Menarik mencermati data harga komoditas pangan selama 20 bulan terakhir
ini. Tahun 2014, harga pangan relatif stabil kecuali untuk cabai dan
bawang merah. Selisih harga beras medium rata-rata nasional per kilogram
antara yang terendah (Januari 2014) dan tertinggi (Desember 2014) hanya
terpaut Rp 567.
Pada tahun tersebut, produksi padi Indonesia menurun 0,63 persen dan
Indonesia mengimpor 1,225 juta ton beras. Harga daging sapi juga relatif
stabil dengan perbedaan harga terendah (Maret 2014) dan tertinggi
(Desember 2014) sebesar Rp 2.890. Hal yang sama juga terjadi pada daging
ayam broiler (Kementerian Perdagangan, 2014 dan 2015).
Drama pangan dimulai pada Januari 2015. Hanya dalam tempo relatif
singkat, harga beras medium melonjak menjadi Rp 10.375 pada bulan Maret
2015 dari Rp 9.645 pada bulan Januari. Bahkan, di Jakarta, harga beras
mencapai Rp 11.217 per kg (Info Pangan DKI, 2015). Kenaikan harga sempat
tidak terkendali hingga 30 persen baik untuk beras medium dan premium.
Harga kemudian turun karena tertolong oleh panen raya. Mulai Mei, harga
meningkat perlahan dan saat ini sudah mendekati puncak harga pada bulan
Maret 2015. Diperkirakan harga beras pada bulan September akan melampaui
bulan Maret dan terus meningkat hingga akhir tahun ini.
Gejolak harga beras ini sungguh ironis di tengah pernyataan berulang
kali Menteri Pertanian bahwa Indonesia pada tahun 2015 ini akan
menghentikan impor beras karena terjadi lonjakan produksi padi fantastis
6,64 persen dan surplus 4,7 juta ton gabah kering giling dibandingkan
tahun sebelumnya.
Drama beras belum selesai, muncul gejolak harga bawang merah. Harga
bawang merah yang turun sedikit pada bulan Februari tiba-tiba melonjak
tajam dan mencapai puncaknya pada Juni 2015 sebesar Rp 32.996 per kg
atau naik 52 persen. Tidak menunggu waktu lama, dalam tempo dua bulan,
harga bawang merah menukik tajam ke bawah dan saat ini lebih rendah
dibandingkan harga terendah bulan Februari 2015.
Petani-petani di sentra bawang merah sangat terpuruk karena harga
tiba-tiba jatuh menjadi Rp 5.000, bahkan Rp 4.000 per kg, padahal ongkos
produksi saat ini mencapai Rp 7.000 per kg. Selain bawang merah, petani
tomat juga mengalami penderitaan akibat harga tomat yang jatuh menjadi
hanya Rp 200-Rp 400 per kg di beberapa sentra produksi.
Belum selesai dengan beras dan hortikultura, harga daging sapi dan
daging ayam ikut berulah. Untuk daging sapi, gejala kenaikan harga sudah
tampak sejak Mei 2015, yang naik terus tiap bulan dan mencapai
puncaknya pada Agustus 2015.
Di Jakarta, lonjakan tertinggi terjadi pada bulan Juli, yaitu 14,8
persen, dibandingkan bulan sebelumnya. Harga daging sapi rata-rata bulan
Agustus 2015 sudah mencapai Rp 115.130 per kg, padahal dua bulan
sebelumnya Rp 99.382. Drama daging sapi dilengkapi dengan mogok
berjualan para penjual daging sapi di beberapa kota besar dan harga
sempat menyentuh Rp 140.000 per kg.
Setali tiga uang dengan harga daging sapi adalah harga daging ayam
broiler. Secara nasional, harga daging ayam broiler mulai menanjak naik
dari harga terendahnya pada Maret 2015, yaitu Rp 26.817 per kg. Harga
melonjak terus pada bulan-bulan berikutnya dan mencapai Rp 33.523 per kg
pada Agustus. Di Jakarta, harganya bahkan mencapai Rp 35.400 dan sempat
melonjak di atas Rp 40.000 per kg, yang diikuti mogok massal penjual
daging ayam di sejumlah kota besar.
Spekulan dan kebijakan pemerintah
Pergerakan harga pangan yang mengkhawatirkan ini menyebabkan masyarakat
umum dan petani kecil sama-sama menderita. Nilai tukar petani (NTP) yang
merupakan salah satu indikator kesejahteraan petani justru turun tiga
bulan berturut-turut pada puncak musim panen, yaitu Maret, April, dan
Mei 2015. Ketika panen raya sudah berakhir dan gabah serta beras tidak
lagi di tangan mereka, harga melonjak dan ikut mengerek NTP ke atas.
Sebagaimana konsumen pada umumnya, petani merupakan net consumer pangan.
Saat ini, harga hampir semua pangan pokok stabil tinggi dan cenderung
terus menguat hingga akhir tahun, lampu merah bagi masyarakat pada
umumnya dan pemerintah pada khususnya.
Menyikapi hal ini, para pejabat selalu menyatakan bahwa gejolak harga
pangan tersebut disebabkan ulah spekulan atau mafia pangan. Dalam wacana
akademis, spekulan pangan tidak mengarah pada kartel dan upaya menahan
stok, tetapi lebih pada spekulasi finansial (Bar-Yam and Lindsay, 2012).
Sekitar 40 persen volatilitas harga pangan dalam lima tahun terakhir
jika dirunut berakhir di institusi finansial.
Jika demikian, lalu apa penyebab gejolak harga pangan yang
mengkhawatirkan ini? Krisis beras pada awal tahun disebabkan stok beras
nasional berada dalam posisi terendah selama tiga tahun terakhir ini
yang lupa diantisipasi pemerintah. Awal Januari 2015, stok beras
nasional hanya 5,5 juta metrik ton, turun dari 7,4 juta metrik ton dua
tahun sebelumnya dan 6,48 juta metrik ton setahun sebelumnya (DA
Santosa, "Waspada Pangan 2015", Kompas, 10/3). Harga beras yang terus
meningkat selama empat bulan terakhir ini lebih disebabkan gangguan
produksi dan stok yang tidak memadai, bukan ulah spekulan. Kajian
Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) di banyak
tempat mengarah pada hal tersebut sehingga produksi tahun ini
kemungkinan sama atau bahkan lebih rendah dibandingkan tahun 2014.
Bagaimana dengan daging sapi dan daging ayam? Kenaikan harga daging sapi
dan ayam sebenarnya sudah dimulai sejak April 2015. Kenaikan harga
daging sapi menyiratkan kelangkaan stok. Justru pada kondisi demikian
pemerintah memutuskan memotong kuota impor dari 250.000 ekor menjadi
hanya 50.000 ekor pada kuartal III (Juli-September 2015). Akhirnya,
harga daging sapi melonjak tidak terkendali dan bertahan tinggi hingga
saat ini.
Sejak April 2015, harga jagung terus meningkat, yang menyiratkan
gangguan produksi jagung nasional. Ketika produksi jagung mengalami
gangguan, pemerintah justru mengambil keputusan mendadak menghentikan
kekurangan impor jagung (komponen terbesar pakan ayam) sebesar 1,35 juta
ton dengan asumsi seolah-olah akan terjadi peningkatan produksi jagung
nasional 1,66 juta ton pada 2015.
Dengan demikian, asumsi yang dibangun pemerintah bahwa penyebab gejolak
harga daging sapi dan daging ayam adalah ulah spekulan sangat
spekulatif, menyederhanakan persoalan sekaligus upaya melepas tanggung
jawab dan menghindar dari kesalahan yang dibuat pemerintah sendiri.
Upaya mengatasi
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pemerintah dalam mengatasi
krisis pangan yang akan terjadi. Pertama, desain dan implementasi
kebijakan harus betul-betul dilandaskan pada fakta dan data yang akurat.
Akurasi juga meliputi peramalan produksi, informasi pasar, dan dampak
setiap kebijakan terhadap banyak pihak dan kelompok di masyarakat.
Penetapan kebijakan yang sangat mendadak, apalagi tidak disertai dengan
data yang akurat, akan mendistorsi pasar dan merusak sistem yang ada.
Kedua, meningkatkan tata kelola stok pangan publik. Tata kelola yang
buruk di lembaga yang mengelola stok pangan nasional berkontribusi
terhadap volatilitas harga pangan. Negara harus mampu membuat lembaga
pangan dengan pengelolaan yang independen dan bebas dari berbagai
kepentingan. Lembaga tersebut harus mampu mengelola stok pangan
nasional, meliputi waktu dan kuantitas pelepasan stok ataupun pembelian
untuk meningkatkan stok.
Ketiga, kerja sama antara sektor publik/pemerintah dan swasta perlu
ditingkatkan. Perilaku yang menciptakan ketidakpercayaan dan konflik
pemerintah versus swasta justru menyebabkan situasi semakin memburuk dan
berkontribusi nyata terhadap gejolak harga pangan (Pinstrup-Andersen,
2015). Jika konflik tersebut terus-menerus terjadi sebagaimana
dipertontonkan di masyarakat akhir-akhir ini, stabilisasi harga pangan
hanyalah sebuah ilusi.
Keempat, peningkatan kesejahteraan petani kecil dan investasi
infrastruktur di pedesaan harus menjadi sasaran besar pembangunan
pertanian dan pangan. Kesejahteraan petani yang meningkat akan
meningkatkan kegairahan dalam berusaha tani. Peningkatan produksi
hanyalah reward dari upaya peningkatan kesejahteraan petani.
Terakhir, semoga dalam situasi pelemahan rupiah dan perekonomian seperti
saat ini, pejabat pemerintah lebih bijak dalam mengeluarkan pernyataan
ataupun kebijakan dan jauh dari politik pencitraan yang dikemas dalam
data dan angka bermasalah. Kita sama-sama berharap bahwa gambaran suram
bencana pangan yang menghadang pada akhir tahun dan berlanjut pada tahun
2016 akan berakhir menjadi ilusi belaka.
DWI ANDREAS SANTOSAGURU BESAR IPB; KETUA UMUM AB2TI; MANTAN ANGGOTA POKJA TIM TRANSISI JOKO WIDODO-JUSUF KALLA
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150918kompas/#/8/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar