Setelah pelantikan kabinet Joko Widodo-Jusuf
Kalla 2014-2019, di bidang perberasan diawali dengan pernyataan Menteri
BUMN bahwa beras untuk orang miskin alias raskin akan diganti e-money.
Semua pihak menunggu kejelasan ”kebijakan” tersebut. Akan tetapi,
dampaknya, harga beras mbedal atau melonjak naik 30 persen pada Februari
2015.
Paling tidak terdapat empat peristiwa penting. Pertama, heboh kenaikan harga beras pada Februari. Kedua, seretnya pengadaan dalam negeri oleh Bulog yang berujung pada pergantian direksi Perum Bulog. Ketiga, datangnya El Nino kuat yang mengganggu produksi beras. Keempat, pemerintah akhirnya ”menyerah” dan terpaksa mengimpor beras.
Guna menekan gejolak harga, pemerintah tergopoh-gopoh mengatasinya dengan menyalurkan raskin dua bulan sekaligus dan menggelontorkan beras operasi pasar (OP). Harga beras pun mulai mereda karena didukung oleh panen padi yang mulai ada di sana-sini. Selanjutnya, Presiden Joko Widodo dengan percaya diri mengatakan tetap tidak ada impor beras tahun ini.
Namun, pernyataan yang baik dari Presiden ini ternyata membuat pasar beras bereaksi sebaliknya.
Pedagang mulai ancang-ancang untuk berspekulasi dengan memburu hasil panen padi karena memperkirakan harga beras tahun 2015 akan tinggi. Hal ini terlihat saat panen awal Februari yang terjadi di daerah Grobogan, Demak, Kudus, dan Sragen di Jawa Tengah, yang kemudian disusul Ngawi dan Madiun di Jawa Timur pada awal Maret. Padi pun diserbu pedagang/penggilingan dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, bahkan dari Jawa Barat.
Selanjutnya, Inpres Perberasan yang ditunggu masyarakat ditandatangani Presiden pada 17 Maret 2015.
Dalam inpres ini, posisi raskin tidak berubah, yaitu tetap merupakan bagian tak terpisahkan dari kebijakan peningkatan produksi dan stabilisasi harga serta penyaluran stok publik. Presiden Joko Widodo tampak hati-hati dalam menetapkan harga pembelian pemerintah (HPP) yang naik 12 persen untuk gabah dan 11 persen untuk beras. Hal ini mungkin mempertimbangkan daya beli konsumen serta harga beras kita yang sudah dua kali harga internasional.
Belajar dari kedua peristiwa tersebut, yaitu tentang penghapusan raskin dan pernyataan tidak ada impor, ternyata membuat pasar menjadi tidak pasti. Harga gabah kering panen (GKP) bergerak sekitar Rp 4.500 per kg, padahal HPP hanya Rp 3.700. Dampaknya, Perum Bulog sulit melakukan pembelian.
Musibah El Nino
Melihat kemajuan pembelian Perum Bulog yang dianggap lambat, pemerintah pada awal Juni akhirnya mencopot direktur utama dan direktur pelayanan publik. Masyarakat menilai pergantian ini tak lazim karena ”sopir dan kenek” diganti sekaligus. Direksi baru kemudian menggebrak lapangan dengan menggunakan segala macam jurus, termasuk meningkatkan pembelian komersial. Hasilnya masih jauh dari harapan, total pembelian satu tahun untuk melayani kebutuhan raskin hanya dapat 1,98 juta ton dan pembelian komersial 700.000 ton.
Tampaknya keberuntungan belum berpihak karena mulai Mei tanda-tanda kekeringan mulai muncul. Sebenarnya, pada Maret, Paulus Agus Winarno sudah mengingatkan adanya indikasi penyimpangan cuaca (Kompas, 20 Maret 2015), kemudian diingatkan lagi tentang prospek gejala alam El Nino (Kompas, 30 Mei 2015). Akhirnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengeluarkan prakiraan curah hujan Juni 2015 dengan memetakan daerah yang kurang hujan (Kompas, 18 Mei 2015). Dalam peta tersebut ternyata daerah-daerah produsen padi di Jawa dan Sulawesi curah hujannya tergolong kurang.
Pengalaman empiris selama ini menunjukkan bahwa, apabila curah hujan bulan Juni masih cukup, panen gadu akan bagus. Padahal, telah diberitakan bahwa pada awal tahun 2015 jadwal panen padi musim rendeng mundur satu bulan sehingga memengaruhi jadwal tanam padi gadu berikutnya.
Dampaknya, banyak tanaman padi kekurangan air yang mengakibatkan pembuahan bulir padi tidak sempurna. Hal tersebut dikonfirmasi dari hasil panen padi gadu yang rendemen GKP hanya mencapai sekitar 50 persen (kurang bagus) dibandingkan panen musim rendeng yang mencapai sekitar 55 persen (sangat bagus).
Dampak El Nino terhadap produksi beras tersebut menyebabkan harga gabah/beras terus bergerak naik secara perlahan mulai Juli sehingga menyebabkan semakin seretnya pengadaan Perum Bulog. Walaupun pemerintah optimistis bahwa produksi beras tidak terpengaruh El Nino, pasar bereaksi lain. Toh, akhirnya, setelah mempertimbangkan stok beras Perum Bulog pada akhir tahun 2015 diperkirakan mencapai titik nadir, pemerintah mengumumkan akan mengimpor beras 1,5 juta ton. Walaupun terjadi silang pendapat di antara pejabat pemerintah, akhirnya impor beras tidak bisa dielakkan lagi.
Hikmah yang dapat diambil
Pelajaran kedua, semua orang setuju apabila kita dapat berswasembada beras. Namun, ada instrumen yang dilupakan, yaitu pada harga berapa swasembada tersebut dicapai. Kita tidak dapat meniru kebijakan zaman kolonial, di mana negara kita menjadi eksportir gula dan beras tetapi rakyat kita sendiri tidak mampu membeli gula dan beras sendiri.
Selain itu, kita telah bersetuju bergabung dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Maka, bagaimana nasib beras dan gula kita yang tidak kompetitif, semuanya memerlukan kebijakan dan persiapan yang matang.
Pelajaran terakhir tentang target pengadaan Bulog yang dianggap menyalahi khitah yang dianut selama ini.
Tugas Bulog itu membeli pada harga beli yang ditetapkan (HPP). Dengan demikian, apabila harga di atas HPP, secara otomatis Bulog tidak perlu intervensi pasar lagi. Rohnya operasi Bulog itu buyer of the last resort atau pembeli terakhir apabila sudah tidak ada pembeli lagi. Oleh karena menyangkut hal yang mendasar sekali, apabila diubah menjadi sistem target, memerlukan kebijakan yang berbeda.
Semoga pengalaman ini menjadi pelajaran dan hikmah bagi kita bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar