Indonesia dinilai masih menjadi sasaran favorit
beras selundupan asal Vietnam dan Thailand. Potensi penyelundupan beras ke
dalam negeri tahun ini diperkirakan akan lebih besar bila dibandingkan tahun
sebelumnya. Pemicunya, produsen beras utama di dunia seperti India, Thailand,
dan Vietnam sedang surplus beras.
Pengamat pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia Khudori mengungkapkan Indonesia menjadi target pasar beras ketiga negara tersebut. "Proses penyelundupan sangat mungkin terjadi. Apalagi ketiga negara yaitu India, Vietnam dan Thailand sedang mengalami surplus beras," kata Khudori, Jumat (7/3).
Ia mencatat Vietnam di tahun 2013 lalu mengalami surplus beras sebesar 6,68 juta ton dari total produksi sebanyak 43,4 juta ton. Bahkan Badan Pangan Dunia (FAO) memprediksi jumlah surplus beras Vietnam tahun ini bisa mencapai 7 juta ton. Selain itu, jumlah pasokan persediaan beras di Thailand jauh lebih besar dari Vietnam. Thailand masih mempunyai stok 14,7 juta ton beras.
Sedangkan India produksi beras di tahun 2013 mencapai 105 juta ton atau hingga bulan November 2013 masih surplus sebesar 9,5 juta ton. "Impor beras Indonesia tetap besar meskipun produksi beras kita kan masih surplus," imbuhnya.
Sedangkan bila dilihat dari harga, beras impor jauh lebih murah bila dibandingkan dengan harga beras lokal. Salah satu negara yang memberikan harga beras sangat murah adalah Thailand. Menurutnya berdasarkan data FAO, harga beras patah 5% Thailand tercatat senilai US$ 449 per ton pada Januari 2014 ini atau, turun 25% dari Januari 2013.
Hal itu adalah dampak dari pemerintah Thailand yang memberikan paket subsidi pertanian sebesar US$ 20 miliar sejak tahun 2011. Program ini juga yang memicu penumpukan persediaan beras hingga mencapai 14,7 juta ton tahun ini dari 6,1 juta ton pada 2010. "Ada sebuah subsidi pertanian yang diberikan pemerintah Thailand sehingga harga beras jauh lebih murah dibandingkan harga beras lokal di kita," jelasnya.
Selain karena surplus beras dai kedua negara itu, penegakan hukum di Indonesia sendiri atas dugaan masuknya beras impor sangat lemah. Buktinya, investigasi Kementerian Perdagangan terkait adanya dugaan beras impor ilegal asal Vietnam beberapa waktul lalu berakhir antiklimaks.
Pengamat pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia Khudori mengungkapkan Indonesia menjadi target pasar beras ketiga negara tersebut. "Proses penyelundupan sangat mungkin terjadi. Apalagi ketiga negara yaitu India, Vietnam dan Thailand sedang mengalami surplus beras," kata Khudori, Jumat (7/3).
Ia mencatat Vietnam di tahun 2013 lalu mengalami surplus beras sebesar 6,68 juta ton dari total produksi sebanyak 43,4 juta ton. Bahkan Badan Pangan Dunia (FAO) memprediksi jumlah surplus beras Vietnam tahun ini bisa mencapai 7 juta ton. Selain itu, jumlah pasokan persediaan beras di Thailand jauh lebih besar dari Vietnam. Thailand masih mempunyai stok 14,7 juta ton beras.
Sedangkan India produksi beras di tahun 2013 mencapai 105 juta ton atau hingga bulan November 2013 masih surplus sebesar 9,5 juta ton. "Impor beras Indonesia tetap besar meskipun produksi beras kita kan masih surplus," imbuhnya.
Sedangkan bila dilihat dari harga, beras impor jauh lebih murah bila dibandingkan dengan harga beras lokal. Salah satu negara yang memberikan harga beras sangat murah adalah Thailand. Menurutnya berdasarkan data FAO, harga beras patah 5% Thailand tercatat senilai US$ 449 per ton pada Januari 2014 ini atau, turun 25% dari Januari 2013.
Hal itu adalah dampak dari pemerintah Thailand yang memberikan paket subsidi pertanian sebesar US$ 20 miliar sejak tahun 2011. Program ini juga yang memicu penumpukan persediaan beras hingga mencapai 14,7 juta ton tahun ini dari 6,1 juta ton pada 2010. "Ada sebuah subsidi pertanian yang diberikan pemerintah Thailand sehingga harga beras jauh lebih murah dibandingkan harga beras lokal di kita," jelasnya.
Selain karena surplus beras dai kedua negara itu, penegakan hukum di Indonesia sendiri atas dugaan masuknya beras impor sangat lemah. Buktinya, investigasi Kementerian Perdagangan terkait adanya dugaan beras impor ilegal asal Vietnam beberapa waktul lalu berakhir antiklimaks.
Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi
mengatakan dari hasil pengujian sampel beras yang diduga ilegal itu
menunjukkan, beras yang dilaporkan oleh pedagang beras di Pasar Induk Cipinang
itu adalah beras premium. Dengan demikian beras tersebut dinyatakan legal
sesuai aturan.
Bayu mengatakan pengujian dilakukan di tiga laboratorium yaitu laboratorium perusahaan surveyor Sucofindo, laboratorium Kemendag di Ciracas, dan juga pengujian oleh para ahli dari IPB. Hingga hari ini, pengujian telah rampung dilakukan oleh Sucofindo dan Kemendag, namun pengujian oleh panel ahli belum dilakukan.
Dari hasil uji lab yang dilakukan oleh Sucofindo dan Kemendag, ternyata sampel beras Vietnam yang dilaporkan oleh pedagang beras Cipinang sebagai beras medium (beras umum) adalah beras premium. "Jadi hasil pengujian menunjukkan kalau ini beras premium," ungkap Bayu beberapa waktu lalu.
Berdasarkan kriteria SNI (Standard Nasional Indonesia) Nomor 61282008, yang disebut beras premium adalah sebagai berikut:
* Derajat sosoh beras 100%, hasil pengujian 100%
* Kadar air maksimal 14%, hasil pengujian 13,2%
* Butir kepala minimal 95%, hasil pengujian 97,15%
* Butir patah maksimal 5%, hasil pengujian 2,29%
* Butir menir maksimal 0%, hasil pengujian 0,46%
"Itu 5 indikator paling utama (beras premium), jadi satu-satunya yang berbeda sedikit dari standar adalah butir menir karena mungkin sudah lama disimpan," imbuhnya.
Bayu menjelaskan. Berdasarkan hasil uji laboratorium itu, Kemendag menyimpulkan bahwa tidak terjadi pelanggaran dalam importasi beras tersebut. "Intinya hasil riset ini adalah beras premium bukan beras medium. Semua terbuki dan kita sudah tunjukkan dokumen tidak ada pelanggaran di dalam mekanisme importasi produk ini. Ini uji laboratorium yang kedua tinggal para ahli yang belum melakukan. Hasil penelitian Sucofindo hampir sama dengan kita," jelas Bayu.
Hanya saja hasil penelitian itu tetap menimbulkan pertanyaan. Sebab diketahui di lapangan harga beras premium asal Vietnam ternyata lebih murah Rp 500 bahkan Rp 1000/Kg dari beras sejenis produk beras medium lokal.
Bayu mengatakan pengujian dilakukan di tiga laboratorium yaitu laboratorium perusahaan surveyor Sucofindo, laboratorium Kemendag di Ciracas, dan juga pengujian oleh para ahli dari IPB. Hingga hari ini, pengujian telah rampung dilakukan oleh Sucofindo dan Kemendag, namun pengujian oleh panel ahli belum dilakukan.
Dari hasil uji lab yang dilakukan oleh Sucofindo dan Kemendag, ternyata sampel beras Vietnam yang dilaporkan oleh pedagang beras Cipinang sebagai beras medium (beras umum) adalah beras premium. "Jadi hasil pengujian menunjukkan kalau ini beras premium," ungkap Bayu beberapa waktu lalu.
Berdasarkan kriteria SNI (Standard Nasional Indonesia) Nomor 61282008, yang disebut beras premium adalah sebagai berikut:
* Derajat sosoh beras 100%, hasil pengujian 100%
* Kadar air maksimal 14%, hasil pengujian 13,2%
* Butir kepala minimal 95%, hasil pengujian 97,15%
* Butir patah maksimal 5%, hasil pengujian 2,29%
* Butir menir maksimal 0%, hasil pengujian 0,46%
"Itu 5 indikator paling utama (beras premium), jadi satu-satunya yang berbeda sedikit dari standar adalah butir menir karena mungkin sudah lama disimpan," imbuhnya.
Bayu menjelaskan. Berdasarkan hasil uji laboratorium itu, Kemendag menyimpulkan bahwa tidak terjadi pelanggaran dalam importasi beras tersebut. "Intinya hasil riset ini adalah beras premium bukan beras medium. Semua terbuki dan kita sudah tunjukkan dokumen tidak ada pelanggaran di dalam mekanisme importasi produk ini. Ini uji laboratorium yang kedua tinggal para ahli yang belum melakukan. Hasil penelitian Sucofindo hampir sama dengan kita," jelas Bayu.
Hanya saja hasil penelitian itu tetap menimbulkan pertanyaan. Sebab diketahui di lapangan harga beras premium asal Vietnam ternyata lebih murah Rp 500 bahkan Rp 1000/Kg dari beras sejenis produk beras medium lokal.
Ketua Bidang Hortikultura Himpunan Kerukunan Tani
Indonesia (HKTI) Benny Kusbini mengatakan hasil investigasi itu merupakan
pembenaran dari ketidakbenaran. "Ini jelas-jelas menyakiti petani kita,
karena barang kita diisi oleh produk ilegal. Ini (hasil investigasi) hanya pembenaran
terhadap ketidakbenaran, jadi saya nggak percaya," tegas Benny, Rabu
kemarin.
Benny mengatakan, meskipun sudah ada uji laboratorium terhadap sampel beras Vietnam di Pasar Cipinang, namun hal itu tak menjamin fakta sesungguhnya yang terjadi. Seperti apakah sampel itu benar-benar diambil dari beras yang diduga ilegal. "Sudah banyak sering terjadi sesuatu yang dianggap salah, atau jelas barang selundupan tetapi selalu berkelit dan mencari pembenaran," katanya.
Menurut Benny, selama birokrat bisa menjual kekuasaannya untuk mendapatkan suatu keuntungan, maka kasus semacam ini bakal terus terjadi. Benny bahkan mencurigai kasus semacam ini muncul menjelang Pemilu. "Sengaja ditutupi, menjelang Pemilu ini semua calon mencari dana, bagaimana cara mencari dana. Ya itu pastilah tak bisa dipungkiri, istilahnya banyak yang tak mengaku saja yang ditangkap KPK sudah banyak," katanya.
Kasus polemik impor pangan, menurut Benny, setiap tahun selalu terulang. Ia mencontohkan, misalnya kasus impor gula, bawang merah, bawang putih, kedelai, hingga kasus terkini soal impor beras. "Sekarang ini komoditi pangan selalu bikin ribut, bandingkan dengan Orde Baru nggak ada kan," katanya.
Benny mencoba memberikan solusi kepada pemerintah agar kisruh pangan tak terus terulang, yaitu dengan mengatur importasi yang terkait bahan pangan sebaiknya diserahkan ke BUMN. Alasannya agar mudah mengontrol karena BUMN bidang pangan bisa dihitung dengan jari.
Saat ini hanya ada 3 BUMN pangan yaitu Perum Bulog, PT Berdikari, dan PT RNI dibandingkan importir umum yang jumlahnya sangat banyak. "Kuncinya serahkan kepada BUMN, bukan berarti swasta itu jelek. Kalau BUMN lebih gampang dikontrol, tak fleksibel seperti importir umum. Impor barang strategis serahkan saja kepada BUMN seperti Berdikari, Bulog," seru Benny.
http://www.gresnews.com/berita/politik/14073-indonesia-tetap-jadi-sasaran-impor-beras-ilegal/
Benny mengatakan, meskipun sudah ada uji laboratorium terhadap sampel beras Vietnam di Pasar Cipinang, namun hal itu tak menjamin fakta sesungguhnya yang terjadi. Seperti apakah sampel itu benar-benar diambil dari beras yang diduga ilegal. "Sudah banyak sering terjadi sesuatu yang dianggap salah, atau jelas barang selundupan tetapi selalu berkelit dan mencari pembenaran," katanya.
Menurut Benny, selama birokrat bisa menjual kekuasaannya untuk mendapatkan suatu keuntungan, maka kasus semacam ini bakal terus terjadi. Benny bahkan mencurigai kasus semacam ini muncul menjelang Pemilu. "Sengaja ditutupi, menjelang Pemilu ini semua calon mencari dana, bagaimana cara mencari dana. Ya itu pastilah tak bisa dipungkiri, istilahnya banyak yang tak mengaku saja yang ditangkap KPK sudah banyak," katanya.
Kasus polemik impor pangan, menurut Benny, setiap tahun selalu terulang. Ia mencontohkan, misalnya kasus impor gula, bawang merah, bawang putih, kedelai, hingga kasus terkini soal impor beras. "Sekarang ini komoditi pangan selalu bikin ribut, bandingkan dengan Orde Baru nggak ada kan," katanya.
Benny mencoba memberikan solusi kepada pemerintah agar kisruh pangan tak terus terulang, yaitu dengan mengatur importasi yang terkait bahan pangan sebaiknya diserahkan ke BUMN. Alasannya agar mudah mengontrol karena BUMN bidang pangan bisa dihitung dengan jari.
Saat ini hanya ada 3 BUMN pangan yaitu Perum Bulog, PT Berdikari, dan PT RNI dibandingkan importir umum yang jumlahnya sangat banyak. "Kuncinya serahkan kepada BUMN, bukan berarti swasta itu jelek. Kalau BUMN lebih gampang dikontrol, tak fleksibel seperti importir umum. Impor barang strategis serahkan saja kepada BUMN seperti Berdikari, Bulog," seru Benny.
http://www.gresnews.com/berita/politik/14073-indonesia-tetap-jadi-sasaran-impor-beras-ilegal/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar