Jumat, 03 Januari 2014

Kisah Kelam Lembaga Penyangga



Eksistensi Bulog tidak terlepas dari sejarah awal peletakan kebijakan pangan yang diambil saat pemerintahan Orde Baru berdiri. Kebijakan tersebut merupakan upaya pemerintah melindungi eksistensi petani, sekaligus menjamin suplai pangan kepada masyarakat dengan harga yang stabil.

Bulog didirikan Achmad Tirtosudiro. Salah seorang mantan pemimpin logistik Angkatan Darat ini sangat ahli dalam mengelola suplai komoditas untuk memenuhi kebutuhan rakyat.

Pada awal Orde Baru, menurut ekonom pertanian H.S. Dillon, kehadiran lembaga penyangga ini sangat dibutuhkan. Sebab, ketika rezim tersebut masih bayi, inflasi di Indonesia mencapai level yang sangat tinggi. Kontributor inflasi terbesar—seperti halnya sekarang—berasal dari bahan makanan, dalam hal ini beras. Selain itu, beras merupakan alat pemerintah untuk melindungi PNS (pegawai negeri sipil) dan anggota TNI/Polri yang diberikan in natura sebagai bagian dari pendapatan mereka.

Dalam perjalanan Orde Baru, ujar Dillon, peran dan tugas yang diemban Bulog tidak lagi semata-mata sebagai lembaga penyangga yang bertugas menjaga stabilitas harga gabah dan pasokan beras kepada masyarakat. Pada perkembangannya, lembaga ini menjadi komponen strategi pemerintah dalam mencapai swasembada pangan.

Keberhasilan Bulog dalam stabilisasi harga dan suplai pangan mendorong pemerintah memberikan tugas tambahan kepada Bulog. Selain gabah (beras), Bulog diberi tugas tambahan untuk masuk ke komoditas lain seperti gula, minyak goreng, dan palawija. Untuk gula, misalnya, Bulog mendapat tugas membeli semua gula produksi dalam negeri. Selain itu, Bulog diberi kewenangan sebagai importir tunggal. Berbagai tugas tambahan inilah yang akhirnya membawa Bulog mampu meraih penghasilan yang sangat besar.

Masa keemasan Bulog terjadi pada era Bustanil Arifin. Putra Aceh ini mampu mengendalikan harga beras. Ia cukup sukses menjaga harga beras tidak anjlok pada saat panen dan mampu mengendalikan harga beras agar tidak membubung saat paceklik. Sukses Bustanil ini tidak lepas dari dua konsultan ekonomi pertanian dari Amerika Serikat, yakni Pieter Tiemer dan Scott Person, yang merancang harga dasar dan harga tertinggi. Mereka mampu membuat batas harga untuk menjaga stabilitas pasar. Kedua konsultan Amerika ini dibayar dengan sangat mahal, sekitar US$1.000 per hari.

Sukses Bustanil Arifin ini membuat Soeharto senang. Itulah sebabnya tugas Bulog dikembangkan. Bulog tidak hanya mengurus masalah stabilitas beras, namun juga menggarap komoditas pangan lainnya. Beberapa wewenang baru yang diberikan kepada Bulog adalah monopoli impor komoditas bahan pangan seperti terigu dan gandum.

Kekuasaan besar inilah yang membuat Bulog menjadi gemuk. Mereka mempunyai dana non-neraca yang sangat besar untuk melakukan proyek-proyek stabilisasi pangan. Selain itu, Bulog mengatur swasta yang ingin membeli komoditas impor yang telah dimonopoli. Karena ''gemuknya'', Bulog didekati oleh berbagai kepentingan. Itulah sebabnya, pengusaha yang dekat dengan Cendana bermain di Bulog untuk mendapatkan hak membeli berbagai komoditas impor.

Tetapi, Bustanil bermain cantik. Ia tidak serakah. Semua pihak mendapat cipratan dari Bulog. Mulai pejabat hingga para pengusaha yang dekat Cendana, semuanya mendapat keuntungan. Presiden, wakil presiden, para perwira militer, bahkan sampai pejabat di daerah pun mendapat bagian.

Presiden Soeharto menaruh perhatian besar terhadap Bulog. Bahkan dalam 10-15 tahun terakhir sebelum lengser, Bulog ''dikelola'' langsung oleh Soeharto dengan menentukan langsung siapa-siapa yang berhak membeli komoditas dari Bulog. Dan, menjadi rahasia umum, para pejabat Kantor Sekretariat Negara, kala itu, memiliki orang yang berhak melakukan pembelian dari Bulog.

Bulog dalam Pasungan

Kala itu, dinasti politik dan ekonomi Soeharto juga kian merambah semua sektor bisnis sekaligus menggerogoti keuangan lembaga-lembaga negara, termasuk Bulog. Kondisi ini membuat marah lembaga donor internasional karena merasakan adanya ancaman dari kiprah dinasti Soeharto yang mulai dominan dalam perekonomian Indonesia. Akhirnya, ketika krisis ekonomi menerpa Asia pada 1997, IMF datang untuk "membantu" perekonomian Indonesia dengan resep Letter of Intent (LoI).

Salah satu sasaran IMF adalah fungsi Bulog yang ketika itu telah diperluas. Melalui LoI, IMF memaksa Soeharto untuk mengurangi fungsi Bulog hanya sebatas mengurus komoditas beras saja. Tuntutan IMF itu dipatuhi Soeharto dengan mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No.19 Tahun 1998, yang membatasi tugas pokok Bulog hanya untuk menangani komoditas beras.

Sementara komoditas pangan lain yang sudah ditangani Bulog selama era Orde Baru dilepaskan ke mekanisme pasar, termasuk penentuan harganya. Tujuan IMF menuntut hal tersebut dari Pemerintahan Soeharto adalah untuk membuka peluang kapital asing bermain lebih 'lincah' dalam perdagangan dan penentuan harga pangan di Indonesia.

Rahardi Ramelan, yang saat penandatanganan LoI itu tengah menjabat sebagai Menteri Perdagangan, mengakui cukup berat menjalankan tugasnya pasca-LoI itu. "Dampaknya sangat besar. Kita tidak bisa menstabilkan harga bahan pokok. Hingga saat ini, kita tak bisa menahan gejolak harga pangan dunia, ya karena desakan IMF itu," katanya kepada Yohannes Tobing dari SINDO Weekly.

Mengenai wacana pengembalian peran Bulog, Rahardi menyatakan setuju asalkan peranan Bulog itu benar-benar disepakati. "Ini bukan masalah bentuk organisasinya saja, melainkan juga kesepakatan akan peranannya. Masalahnya soal operasional dan intervensi pasar," jelasnya.

Harusnya, Bulog kembali memainkan peranan sebagai grosir untuk mengimbangi ritel-ritel besar. "Peranan intervensi pasar yang harus dimainkan Bulog yaitu grosir, jangan ritel. Ini untuk menekan harga-harga," tambahnya.

Keinginan mengembalikan Bulog pada khitahnya itu tentu sangat diperlukan dalam situasi distabilisasi harga pangan dunia. Namun, hal ini juga perlu diawasi dengan seksama agar jangan sampai perilaku koruptif yang terjadi di Bulog masa Orde Baru ikut kembali.
“Kisah politik dinasti, tempat pundi-pundi para politisi adalah warna suram bagian sejarah Bulog. Sejumlah pimpinan lembaga ini juga sempat mencicipi hotel prodeo. Hebatnya, lembaga ini sukses sebagai lembaga penyangga”.


Penulis: Miftah H. Yusufpati dan Wahyu Arifin
Sumber : http://www.sindoweekly-magz.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar