ERA reformasi 1998 turut membawa pengaruh signifikan terhadap kelembagaan Bulog, sebuah lembaga yang lekat “berjaya” dalam ingatan kita dengan dana non budgeter-nya. Angin perubahan tak pelak juga meminta Bulog agar menjadi lembaga yang lebih efisien, transparan, akuntabel. Perubahan dimaksud tidak terlepas dari perkembangan lingkungan strategis dari dalam maupun luar negeri secara keseluruhan yang mempengaruhi perjalanan kelembagaan Bulog yang kini telah menjadi Perum sejak tanggal 20 Januari 2003 melalui PP No.7 Tahun 2003 tentang Pendirian Perum Bulog. Dan beranjak dari transformasi kelembagaan Bulog inilah tiap pemerintahan akan diuji keberpihakannya pada ketahanan pangan, demikian halnya Presiden Jokowi dalam merealisasikan janji politik pangannya.
Bulog Baru : Awal Kebangkitan
Bulog kini sangat berbeda dengan yang lalu. Perum Bulog ibarat dua sisi mata uang yang saling mendukung, yakni menjalankan tugas publik dan juga aktifitas bisnis. Terkait tugas publik, Perum Bulog diberikan tanggung jawab yang melekat di dalamnya, yaitu : (1) menjaga Harga Dasar Pembelian Pemerintah untuk gabah (HDPP), (2) stabilisasi harga,khususnya pangan pokok, (3) menyalurkan beras untuk orang miskin, (4) pengelolaan stok pangan. Dalam rangka aktifitas bisnis, Perum Bulog tetap memiliki keterkaitan erat dengan basis utama Perum Bulog dalam melaksanakan amanah penugasan dari pemerintah sehingga lingkup bisnis yang bisa dijalankannya adalah industri perberasan, usaha logistik/pergudangan, survei dan pemberantasan hama, penyediaan karung plastik, usaha angkutan, perdagangan gula pasir, usaha eceran, dan pusat perkulakan pangan terpadu.
Dengan wajah baru, kemanakah arah Bulog sesungguhnya dalam nakhoda pemerintahan baru saat ini ? Adalah Presiden Jokowi yang mencetuskan jalan perubahan bernama “kemandirian yang mensejahterakan” atau lebih dikenal dengan Nawa Cita “Kedaulatan Pangan”. Ihwal ini, Sang Presiden menggariskan pembangunan kedaulatan pangan yang berbasis agribisnis kerakyatan, dimana asal mulanya memiliki keterkaitan dan keterlibatan langsung pada tugas publik Perum Bulog dalam menjaga ketahanan pangan nasional. Bulog baru sebenarnya sangat mahfum dan fasih dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan yang bertumpu pada sektor pertanian. Urusan pangan sudah masuk wilayah memenuhi kebutuhan dasar manusia (amanat UU Pangan, Pasal 3 UU No.18/2012), bahkan semangat itu telah lama didengungkan oleh Ir. Soekarno saat peletakkan batu pertama di IPB (Institut Pertanian Bogor) bahwa pangan adalah masalah hidup dan mati sebuah bangsa. Dan kembali pesan Soekarno itu disegarkan oleh Jokowi dalam Nawa Cita-nya yang kemudian harus diterjemahkan oleh Bulog secara tepat.
Di sisi lain, potret petani kita tak ubahnya tanpa perbaikan menunjukan wajah buram. Yang paling terlihat adalah proses marjinalisasi yang membuat tingkat kehidupan mereka semakin terpuruk. Beberapa indikator yang menunjukkan kondisi petani yang semakin terpuruk antara lain : (1) kemiskinan yang meningkat dan kesempatan kerja yang semakin sulit; (2) jumlah petani gurem yang semakin meningkat; (3) proses alih fungsi lahan pertanian yang terus terjadi; (4) produktifitas komoditas pertanian yang terus merosot; (5) daya saing dan posisi tawar petani yang terus melemah; (6) Nilai Tukar Petani (NTP) yang terus tertekan; dan (7) kualitas SDM, ditinjau dari pendidikan yang masih rendah.
Ketahanan Pangan
Pembangunan kedaulatan pangan amatlah penting dan strategis bagi pemenuhan pangan nasional karena berawal dari kedaulatan kemudian berproses dalam waktu waktu yang cukup lama menjadi kemandirian sampai pada akhirnya terwujud ketahanan pangan. Dengan pertumbuhan penduduk 1,49 % per tahun, Indonesia harus mampu menyediakan pangan untuk lebih dari 249 juta penduduknya saat ini dan pertambahan setidaknya 3 juta konsumen baru setiap tahun.
Sedangkan data FAO juga menunjukkan bahwa pada tahun 2035 penduduk Indonesia akan bertambah dua kali lipat, menjadi sekitar 400 juta jiwa. Pada bagian lain, ditengarai sekitar 100.000 hektar lahan pertanian umumnya pangan terkonversi setiap tahunnya untuk berbagai kepentingan non-pertanian. Juga semakin seriusnya penurunan kesediaan air dan meningkatnya kompetisi penggunaan air tersebut antara keperluan konsumsi rumah tangga dan industri dengan keperluan pertanian. Lantas, bagaimana Jokowi mentransformasikan gagasan kedaulatan pangan tersebut ke dalam jajaran pemerintahannya termasuk Bulog ?
Dalam kondisi global seperti di atas maka jalan perubahan yang dipilih haruslah benar-benar mencerminkan perubahan tidak hanya melalui kemauan politik (political will) dan komitmen politik (political commitment) namun juga kerja politik (political work) pemerintahan Jokowi serta dukungan wakil-wakil rakyat di parlemen. Kerja politik Jokowi mewujudkan pangan yang berdaulat harus dimulai dengan menetapkan target dan indikator ketahanan pangan untuk 25 tahun mendatang. Kemudian menterjemahkannya ke dalam program kemandirian pangan, diantaranya: komoditas apa dan berapa persen tingkat kemandirian yang harus dicapai, apa dan berapa yang harus diimpor dengan jumlah yang semakin menurun serta apa dampaknya bagi bangsa dan rakyat. Selanjutnya baru ditetapkan regulasi/penerapan kedaulatan terhadap target ketahanan dan kemandirian pangan dimaksud.
Kedaulatan menuju kemandirian pangan adalah proses yang tidak singkat karena dipengaruhi oleh tiga faktor: diversifikasi pangan, reformasi agraria, dan sentra-sentra produksi pangan. Diversifikasi pangan artinya kebutuhan pangan kita tidak hanya terbatas pada nasi saja. Begitu banyak potensi makanan tradisional kita yang perlu diangkat dan dikembangkan lebih jauh dengan sentuhan-sentuhan teknologi dan inovasi pemasaran maupun kemasan tentunya.
Permasalahan agraria sudah menjadi cerita lampau berkelanjutan yang tak terselesaikan. Pemecahannya adalah keberpihakan pemerintah atas hak-hak rakyat yang harus tetap terlindungi memenuhi rasa keadilan. Reformasi agraria salah satunya dimaksudkan untuk melindungi rakyat dan menjamin terjaganya fungsi lahan pertanian tetap untuk pemenuhan kebutuhan pangan sehingga pengalihfungsian yang amat marak terjadi bisa semakin dibatasi. Mengembangkan sentra-sentra produksi pangan selain padi harus didorong berkembang di tiap pelosok daerah. Politik pangan masa lalu yang hanya bergantung pada beras sudah sangat usang dan saatnya ditinggalkan. Potensi Jagung, Kedelai, Gandum, Ketela/ubi sudah saatnya dibidik untuk dikembangkan pemerintah di daerah-daerah.
Bulog dan pangan berdaulat adalah satu untaian komitmen kebangsaan yang kini ditagih janjinya kepada Jokowi. Presiden, kabinet, petani, akademisi, aktifis dan termasuk kita sebagai anggota masyarakat maukah totalitas berjuang untuk ketahanan pangan ? Kita semua sesama anak negeri bertanggungjawab mewujudkan kedaulatan, kemandirian, dan pada akhirnya ketahanan pangan yang harus dimulai sejak saat ini. Bulog dengan kemampuan handal sekaligus jaringan luasnya sampai ke daerah-daerah dituntut mampu “menangkap” janji politik Jokowi agar berhasil direalisasikan. Manakala janji itu terbukti terealisasi, tentulah bukan hanya hasil kerja Jokowi dengan Bulog-nya tapi juga kerja kita semua yang meyakini bahwa kedaulatan pangan adalah keniscayaan.
Penulis : Mardiansyah, SP
( Wakil Ketua UMKMK DPP Partai Perindo dan Alumni IPB )
http://jabar.pojoksatu.id/infotorial/2016/01/21/bulog-dan-politik-pangan-jokowi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar