكون عائقا؛ ونقول: خلاص هؤلاء موجودون ما يسوون
شيئا, لا, نحن نشارك ونساهم في الخير ونسعى جهدنا في أن نحقق انتخابا
سليما، وأن يكون لأهل الخير والصلاح والنوايا الصادقة والأفكار الطيبة؛
وجود، حتى لا يفسحوا المجال لغيرهم. فإذا تخلوا وفسحوا المجال لغيرهم؛ لم
يستطيعوا أن يمسكوا بالأمور بل سيضيعون وسيُهمّشون، ولن يكون لهم أي صوت
معروف.
السائل: طيب توضيح بسيط يا شيخ؛ هذه الانتخابات تجري في ظل الاحتلال، والأمريكان موجودون؟
الشيخ: أنا لم أقل أن من دخل سيقلب الموازين؛ أنا أقول أهل الخير بنواياهم الصادقة إذا دخلوا سيكون لهم نصيب بتوفيق من الله.
ادخل
وساهم في الخير، وكم من فئة قليلة غلبت فئة كثيرة بإذن الله. المسلم
الصادق بنيته وعزيمته يجعل الله له تأييدا ومحبة في القلوب, ويصلح الأخطاء
ويساهم في الخير، وليس المهم أن أصلح كل الأشياء؛ لكن أسعى في الخير جهدي؛
فإذا توافرت الجهود من هنا وهنا وهنا؛ نفع الله بذلك.
السائل: طيب يا شيخ؛ هم لهم أربع سنوات؛ ما غيروا شيئا؟ أليس الأفضل أن يجلسوا في بيوتهم ولا ينصب على رقابهم الروافض؟
الشيخ:
أرجو أن لا تنظر إلى هذه الأمور, انظر إلى النوايا الطيبة، والمستقبل
الزاهر، إن شاء الله؛ اجعل القصد والهدف هو؛ أن هذا الإنسان دخل لعل صوته
يكون له شأن, ينفع الله به ويزاحم غيره… المسلم يدعو إلى الله على قدر
استطاعته وعلى قدر جهده؛ تحقق الأمر أو لم يتحقق. المهم أن يعلم الله منه
أنه سعى في الخير جهده، سعى ليحقق أملا، وإذا صلحت نيته؛ فبنيته وقصده يبلغ
المسلم مبالغ عظيمة، والله لا يضيع أجر من أحسن عملا.
Penanya: Belum lama tadi Anda mengatakan, bahwa wajib bagi Ahlussunnah mengikuti pemilu di Negara Irak?
Syeikh:
Sungguh, bila Ahlussunnah -pemilik kebaikan, yang berpikiran lurus, dan
punya niat tulus-, bila mereka mengeram (berdiam) di rumah-rumah mereka
dan membiarkan segala urusan dipermainkan oleh siapa saja yang
menghendaki, tentu mereka tidak akan mendapatkan keuntungan apa-apa.
Seseorang
tidaklah masuk (pemilu) untuk mewujudkan segala sesuatu atau dia harus
menang, tapi dia masuk itu untuk menyumbangkan usaha perbaikan, dan
Allah merahmati orang yang memperjuangkan Islam, meski hanya dengan
sepatah kata. Satu muslim yang tulus terkadang mampu berdiri di hadapan
ribuan orang yang tidak tulus.
Masalahnya
kembali kepada niat yang baik, jika tujuannya memperbaiki (keadaan) dan
Allah mengetahui hal itu padanya, bahwa ia tidak masuk kecuali untuk
memperbaiki dan meluruskan keadaan, maka taufiq Allah akan menyertainya.
Adapun
hal-hal selain itu, maka tidak sepantasnya menjadi penghalang, lalu
kita mengatakan: sudahlah mereka (Amerika cs) masih ada, mereka (yang
masuk) tidak bisa berbuat apa-apa! Tidak, kita hendaknya ikut serta dan
memberikan sumbangsih dalam kebaikan, serta berusaha mewujudkan pemilu
yang bersih.
Dan
hendaklah orang-orang yang baik dan saleh, yang memiliki niat tulus dan
pikiran yang baik itu; diakui keberadannya, sehingga mereka tidak
membuka kesempatan bagi yang lain. Tapi bila mereka meninggalkan lahan
tersebut dan memberikan kesempatan bagi yang lain, mereka tidak akan
mampu mengatur keadaan, sebaliknya mereka akan hilang dan disingkirkan,
dan tidak akan ada ‘suara yang didengar’ sedikit pun dari mereka.
Penanya:
baiklah, wahai Syeikh ada sedikit keterangan, pemilu ini berjalan di
bawah naungan penjajah, dan Amerika masih ada (di lapangan)?
Syeikh:
Saya tidak mengatakan bahwa orang yang masuk (pemilu) akan membalik
keadaan, saya mengatakan: bahwa orang-orang yang baik dengan niat-niat
mereka yang tulus, bila mereka masuk, maka dengan taufiq Allah mereka
akan mendapatkan hasil dari usahanya. Masuklah, dan berilah sumbangsih
dalam kebaikan, “Betapa banyak kelompok kecil yang dapat mengalahkan
kelompok besar dengan izin Allah”.
Allah
akan memberi seorang muslim -dengan niat dan tekadnya-; pendukung dan
kecintaan dalam hati (manusia), dia bisa memperbaiki banyak kesalahan
dan dapat memberikan sumbangsih dalam kebaikan.
Yang
penting bukanlah memperbaiki segala sesuatu, tetapi bagaimana aku
memberikan sumbangsih dalam kebaikan. Maka, apabila ada banyak usaha
(perbaikan) dari sana sini, tentu Allah akan mendatangkan banyak manfaat
dengannya.
Penanya:
Wahai Syeikh, baiklah, mereka sudah empat tahun lamanya, tapi tidak
bisa mengubah apapun! Bukankah lebih baik mereka duduk saja di
rumah-rumah mereka, dan tidak meletakkan orang-orang syiah rofidhoh di
leher-leher mereka?!
Syeikh:
Saya berharap kamu tidak usah melihat hal-hal ini, lihatlah niat-niat
yang baik dan masa depan yang gemilang, insyaAllah. Jadikanlah maksud
dan tujuan itu; bahwa orang ini masuk, mungkin saja suaranya
diperhitungkan, Allah menjadikannya bermanfaat dan dapat bersaing dengan
yang lainnya…
Seorang
muslim hendaklah berdoa kepada Allah semampunya dan sesuai dengan
usahanya, baik tujuannya tercapai ataupun tidak. Yang penting Allah
mengetahui bahwa dia telah berusaha dalam kebaikan, telah berusaha
mewujudkan keinginannya. Bila niatnya baik, maka dengan niat dan
maksudnya, seorang muslim akan sampai pada kedudukan yang agung, dan
Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang baik amalannya.
=========================================
Keenam: Syeikh Abdul Muhsin al-Abbad -hafizhohulloh- (Ahli hadits paling senior di Madinah sekarang).
السؤال:
ما قولكم في التصويت في الانتخابات مع العلم أن هناك حزبا نصرانيا سيشترك
في الانتخابات، و إذا فاز فسيكون له أثر كبير وضرر على المسلمين؟
الجواب:
إذا كان دخول المسلمين يرجح جانب الخير للمسلمين فيدخلون، وإذا كان دخولهم
لا يقدم ولا يؤخر فإنهم لا يدخلون، وإذا كان دخولهم يسهم في إبعاد من هو
شر وتحصيل من هو أقل شراً وأخفف ضرراً، حتى لو كان من الكفار أنفسهم كما في
البلاد التي فيها أقلية إسلامية, ويكون الأمر دارًا بين الكافرين؛ أحدهما
شديد الحقد على المسلمين فإذا وصل إلى السلطة أعداهم وحال بينهم وبين
القيام بعباداتهم على الذي ينبغي, والثاني ليس كذلك, متسامح مع المسلمين،
ليس عنده حقد شديد عليهم… فإذا كان الأمر بين اثنين, ودخول المسلمين يرجح
ذلك الهين على المسلمين فلهم أن يدخلوا, واذا كان دخولهم لا يقدم ولا يؤخر
فليتركوه, فدخولهم ليس لاختيار خليفةٍ, فإن هؤلاء كفار متسلطون, لكن بعض
الشر أهون من بعض وارتكاب أخف الضررين للتخلص من أشدهما مطلوب, ومعلوم أن
الله ذكر في القرآن فرح المسلمين بانتصار الروم على الفرس والاثنين كفار,
لكن لماذا يفرح المسلمون بانتصار الروم على الفرس؟ لأن هؤلاء مجوس وكفرهم
شديد وكفرهم عظيم, وأعظم الكفر ناحية المشرق كما قال رسول الله, وملك الفرس
مزق كتاب رسول الله لما جاء إليه, وأما ملك الروم احتفظ بالكتاب, ففرق بين
كافر شديد الحقد على المسلمين وكافر خفيف الضرر على المسلمين, فإذا كان
دخولهم ينفع في تحصيل من هو أخف ضررا فإنهم يدخلون, واذا كان دخولهم لا
يقدم ولا يؤخر فانهم يبتعدون.
Pertanyaan: Apa
pendapat Anda tentang menggunakan hak suara dalam pemilu, untuk
diketahui bahwa di sana ada partai nasrani yang mengikuti pemilu, dan
bila partai itu menang, dia akan memiliki pengaruh besar dan akan
berbahaya bagi Kaum Muslimin?
Jawaban:
Jika masuknya Kaum Muslimin akan menguatkan ‘sisi baik’ bagi Kaum
Muslimin, maka mereka boleh masuk, tapi bila masuknya mereka tidak
berpengaruh apa-apa, maka mereka tidak boleh masuk.
Bila
masuknya mereka dapat membantu menjauhkan orang yang buruk, dan
menempatkan orang yang keburukannya lebih sedikit atau bahayanya lebih
ringan, bahkan bila mereka dari orang-orang kafir sendiri, sebagaimana
terdapat di Negara-negara yang islamnya minoritas, dan pilihan berada di
antara dua orang kafir, yang satu sangat membenci Kaum Muslimin, dan
bila dia sampai ke tampuk kekuasaan, dia akan memusuhi mereka, dan
menghalangi mereka dari pelaksanaan amal ibadah mereka sebagaimana
mestinya, sedang yang kedua tidak demikian, dia toleran terhadap Kaum
Muslimin, tidak memiliki permusuhan yang besar dengan mereka… Jika
perkarannya berada di antara dua pilihan ini, dan masuknya Kaum Muslimin
akan menguatkan posisi si kafir yang ‘lembut’ kepada Kaum Muslimin itu,
maka mereka boleh masuk.
Tapi
bila masuknya mereka tidak berpengaruh apa-apa maka hendaklah mereka
meninggalkannya, karena masuknya mereka bukanlah untuk memilih kholifah,
karena mereka semua orang-orang kafir yang menguasai mereka, tapi
sebagian keburukan lebih ringan dari sebagian yang lain, dan mengambil
bahaya yang lebih ringan agar selamat dari bahaya yang lebih besar itu
merupakan tuntutan.
Telah
maklum bahwa Allah menyebutkan dalam Alquran; kegembiraan Kaum Muslimin
dengan kemenangan Romawi atas Persia, padahal dua-duanya kafir, tapi
mengapa Kaum Muslimin bergembira dengan menangnya Romawi atas Persia?
Karena Persia adalah kaum majusi dan kekufuran mereka itu parah dan
dahsyat, dan sebagaimana sabda Rosul: “Kekufuran yang paling dahsyat
adalah kekufuran yang ada di (belahan bumi) bagian timur”, Raja Persia
merobek surat Rosulullah yang sampai kepadanya, adapun Raja Romawi, ia
menjaga surat (beliau yang sampai kepadanya).
Maka
(jelas) berbeda antara orang kafir yang sangat membenci Kaum Muslimin
dan orang kafir yang ringan bahayanya terhadap Kaum Muslimin.
Maka
jika masuknya mereka dapat menempatkan orang yang bahayanya lebih
ringan, maka mereka boleh masuk, tapi jika masuknya mereka tidak
berpengaruh apa-apa, maka hendaknya mereka menjauhinya.
السؤال: هل المشاركة في الانتخابات من تغيير المنكر باليد، حيث إن الإنسان يختار الرجل الصالح ليكون حاكماً؟.
الجواب:
هذه الانتخابات ليست من الطرق الشرعية، وإنما هي من الطرق الوافدة على
المسلمين من أعدائهم، والحكم فيها للغلبة ولو كانت الأغلبية من أفسد الناس،
أو كان الذي ينتخبونه من أفسد الناس؛ لأنهم ينتخبون واحداً منهم، والحكم
للغلبة، وحيث يكون الغلبة أشراراً فإنهم سيختارون شريراً منهم. والدخول في
الانتخابات إذا لم يحصل من ورائه فائدة ومصلحة فلا يصلح .
ولكن
إذا كان سيترتب عليه مصلحة من أن الأمر يدور بين شخصين أحدهما سيء والثاني
حسن، ولو لم يشارك في تأييد جانب ذلك الحسن فإنه تغلب كفة ذلك السيئ، فإنه
لا بأس بالمشاركة من أجل تحصيل تلك المصلحة ودفع المضرة. بل لو كان الأمر
يدور بين شخصين أحدهما شرير والثاني دونه في الشر كما يحصل في بعض البلاد
التي فيها أقليات إسلامية والحكم فيها للكفار، فإذا صار الأمر يدور بين
كافرين أحدهما شديد الحقد على المسلمين, وشديد المعاداة لهم، ويضيق عليهم،
ولا يمكنهم من أداء شعائرهم، والثاني مسالم، ومتعاطف مع المسلمين، وليس
عنده الحقد الشديد عليهم، فلا شك أن ترجيح جانب من يكون خفيفاً على
المسلمين أولى من ترك الأمر بحيث يتغلب ذلك الكافر الشديد الحقد على
المسلمين. ومعلوم أنه جاء في القرآن أن المسلمين يفرحون بانتصار الروم على
الفرس، وهم كفار كلهم، لكن هؤلاء أخف؛ لأن هؤلاء ينتمون إلى دين، وأولئك
يعبدون الأوثان ولا ينتمون إلى دين، وإن كان الجميع كفاراً، لكن بعض الشر
أهون من بعض. ومن قواعد الشريعة ارتكاب أخف الضررين في سبيل التخلص من
أشدهما، فإذا ارتكب أخف الضررين في سبيل التخلص من أشدهما فإن هذا أمر
مطلوب… والحاصل: أن الدخول في الانتخابات ليس على إطلاقه، والأصل ألا يدخل
فيها إلا إذا حصل في الدخول مصلحة بأن كان الأمر دائراً بين شرير وطيب، أو
بين شريرين أحدهما أخف من الآخر، وكان ترك المشاركة يؤدي إلى تغلب من هو
أخبث وأشد؛ ففي هذه الحالة لا بأس بذلك من أجل ارتكاب أخف الضررين في سبيل
التخلص من أشدهما”. [شرحه على سنن أبي داود, ش 488]
Pertanyaan:
Apakah ikut serta dalam pemilu termasuk dalam kategori merubah
kemungkaran dengan ‘tangan’, karena seseorang bisa memilih orang yang
saleh agar menjadi penguasa?
Jawaban:
Pemilu ini bukanlah cara yang sesuai syariat, tapi ia merupakan cara
yang menyusup kepada Kaum Muslimin dari musuh mereka, dan keputusan di
dalamnya tergantung pada mayoritas, walaupun mayoritasnya dari orang
yang paling rusak, atau orang yang memilihnya dari orang yang paling
rusak, karena mereka memilih salah seorang dari mereka dan keputusan
milik suara terbanyak, dan ketika yang terbanyak adalah orang-orang
buruk, maka mereka akan memilih salah seorang yang buruk dari mereka
itu.
Dan
masuk dalam pemilu, jika tidak mendatangkan kebaikan dan kemaslahatan,
maka itu tidak pantas (dilakukan). Tapi apabila (langkah masuk dalam
pemilu itu) akan mendatangkan maslahat karena perkaranya berada di
antara dua orang, yang satu buruk, sedang yang kedua baik, dan jika dia
tidak ‘ikut serta’ dalam mendukung pihak orang yang baik itu, maka
posisi orang yang buruk itu akan kuat, maka tidak mengapa ‘ikut serta’
untuk meraih maslahat itu dan menolak mudhorotnya.
Bahkan
ketika perkaranya berada di antara dua orang, yang satu buruk, sedang
yang lain lebih ‘mending’ keburukannya, sebagaima terjadi di sebagian
Negara yang islamnya minoritas dan kekuasaan ditangan orang-orang kafir.
Bila perkaranya berada di antara dua orang kafir, yang satu sangat
membenci Kaum Muslimin, sangat memusuhi mereka, menindas mereka, dan
tidak mengijinkan mereka melaksanakan syiar-syiar agama mereka, sedang
yang kedua bersikap damai, simpati kepada Kaum Muslimin, dan dia tidak
punya kebencian yang besar kepada mereka, maka tidak diragukan lagi
menguatkan pihak orang yang ‘ringan’ (toleran) terhadap Kaum Muslimin,
itu lebih baik daripada urusan ini (sama sekali), sehingga menyebabkan
orang kafir yang sangat membenci Kaum Muslimin itu bisa menang (dalam
pemilu).
Dan
sebagaimana diketahui, telah disebutkan dalam Alqur’an; bahwa Kaum
Muslimin bergembira dengan kemenangan Romawi atas Persia, padahal mereka
semua kafir, tapi Romawi lebih ringan, karena mereka masih berafiliasi
kepada agama (samawi), adapun Persia mereka menyembah berhala dan tidak
berafiliase kepada agama, meskipun semuanya kafir, tapi sebagian
keburukan lebih ringan dari keburukan yang lainnya, dan termasuk dalam
kaidah syariat; “bahaya yang lebih ringan (harus)
diambil sebagai jalan untuk selamat dari bahaya yang lebih besar”, dan
apabila bahaya yang lebih ringan telah diambil agar selamat dari bahaya
yang lebih besar, maka inilah yang diinginkan…
Intinya;
hukum masuk dalam pemilu tidak mutlak adanya. Pada asalnya seseorang
tidak boleh masuk di dalamnya, kecuali bila ada maslahat dalam
memasukinya, (misalnya) bila perkaranya berada di antara orang yang
buruk dengan orang yang baik, atau di antara dua orang yang sama-sama
buruk, namun yang satu lebih ‘mending’ dari yang lainnya, dan
meninggalkan keikutsertaan (dalam pemilu) akan memenangkan orang yang
lebih buruk dan lebih parah, maka dalam keadaan seperti ini, tidak
mengapa mengambil langkah mengikuti pemilu, karena alasan “mengambil
bahaya yang lebih ringan sebagai jalan agar selamat dari bahaya yang
lebih besar”. [Syarah Sunan Abi Dawud, kaset no: 488]
=========================================
Ketujuh: Fatwa Majma’ Fikih Islami (Akademi Fikih Islam).
وبعد الاستماع إلى ما عرض من أبحاث، وما جرى حولها من مناقشات، ومداولات، قرر المجلس ما يلي:
1.
مشاركة المسلم في الانتخابات مع غير المسلمين في البلاد غير الإسلامية من
مسائل السياسة الشرعية التي يتقرر الحكم فيها في ضوء الموازنة بين المصالح
والمفاسد، والفتوى فيها تختلف باختلاف الأزمنة والأمكنة والأحوال.
2.
يجوز للمسلم الذي يتمتع بحقوق المواطنة في بلد غير مسلم المشاركة في
الانتخابات النيابية ونحوها لغلبة ما تعود به مشاركته من المصالح الراجحة،
مثل تقديم الصورة الصحيحة عن الإسلام، والدفاع عن قضايا المسلمين في بلده،
وتحصيل مكتسبات الأقليات الدينية والدنيوية، وتعزيز دورهم في مواقع
التأثير، والتعاون مع أهل الاعتدال والإنصاف لتحقيق التعاون القائم على
الحق والعدل، وذلك وفق الضوابط الآتية:
أولاً: أن يقصد المشارك من المسلمين بمشاركته الإسهام في تحصيل مصالح المسلمين، ودرء المفاسد والأضرار عنهم.
ثانياً:
أن يغلب على ظن المشاركين من المسلمين أن مشاركتهم تفضي إلى آثار إيجابية،
تعود بالفائدة على المسلمين في هذه البلاد؛ من تعزيز مركزهم، وإيصال
مطالبهم إلى أصحاب القرار، ومديري دفة الحكم، والحفاظ على مصالحهم الدينية
والدنيوية.
ثالثاً: ألا يترتب على مشاركة المسلم في هذه الانتخابات ما يؤدي إلى تفريطه في دينه.
Setelah mendengarkan bahts-bahts
yang diajukan, beserta perdebatan dan diskusi yang mengirinya, maka
majlis (Majma’ Fiqh Islami) menetapkan keputusan berikut ini:
1. Keikut-sertaan seorang muslim dengan non muslim dalam pemilu di Negara-negara non muslim; termasuk dalam siyasah syar’iyyah,
yang hukumnya diputuskan berdasarkan timbangan maslahat dan mafsadat,
dan fatwa tentang hal itu bisa berbeda karena perbedaan waktu, tempat,
dan keadaan.
2.
Seorang muslim yang dapat menikmati hak kewarga-negaraan di negara non
muslim boleh mengikuti pemilihan parlemen atau yang semisalnya, karena
besarnya kemungkinan adanya maslahat kuat yang akan dihasilkan dari
keikutsertaannya itu, seperti menampakkan gambaran yang benar tentang
Islam, pembelaan terhadap masalah-masalah Kaum Muslimin di negaranya,
mengadakan lapangan kerja bagi kaum minoritas baik dari sisi agama
maupun dunia, menguatkan usaha mereka di posisi-posisi yang berpengaruh,
dan bekerjasama dengan orang-orang yang moderat dan obyektif untuk
mewujudkan kerjasama yang tegak di atas kebenaran dan keadilan. Dan hal
itu ditetapkan berdasarkan batasan-batasan berikut ini:
Pertama:
Seorang muslim yang mengikuti pemilihan tersebut, meniatkan
keikut-sertaannya itu untuk memberikan sumbangsih dalam mewujudkan
maslahat-maslahat bagi Kaum Muslimin dan menolak mafsadat dan
bahaya-bahaya dari mereka.
Kedua:
Dia melihat keikut-sertaannya itu memiliki kemungkinan besar akan
mendatangkan pengaruh-pengaruh yang baik bagi kaum muslimin di Negara
tersebut, seperti menguatkan posisi mereka, menyampaikan tuntutan mereka
kepada para pembuat keputusan dan para pembuat undang-undang, dan
menjaga kepentingan-kepentingan Kaum Muslimin baik dari sisi agama
maupun dunia.
Ketiga: Keikut-sertaan dalam pemilu tersebut tidak menyebabkan kemerosotan dalam hal agama pada dirinya.
[Fatwa Majma’ Fikih Islami, yang dilangsungkan di Makkah, tertanggal 26 Syawwal 1422 H, bertepatan dengan 8 Nopember 2007]
=========================================
*****
Inilah fatwa-fatwa dari para ulama tersebut, yang bisa penulis simpulkan dalam poin-poin berikut ini:
1. Para ulama tersebut sepakat bahwa pemilu dalam sistem demokrasi, tidak sesuai dengan Syariat Islam.
Oleh karenanya, tidak pas bila ada orang membantah fatwa-fatwa di atas
dengan dalil bahwa sistem pemilihannya tidak islami, karena semua ulama
tersebut sepakat dengan hal itu.
2. Seorang muslim diwajibkan
mengikuti pemilu, karena maslahat mengikutinya lebih besar daripada
madhorotnya, atau madhorot meninggalkannya lebih besar daripada
maslahatnya.
Dari sini, kita bisa memahami, bahwa kebaikan bukanlah hanya pada sesuatu yang 100 persen baik, tapi cukuplah dikategorikan sebagai kebaikan;
bila kebaikannya lebih besar dari keburukannya, sebagaimana masalah di
atas, yakni: memperjuangkan kepentingan Kaum Muslimin dengan mengikuti
pemilu.
Contoh
dalam Syariat Islam, seperti: hukum rajam, potong tangan, qishosh,
hajr, haramnya maisir dan khomr, dll… meskipun dalam syariat-syariat
tersebut ada sisi negatifnya, namun kebaikan yang ditimbulkan jauh lebih
besar dan lebih luas pengaruhnya, sehingga keburukannya dianggap tidak
ada sama-sekali.
3. Fatwa tentang wajibnya menyumbangkan suara dalam pemilu, tidak melazimkan fatwa tentang bolehnya masuk parlemen, sebagaimana dikemukakan oleh Syeikh Albani -rohimahulloh-. Adapun fatwa bolehnya masuk parlemen, melazimkan bolehnya menyumbangkan suara dalam pemilu, sebagaimana dijelaskan dalam fatwa-fatwa di atas (selain fatwa Syeikh Albani).
4. Bila orang-orang yang baik
tidak mengisi posisi-posisi penting, maka tentu akan diisi oleh
orang-orang selain mereka. Dan ini sesuatu yang tidak bisa dipungkiri
oleh akal sehat.
5.
Banyak orang yang melarang mengikuti pemilu berdalil; bahwa telah lama
ada Kaum Muslimin masuk dalam pemilu, namun mereka tidak berhasil
mengubah keadaan.
Tentu ini dalil yang tidak pas, karena keberhasilan tidak harus berupa “mewujudkan maslahat 100 persen”, tapi bisa juga berupa “mewujudkan
sebagian maslahat”, atau “menolak mafsadat”, atau bahkan hanya
“mengurangi mafsadat”. Dan tentunya hal ini telah ada dan tidak mungkin
dipungkiri adanya.
Belum
lagi, usaha seseorang tidak harus menunjukkan hasilnya dalam waktu
dekat, tapi bisa juga usaha tersebut baru tampak hasilnya setelah dia
lama meninggal.
Sekian tulisan ini, wallohu ta’ala a’lam. Semoga bermanfaat bagi penulis dan Kaum Muslimin, amin.
Kota Nabi (Madinah), 6 Rabi’ul Awal 1435 H, 7 Januari 2014 M.
http://addariny.wordpress.com/2014/01/08/tentang-memberikan-suara-di-pemilu-2/
Langganan:
Postingan (Atom)