Sejak program swasembada daging
didengungkan pemerintah tahun 1995 lalu, hingga kegagalannya yang
dinyatakan Mentan Suswono pada tahun 2014, baru kali ini Bulog
dilibatkan secara intensif dalam mengatur dan mengendalikan harga daging
sapi. Sesuai dengan penugasan Kemendag melalui surat No.708/2015 tgl 26
Agustus 2015. Namun demikian, dalam memerankan sebagai penyangga harga
daging sapi, yang menjadi kendala adalah miskinnya pengalaman Bulog
dalam menangani bisnis daging sapi di negeri ini.
Perkembangan Bisnis Daging
Perkembangan bisnis pangan khususnya daging sapi impor dalam duapuluh tahun terakhir ini telah berkembang cukup pesat. Ditahun 90-an sebelum krisis ekonomi dikenal dengan filosofi ASUH yaitu produk tersebut harus Aman, Sehat, Utuh dan Halal. Pada masa itu, perkembangan bisnis feedlot tumbuh pesat dan diketahui pula telah muncul berbagai isu penggunaan hormon pertumbuhan dalam pemeliharaan sapi penggemukan. Sehingga konsep ASUH sangat tepat diterapkan dalam rangka mengawal tumbuhkembang industri penggemukan sapi potong.
Pasca krisis ekonomi, diawal tahun 2000-an konsep tersebut berubah menjadi BASUH, yaitu Bayar, Aman, Sehat, Utuh dan Halal. Pada periode ini, telah terjadi perubahan paradigma bisnis daging sapi dengan konsep ‘bayar kontan’, tidak lagi dikenal sistem pembayaran dengan pola kredit. Hal tersebut dikarenakan, pasca krisis ekonomi para pengusaha feedlot sebagai importir tidak lagi menggunakan sistem kredit usance L/C (6-12 bulan) dalam belanja sapi impornya. Seluruh perbankan saat itu, menerapkan cara bayar kontan sebagai dampak krisis ekonomi. Dampak lanjutannya, semua bisnis sapi dan daging sapi di tingkat eceran pun tidak lagi menggunakan sistem kredit.
Selanjutnya, dalam sepuluh tahun terakhir sistem bisnis ini ternyata telah berubah kembali menjadi BASUH LAGI, yaitu: Bayar, Aman, Sehat, Utuh, Halal, Lingkungan hidup, Animal Welfare, Gizi dan Intelectual Property Right. Perubahan paradigma ini terjadi karena tuntutan sistem perdagangan dunia, yang menghendaki terjadinya peningkatan produktivitas dan kualitas produk, sebagai dampak diterapkannya sistem perdagangan global. Kasus yang terjadi di tahun 2011 lalu dimana pihak Australia telah ‘menghukum’ bisnis RPH (rumah potong hewan) Indonesia yang melakukan ‘kekejaman’ dalam proses penyembelihan ternak sapi impor. Sehingga unsur “animal welfare” menjadi prasyarat penting dan mewarnai dalam bisnis daging sapi di negeri ini. Akhirnya, semua bisnis feedloter yang menggunakan sapi impor harus menggunakan sistem rantai pasok yaitu ESCAS (export supply chain assurance system) yang berstandar dan diaudit oleh auditor independen. Demikian juga halnya dalam penerapan ‘lingkungan hidup’, gizi sebagai kualitas pangan, dan ‘hak kekayaan intelektual’ sebagai produk yang harus dilaksanakan dan dilindungi.
Peran Bulog
Pada tahun 1995, Soehadji sebagai Dirjen Peternakan kala itu, mengajukan konsep yang dikenal dengan ‘gaung lampung’. Yaitu konsep yang ditujukan bagi keseimbangan supply demand daging sapi dengan harapan terjadinya iklim bisnis yang kondusif antara peternakan rakyat, perusahaan feedlot dan importir daging sapi. Kelahiran konsep ini terjadi, karena pada saat itu telah dirasakan bahwa pesatnya tuntutan permintaan akan daging sapi yang tidak diimbangi oleh kemampuan produksi dalam negeri. Konsep ini memiliki tiga azas, yaitu kelestarian sumber daya ternak; keseimbangan pasokan dan permintaan; serta azas kecukupan dan kemandirian.
Gaung lampung adalah konsep yang memerankan tiga kelompok usaha atas kontribusinya terhadap konsumsi daging nasional pada waktu itu tahun 1995, yaitu; Peternak Rakyat merupakan tulang punggung karena mampu berkontribusi 78%, feedloter sebagai pendukung berkontribusi 17% dan importir daging adalah penyambung berkontribusi 5%. Namun dalam perjalanannya, ternyata konsep tersebut tidak mampu bertahan dan tidak lagi digunakan oleh pemerintah dalam mengawal program swasembada daging sapi. Pasalnya, dalam sepuluh tahun terakhir telah terjadi fluktuasi yang sangat tajam telah terjadi perubahan komposisi distribusi yang drastis terhadap konsumsi daging nasional. Di tahun 2010-2011 rasio impor dan produksi dalam negeri bahkan telah mencapai angka (53 : 47)% yang memberikan implikasi terhadap perubahan harga yang tidak terkendali.
Sebenarnya, kelemahan dari konsep ini tidak melibatkan Bulog sebagai penyangga yang akan mengatur fluktuasi harga. Sesungguhnya hal ini wajar-wajar saja, sebab saat itu azasnya hanya menyentuh persoalan sumberdaya ternak, keseimbangan pasokan dan kecukupan serta kemandirian. Oleh karenanya, dalam mengaktualisasi ‘gaung lampung’, perlunya menambahkan kestabilan harga didalamnya, sehingga mutlak diperlukan keterlibatan Bulog dalam menyangga ketersediaan daging sapi di dalam negeri. Pada situasi saat ini sangat diperlukan Bulog memegang kendali ‘penyambung’ daging impor. Artinya, pengendalian daging impor harus berada di tangan Bulog. Hal ini dikarenakan, daging merupakan komoditi hilir yang harus dikendalikan oleh pemerintah, yang selama ini dilepas dipasar bebas sehingga merupakan bola liar yang sulit dikendalikan.
Berkaitannya dengan hal tersebut, Bulog dapat melakukan dua cara pendekatan pengendalian, yaitu yang berasal dari produk impor dan domestik. Berkenaan pengendalian daging yang berasal dari produk domestik, Bulog tidak perlu memiliki usaha peternakan sapi potong, baik breeding maupun feedlot. Akan tetapi Bulog harus mampu ‘menguasai’ sejumlah skala usaha yang mampu menghasilkan paling tidak 10 % dari pangsa permintaan akan daging sapi. Artinya Bulog harus mampu bermitra dengan pengusaha feedlot dan industri prosesing daging sapi di dalam negeri. Sementara itu, pengendalian daging import, Bulog harus menguasai 100 % kebijakan impor daging yang selama ini dilepas bebaskan tanpa kendali. Tentunya Bulog dengan para pelaku bisnis pasca panen berkewajiban melakukan pembinaan RPH sebagai industri yang menghasilkan daging bukan lagi sebagai tempat jasa pemotongan ternak. Kiranya, peran bulog dalam menyangga daging sapi ini merupakan jawaban masalah terhadap karut marut yang telah terjadi selama ini.....
(HU Pikiran Rakyat, sabtu 12 September 2015)
http://www.kompasiana.com/rtawaf/bulog-dan-harga-daging-sapi_55f4a9df8f7e61cd0d323085
Perkembangan Bisnis Daging
Perkembangan bisnis pangan khususnya daging sapi impor dalam duapuluh tahun terakhir ini telah berkembang cukup pesat. Ditahun 90-an sebelum krisis ekonomi dikenal dengan filosofi ASUH yaitu produk tersebut harus Aman, Sehat, Utuh dan Halal. Pada masa itu, perkembangan bisnis feedlot tumbuh pesat dan diketahui pula telah muncul berbagai isu penggunaan hormon pertumbuhan dalam pemeliharaan sapi penggemukan. Sehingga konsep ASUH sangat tepat diterapkan dalam rangka mengawal tumbuhkembang industri penggemukan sapi potong.
Pasca krisis ekonomi, diawal tahun 2000-an konsep tersebut berubah menjadi BASUH, yaitu Bayar, Aman, Sehat, Utuh dan Halal. Pada periode ini, telah terjadi perubahan paradigma bisnis daging sapi dengan konsep ‘bayar kontan’, tidak lagi dikenal sistem pembayaran dengan pola kredit. Hal tersebut dikarenakan, pasca krisis ekonomi para pengusaha feedlot sebagai importir tidak lagi menggunakan sistem kredit usance L/C (6-12 bulan) dalam belanja sapi impornya. Seluruh perbankan saat itu, menerapkan cara bayar kontan sebagai dampak krisis ekonomi. Dampak lanjutannya, semua bisnis sapi dan daging sapi di tingkat eceran pun tidak lagi menggunakan sistem kredit.
Selanjutnya, dalam sepuluh tahun terakhir sistem bisnis ini ternyata telah berubah kembali menjadi BASUH LAGI, yaitu: Bayar, Aman, Sehat, Utuh, Halal, Lingkungan hidup, Animal Welfare, Gizi dan Intelectual Property Right. Perubahan paradigma ini terjadi karena tuntutan sistem perdagangan dunia, yang menghendaki terjadinya peningkatan produktivitas dan kualitas produk, sebagai dampak diterapkannya sistem perdagangan global. Kasus yang terjadi di tahun 2011 lalu dimana pihak Australia telah ‘menghukum’ bisnis RPH (rumah potong hewan) Indonesia yang melakukan ‘kekejaman’ dalam proses penyembelihan ternak sapi impor. Sehingga unsur “animal welfare” menjadi prasyarat penting dan mewarnai dalam bisnis daging sapi di negeri ini. Akhirnya, semua bisnis feedloter yang menggunakan sapi impor harus menggunakan sistem rantai pasok yaitu ESCAS (export supply chain assurance system) yang berstandar dan diaudit oleh auditor independen. Demikian juga halnya dalam penerapan ‘lingkungan hidup’, gizi sebagai kualitas pangan, dan ‘hak kekayaan intelektual’ sebagai produk yang harus dilaksanakan dan dilindungi.
Peran Bulog
Pada tahun 1995, Soehadji sebagai Dirjen Peternakan kala itu, mengajukan konsep yang dikenal dengan ‘gaung lampung’. Yaitu konsep yang ditujukan bagi keseimbangan supply demand daging sapi dengan harapan terjadinya iklim bisnis yang kondusif antara peternakan rakyat, perusahaan feedlot dan importir daging sapi. Kelahiran konsep ini terjadi, karena pada saat itu telah dirasakan bahwa pesatnya tuntutan permintaan akan daging sapi yang tidak diimbangi oleh kemampuan produksi dalam negeri. Konsep ini memiliki tiga azas, yaitu kelestarian sumber daya ternak; keseimbangan pasokan dan permintaan; serta azas kecukupan dan kemandirian.
Gaung lampung adalah konsep yang memerankan tiga kelompok usaha atas kontribusinya terhadap konsumsi daging nasional pada waktu itu tahun 1995, yaitu; Peternak Rakyat merupakan tulang punggung karena mampu berkontribusi 78%, feedloter sebagai pendukung berkontribusi 17% dan importir daging adalah penyambung berkontribusi 5%. Namun dalam perjalanannya, ternyata konsep tersebut tidak mampu bertahan dan tidak lagi digunakan oleh pemerintah dalam mengawal program swasembada daging sapi. Pasalnya, dalam sepuluh tahun terakhir telah terjadi fluktuasi yang sangat tajam telah terjadi perubahan komposisi distribusi yang drastis terhadap konsumsi daging nasional. Di tahun 2010-2011 rasio impor dan produksi dalam negeri bahkan telah mencapai angka (53 : 47)% yang memberikan implikasi terhadap perubahan harga yang tidak terkendali.
Sebenarnya, kelemahan dari konsep ini tidak melibatkan Bulog sebagai penyangga yang akan mengatur fluktuasi harga. Sesungguhnya hal ini wajar-wajar saja, sebab saat itu azasnya hanya menyentuh persoalan sumberdaya ternak, keseimbangan pasokan dan kecukupan serta kemandirian. Oleh karenanya, dalam mengaktualisasi ‘gaung lampung’, perlunya menambahkan kestabilan harga didalamnya, sehingga mutlak diperlukan keterlibatan Bulog dalam menyangga ketersediaan daging sapi di dalam negeri. Pada situasi saat ini sangat diperlukan Bulog memegang kendali ‘penyambung’ daging impor. Artinya, pengendalian daging impor harus berada di tangan Bulog. Hal ini dikarenakan, daging merupakan komoditi hilir yang harus dikendalikan oleh pemerintah, yang selama ini dilepas dipasar bebas sehingga merupakan bola liar yang sulit dikendalikan.
Berkaitannya dengan hal tersebut, Bulog dapat melakukan dua cara pendekatan pengendalian, yaitu yang berasal dari produk impor dan domestik. Berkenaan pengendalian daging yang berasal dari produk domestik, Bulog tidak perlu memiliki usaha peternakan sapi potong, baik breeding maupun feedlot. Akan tetapi Bulog harus mampu ‘menguasai’ sejumlah skala usaha yang mampu menghasilkan paling tidak 10 % dari pangsa permintaan akan daging sapi. Artinya Bulog harus mampu bermitra dengan pengusaha feedlot dan industri prosesing daging sapi di dalam negeri. Sementara itu, pengendalian daging import, Bulog harus menguasai 100 % kebijakan impor daging yang selama ini dilepas bebaskan tanpa kendali. Tentunya Bulog dengan para pelaku bisnis pasca panen berkewajiban melakukan pembinaan RPH sebagai industri yang menghasilkan daging bukan lagi sebagai tempat jasa pemotongan ternak. Kiranya, peran bulog dalam menyangga daging sapi ini merupakan jawaban masalah terhadap karut marut yang telah terjadi selama ini.....
(HU Pikiran Rakyat, sabtu 12 September 2015)
http://www.kompasiana.com/rtawaf/bulog-dan-harga-daging-sapi_55f4a9df8f7e61cd0d323085
Tidak ada komentar:
Posting Komentar