Dewan Perwakilan Rakyat meminta pemerintah mengkaji ulang rencana
penghapusan program beras bagi masyarakat miskin (raskin) yang selama
ini dinilai berhasil membantu golongan berpenghasilan rendah memperoleh
bahan pangan dengan harga terjangkau.
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Jon Erizal menyatakan kebijakan
penghapusan raskin tersebut akan berdampak luas, tidak hanya pada
inflasi nasional, tetapi juga kekisruhan di masyarakat.
“Kami minta pemerintah melakukan evaluasi terlebih dahulu sebelum
menerapkan kebijakan ini. Jangan tergesa-gesa sebelum dikaji secara
komprehensif,” ujarnya di Jakarta.
Ia mengutip hasil pertemuannya dengan pejabat Bank Indonesia yang
memprediksi lonjakan inflasi yang sulit dikontrol jika raskin
benar-benar dihapus dan dikonversi ke e-money.
“Selain e-money rawan diselewengkan untuk kebutuhan lain, beras
selama ini terbukti sebagai komoditas penyumbang inflasi terbesar. Kalau
kebijakan itu memicu inflasi, maka perlu dikaji dulu,” katanya.
Mengenai adanya kelemahan dalam program raskin, menurut Jon, hal itu
bukan alasan kuat bagi pemerintah untuk menghapus sebuah program yang
selama ini telah berhasil dijalankan.
“Kalau ada kelemahan, kekurangan, seharusnya dievaluasi lalu
dicarikan solusinya, bukan malah dihapus. Kaji dulu dampaknya.
Penghapusan Raskin ini tidak semata memicu inflasi, tapi juga bisa
berdampak pada gejolak ekonomi, bisnis, keamanan dan dampak sosial
lain,” katanya.
Sutarto, Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Kebumen, Jawa
Tengah, menyatakan program raskin selama ini cukup membantu petani dan
buruh tani, karena biasanya penerima bantuan tersebut adalah masyarakat
buruh tani yang terdata berpenghasilan rendah.
“Selama ini masyarakat buruh tani juga menikmati raskin, sebagai
bantuan yang bermanfaat. Jadi gabahnya dijual dengan harga yang layak,
lalu mereka membeli beras dengan harga murah,” katanya.
Ia menyatakan kekhawatiran kekisruhan pasca pengalihan raskin ke
e-money akan terjadi di masyarakat lapisan bawah dan hal itu akan
membuat kelurahan maupun kecamatan kerepotan.
“Selama ini, jika ada masyarakat miskin yang tidak terdata sebagai
penerima raskin, masih bisa mendapat jatah berdasarkan kesepakatan dan
toleransi masyarakat penerima raskin. Kelurahan bisa membagi rata. Kalau
dalam bentuk e-money, pihak Kelurahan dan Kecamatan bisa didatangi
warga yang tidak terdata, dan sulit mencarikan solusinya,” katanya.
Raskin turut menstabilkan harga beras di pasaran sehingga beras bisa
dijangkau oleh kalangan masyarakat miskin. Jika raskin dihapus, dan
masyarakat penerima bantuan e-money bebas membeli beras sesuai selera,
harga di pasaran bisa melonjak tajam.
“Jadi percuma dikasih uang, kalau harga-harga bahan pangan melonjak
drastis karena tidak diproteksi pemerintah. Kalau sudah begini,
bagaimana nasib kami para petani?” katanya mengeluhkan.
Peneliti Mantasa, sebuah lembaga yang bergerak di isu keanekaragaman
hayati untuk kedaulatan pangan, Hayu Dyah, menyatakan rencana
penghapusan program raskin melanggar enam pilar kedaulatan pangan yang
telah dirumuskan organisasi petani sedunia via Campesina pada
International Forum for Food Sovereignty di Nyni, di Mali 2007.
“Kami prihatin dengan pemahaman tentang kedaulatan pangan di kalangan
pejabat. Kalau dilihat dari enam pilar kedaulatan pangan via Campesina,
kebijakan ini lemah. Ini bukan cara membuat rakyat berdaulat, namun
malah semakin membuat rakyat bergantung. Bergantung pada pasar,
bergantung pada pemerintah,” katanya.
http://infogaya.com/nasional/penghapusan-raskin-diminta-untuk-dikaji-ulang.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar