Jakarta - Pada peletakan batu pertama Institut Pertanian
Bogor di tahun 1953, Bung Karno berkata, ”Pangan merupakan hidup matinya
bangsa kita.”
Hari ini, lebih dari 60 tahun kemudian,
kita masih menyaksikan negeri ini belum berjaya dalam soal pangan. Meski
Indonesia adalah negara maritim dengan luas laut yang membuat iri
negara lain, konsumsi ikan masyarakat Indonesia jauh lebih rendah
ketimbang negara seret lautan seperti Malaysia, bahkan Singapura.
Catatan
Kementerian Kelautan dan Perikanan, sepanjang 2011 lalu konsumsi ikan
Indonesia hanya 31,5 kilogram per kapita per tahun. Jauh di bawah
Malaysia dan Singapura yang mencapai 55,4 kilogram dan 37,5 kilogram per
kapita.
Tak terlihat betapa negeri ini punya garis pantai yang
88.000 km panjangnya. Negeri dengan panjang pantai terpanjang kedua di
dunia ini, kini menikmati garam yang harus diimpor sebelum bisa
melengkapi santapan kita.
Angka konsumsi daging Indonesia malah
lebih tragis, lebih kecil dibandingkan negara-negara Asia maupun Eropa.
Angka konsumsi daging warga Indonesia hanya 2 kilogram per orang per
tahun, jauh di bawah Malaysia yang mengonsumsi daging 8 kilogram per
orang per tahun. Padahal, pola konsumsi ideal manusia mensyaratkan tak
boleh kurang dari 2,9 kilogram.
Angka konsumsi susu Indonesia pun
menurut hasil survei yang dilakukan Euromonitor & Internal Tetra Pak
tahun 2011 tercatat hanya 12,8 liter per kapita per tahun. Jumlah itu
jauh di bawah Malaysia yang mencapai 50,8 liter per kapita per tahun dan
India sebanyak 47,1 liter. Bahkan dibanding negara yang baru lepas dari
Komunisme rigid seperti Vietnam, yang telah mencatatkan angka 14,3
liter.
Catatan kekurangan ini sengaja dibatasi hanya pada tiga
jenis pangan yang berkaitan erat dengan protein hewani, yang diakui
memengaruhi langsung kualitas pertumbuhan fisik dan kecerdasan manusia.
Melihat angka-angka di atas, harus diakui bahwa lebih dari setengah abad
kita merdeka, harapan para founding fathers untuk menyaksikan rakyat Indonesia yang maju, yang tak gampang diakali dan menjadi kuli bangsa lain, masih jauh dari terwujud.
Kita
bisa membuat daftar catatan yang lebih membuat miris lagi. Bersangkutan
dengan makanan, ternyata hingga saat ini kita hanyalah bangsa yang
‘meminta diberi makan’ negara lain. Bukan bangsa yang bisa berbangga dan
membusungkan dada dengan ‘memberi makan’ bangsa-bangsa lain. Kita yang
membanggakan kesuburan tanah ini sejatinya hanya pengimpor aneka bahan
makanan.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, pada tahun 2012
kita telah mengimpor beras sebanyak 1,224 juta ton beras; 6,43 juta ton
gandum; 775 ribu ton singkong; serta 1,7 juta ton kedelai. Semua yang
seharusnya bisa kita hasilkan sendiri di tanah subur yang sejak lama
diidamkan bangsa-bangsa lain ini.
Lihatlah, dari kacamata
konvensional agama, yang melihat tangan di atas lebih baik dibanding
tangan di bawah yang menadah, ternyata kita bukan bangsa yang layak
berbangga.
Sementara, harapan untuk bisa berdiri di atas kaki
sendiri, merasa bangga karena menanam, memproduksi dan memakan sendiri
hasil bumi yang kita tanam dengan tangan dan keringat bangsa sendiri
itu, bahkan kian menjauh. Data yang bisa kita pegang menegaskan,
kemandirian pangan itu kian menjadi maya dan fatamorgana.
Paling
tidak, karena warga negara yang berkhidmat pada pertanian pun kian
menyusut jumlahnya. Pada 2003 lalu Indonesia memiliki kepala keluarga
yang berkhidmat di pertanian sebanyak 31,17 juta. Sementara setahun
lalu, 2013, angka itu hanya tercatat 26,13 juta saja. Ada penurunan 5,04
juta KK selama satu dasawarsa.
Tentu saja bukan salah mereka. Di
sini, menjadi petani belum bisa membuat dada tegak. Negara pun seolah
lupa betapa besar jasa mereka. Nasib petani di sini seakan ditakdirkan
berjalan bersama keterpurukan.
Akibatnya tak mengherankan bila anak-anak
petani jarang melihat profesi itu pekerjaan bernilai tinggi yang patut
disyukuri. Sementara dalam kurikulum dan tata nilai pengajaran, negara
pun tak pernah mencoba menanamkan kebanggaan.
Anak-anak petani
akhirnya melihat pekerjaan bapaknya tanpa bangga, malah nelangsa. Wajar
bila mereka memilih bekerja ke sector industri. Manakala hal itu
berjalin-kelindan dengan globalisasi, mereka pun hanya menjadi buruh
dunia, menjadi kacung para pengusaha global yang datang ke tanah-tanah
yang sejak lama menjadi hak dan menghidupi bapak-kakek dan moyang
mereka.
Tak pernah ada kata terlambat untuk sadar dan bertobat.
Negara sudah sepatutnya memberi arah yang jelas dan tegas. Kita perlu
petani yang bangga karena pekerjaan itu tak hanya menjadi lahan berbagi
tapi juga menjanjikan secara materi. Kita perlu membuat bertani menjadi
identitas yang membuat bangga karena nyata memberikan harapan.
Dengan
segala cara, kita memang sepantasnya memberi nilai tukar yang lebih
layak kepada hasil-hasil pertanian. Sebab hanya dengan itu kita masih
punya harapan untuk menjadikan negara ini negeri yang memberi makan
dunia, bukan menadah tangan dan hanya meminta.
Menjadi petani
sejatinya adalah pekerjaan ilahiah. Tinggal kita bersama berusaha agar
yang ilahiah itu juga menjadi pekerjaan yang layak dalam kacamata dunia.
“Tujuan
puncak pertanian bukanlah semata-mata menanti hasil panen,”kata petani
sekaligus filsuf pertanian Masanobu Fukuoka,” melainkan mengolah dan
menyempurnakan manusia.”
Bila kita berhasil mewujudkannya, tak
perlu merebak ketakutan dengan prediksi bahwa 2045 mendatang ada 450
juta warga Indonesia yang harus diberi makan. Sementara di sisi lain
kita tahu, ekonom Lester R Brown pada jurnal terkemuka Foreign Policy
tahun lalu menulis, dunia ke depan pun akan rawan pergolakan akibat
krisis pangan.
Jelas, tanpa cetak biru strategi yang jelas,
sesungguhnya kita hanya menanti tragedi terjadi pada anak cucu kita
nanti. Dan seharusnya itu tidak dilakukan hanya dengan ekstensifikasi.
Bukti telah mengajari, sekian juta hectare hutan ditebang tak menjamin
melimpahnya pangan.
http://web.inilah.com/read/detail/2086603/kita-hanya-negara-peminta-makan#.UzODUnYQ-1s
Tidak ada komentar:
Posting Komentar